Seumur hidupnya, Adrian hanya menjadi bayangan di keluarganya sendiri. Hingga suatu malam, satu kalimat menghancurkan segalanya. Ia pergi tanpa menoleh-tanpa rencana, tanpa tujuan. Tapi bisakah bayangan benar-benar menemukan cahayanya sendiri?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah tiga hari berlalu sejak Adrian dirawat di rumah sakit. Keadaannya udah jauh lebih baik dibanding hari pertama, tapi karena fisiknya emang lemah dari sananya, dia butuh waktu lebih lama buat pulih. Ya, hitung-hitung ini jadi momen buat dia istirahat total. Tapi yang bikin dia nggak bisa kabur sama sekali adalah betapa sahabat-sahabatnya nggak berhenti manjain dia dari pagi sampai malam.
Rayhan duduk santai di sofa kecil di samping ranjang, tapi tangannya udah otomatis narik Adrian buat nyender ke bahunya. "Udah, diem aja, jangan banyak gerak. Gue tau lo suka sok kuat," katanya sambil ngeremas pelan rambut Adrian, bikin yang dipeluk cuma bisa mendesah pasrah.
Dafa, yang duduk di sisi lain tempat tidur, dengan sabar nyuapin Adrian makanan yang mereka pesen khusus. "Lo makan yang bener, ya. Biar cepet sembuh," katanya dengan nada setengah galak, tapi jelas ada perhatian di balik itu.
Adrian mendengus kecil, tapi tetep buka mulutnya pas Dafa nyodorin sendok ke arahnya. "Gue masih bisa makan sendiri, tahu..." gumamnya males.
Aldi yang dari tadi nyimak malah cekikikan sebelum tiba-tiba ngangkat Adrian dalam posisi bridal style. "Iya, tapi lebih enak kalo kita yang nyuapin, kan?" godanya sambil ngetawain ekspresi shock Adrian yang langsung ngeronta-ronta.
"Anjir! Turunin gue, Aldi!" suara Adrian naik satu oktaf, tapi fisiknya yang lemah bikin dia nggak bisa ngelawan.
Aldi malah ngakak sambil ngegendong lebih erat. "Lo terlalu ringan, sumpah! Gue bisa gendong lo sambil lari-lari keliling ruangan kalo lo mau."
Rayhan yang tadi duduk santai di sofa akhirnya buka suara sambil geleng-geleng kepala. "Aldi, jangan nyusahin orang sakit, woy," katanya sambil narik Adrian dari pelukan Aldi, tapi bukannya ngebebasin, dia malah ngebuat Adrian nempel ke dirinya dalam posisi gendong ala koala.
"Udah, lo diem aja, nyender sini," kata Rayhan sambil nepuk-nepuk punggung Adrian kayak lagi nenangin anak kecil.
Adrian cuma bisa mendesah panjang. "Anjir, kenapa gue berasa jadi boneka di sini?" tanyanya dengan suara pelan, antara pasrah sama bingung.
Aldi cuman nyengir. "Karena emang lo boneka kita."
Dafa nimbrung, kali ini dengan nada lebih lembut. "Iya, jadi nggak usah banyak protes. Lo mau kita panggil lo 'baby' sekalian?"
Adrian cuma diem beberapa detik sebelum akhirnya nyengir tipis. Oke, mungkin hidupnya emang berantakan, mungkin keluarganya nggak pernah nganggap dia ada, tapi... setidaknya sekarang dia punya orang-orang yang nggak akan ninggalin dia. Dan buat pertama kalinya, dia ngerasa bener-bener dicintai.
Saat suasana masih dipenuhi canda tawa, pintu kamar rumah sakit tiba-tiba diketuk, lalu terbuka pelan. Seorang dokter masuk dengan clipboard di tangan, senyumnya ramah, tapi matanya tetap profesional menatap ke arah Adrian yang masih berada dalam posisi gendong ala koala oleh Rayhan.
Adrian buru-buru ngelepas tangannya dari leher Rayhan dan berusaha duduk lebih normal. "Eh, Dok," sapanya agak canggung, sementara sahabat-sahabatnya juga ikut duduk lebih rapi, walaupun Aldi masih nahan senyum geli.