抖阴社区

2O

16.5K 1K 34
                                    

"Malam itu juga, gue pergi," Adrian melanjutkan, suaranya lebih tenang, tapi penuh luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Malam itu juga, gue pergi," Adrian melanjutkan, suaranya lebih tenang, tapi penuh luka. "Gue udah nabung cukup banyak dari uang bulanan dan hadiah lomba yang gue menangin. Gue kumpulin sedikit demi sedikit buat masa depan… tapi akhirnya gue pake buat kabur dari rumah."

Adrian menghembuskan napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jendela rumah sakit.

"Setelah gue pergi dari rumah, gue langsung cari tempat tinggal. Dengan semua uang yang gue kumpulin dari lomba-lomba yang gue menangin, gue bisa beli apartemen yang cukup mewah. Bukan karena gue pengen hidup berlebihan, tapi lebih ke… gue butuh tempat yang benar-benar bisa gue sebut rumah, yang nggak ada bayangan mereka sama sekali."

Dafa, Aldi, dan Rayhan tetap diam, membiarkan Adrian berbicara sesuai dengan ritmenya sendiri.

"Setelah semua beres, gue daftar ke sekolah baru. Gue pikir, itu bakal jadi awal yang benar-benar baru buat gue. Nggak ada lagi keluarga yang ngebenci gue, nggak ada lagi yang bisa ngejatuhin gue." Adrian tersenyum miris. "Tapi gue juga nggak berharap banyak. Gue udah terbiasa sendiri."

Rayhan mengangguk pelan. "Lalu lo ketemu kita?"

Adrian menoleh ke arah Rayhan, seolah memastikan bahwa apa yang terjadi dulu itu benar-benar nyata. "Iya. Di parkiran sekolah, waktu gue baru mau daftar."

Aldi tertawa kecil. "Gue masih inget. Lo berdiri sendirian, bawa dokumen pendaftaran, mukanya kayak orang nyasar."

Adrian menghela napas, tapi ada sedikit senyum yang muncul di bibirnya. "Ya, maklum. Gue emang nggak tahu apa-apa soal sekolah itu. Gue cuma asal daftar karena lokasinya paling dekat sama apartemen gue."

Dafa menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dan saat itu juga, Aldi langsung nyamperin lo tanpa basa-basi."

Adrian menatap Aldi dengan ekspresi setengah heran, setengah geli. "Lo waktu itu tiba-tiba ngajak ngobrol gue, nanya gue siapa, dari mana, terus tanpa nunggu jawaban lengkap, lo langsung bilang, ‘Lo keliatan kayak orang keren, ayo nongkrong bareng kita!’"

Aldi mengangkat bahunya dengan santai. "Gue emang gitu. Insting gue nggak pernah salah."

Rayhan tertawa kecil, mengingat kejadian itu. "Gue inget gue yang pertama kali nyadarin kalau lo anak baru. Waktu itu gue lagi sama Dafa di parkiran juga, terus gue lihat lo diem aja sambil ngeliatin brosur sekolah."

Dafa menambahkan, "Dan dari situ, entah gimana, kita jadi sering ketemu. Lo awalnya pendiem banget, tapi makin lama kita makin deket."

Adrian mengangguk, tatapannya melembut. "Gue awalnya ragu. Gue takut kalau suatu saat gue bakal ditinggalin lagi. Tapi lo semua… lo nggak pernah ninggalin gue. Lo terima gue apa adanya, tanpa peduli masa lalu gue."

Aldi menepuk bahu Adrian dengan semangat. "Tentu aja! Kita ini sahabat, bro. Sekali kita nerima lo, kita nggak bakal ninggalin lo."

Rayhan tersenyum kecil. "Dan lo harus inget itu, Adrian. Lo nggak sendiri lagi."

Adrian Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang