Setelah kembali dari Inggris, Ling mulai bekerja di bawah orang tuanya, menjalani perannya dalam bisnis keluarga. Sementara itu, Narin dan Tanthira bekerja bersama di perusahaan keluarga Tanthira, ikatan mereka semakin kuat seiring mereka membangun masa depan bersama.
Ling merasa lega mengetahui bahwa Orm tidak lagi tinggal di rumahnya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa seperti bisa benar-benar bebas dari keberadaan yang tidak diinginkan yang menghantuinya sejak masa kecil.
Suatu malam, Ling, Narin, dan Tanthira memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Itu dimaksudkan sebagai pertemuan santai—tertawa, menikmati kopi, dan berbicara kosong. Namun, begitu mereka melangkah masuk, senyum Ling memudar.
Di balik meja kasir berdiri Orm Kornnaphat.
Waktu telah mengubahnya. Ia membawa dirinya dengan kepercayaan diri yang tenang, keberadaannya kini tidak lagi selemah dan tak terlihat seperti dulu. Namun, saat matanya bertemu dengan mata Ling, beban masa lalu langsung kembali menyerbu dalam sekejap.
Ling menggigit bibirnya. Bahkan setelah bertahun-tahun, ia masih membenci Orm.
"Apa yang dia lakukan di sini?" Ling bergumam pelan, jari-jarinya mengepal.
"Tenang, Ling," Tanthira berkata santai, menyeruput es kopinya. "Ini cuma kebetulan."
"Benarkah?" Suara Ling tajam. "Kenapa dia selalu muncul dalam hidupku?"
Sementara itu, pandangan Narin terfokus pada Orm, ekspresinya tak terbaca. Sesuatu berkelebat di matanya—perasaan yang tidak bisa dicerna oleh Ling maupun Tanthira.
"Orm terlihat... berbeda," gumam Narin, hampir pada dirinya sendiri.
Ling mendengus. "Dia tetap anak yatim yang menyedihkan seperti dulu."
Namun Narin tidak mendengarkan. Saat Orm bergerak di belakang meja kasir, genggamannya pada cangkirnya semakin kuat. Tanthira, yang selalu mengetahui kebenaran tentang permainan licik Narin, mengamatinya dengan cermat. Ia tersenyum sinis, meletakkan tangannya di paha Narin di bawah meja.
"Masih ingin dia, kan?" bisiknya pelan, hanya agar Narin yang mendengarnya.
Narin tidak menjawab. Ia hanya menyeruput minumannya perlahan, matanya tak pernah lepas dari Orm.
Setelah pertemuan itu, Narin mendapati dirinya kembali ke kafe itu lebih sering, selalu mencari-cari alasan untuk berkunjung. Ia mengamati Orm dengan cermat, berusaha menarik perhatiannya. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun meyakinkan dirinya bahwa ia sudah melupakan perasaannya yang dulu, namun bertemu Orm lagi menyalakan kembali sesuatu yang belum ia siap untuk akui.
Suatu malam, akhirnya ia mendekati Orm.
"Orm, ayo bicara."
Orm hampir tidak meliriknya saat ia terus mengelap meja kasir. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Narin. Pesan sesuatu atau pergi."
Rahangnya mengeras. "Jangan pura-pura tidak ingat apa yang kita miliki."
Orm terkekeh tanpa humor. "Apa yang kita miliki? Kamu maksud kebohongan? Penghinaan? Cara kamu menggunakan Ling untuk membalas dendam padaku?"
Narin menghembuskan napas dengan kasar. "Itu sudah lama sekali."
"Betul. Jadi biarkan itu menjadi masa lalu."
Tapi Narin bukanlah orang yang mudah menerima penolakan. Usahanya untuk memikat Orm semakin berani, semakin gigih. Dan ketika pesona tidak berhasil, ia beralih pada kekuatan.
Suatu malam, saat kafe hampir tutup dan beberapa pelanggan terakhir sedang menghabiskan minuman mereka, Orm keluar untuk membuang sampah. Ia baru beberapa langkah berjalan ketika mendengar langkah kaki di belakangnya.
"Orm."
Ia berbalik untuk melihat Narin berdiri di sana, ekspresinya gelap.
"Ayo ikut aku," katanya, suaranya dalam dan berbahaya.
Orm mengerutkan dahi. "Beri jalan, Narin. Aku tidak ada urusan denganmu."
Namun ia meraih pergelangan tangannya, cengkeramannya semakin kuat. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja dariku lagi."
Sebelum Orm sempat bereaksi, suara seorang wanita memotong.
"Lepasin dia!"
Itu adalah Nim, sahabat baik Orm, berdiri tak jauh dengan tatapan tajam. Para pelanggan di dalam kafe mulai berbalik untuk melihat apa yang terjadi, membicarakannya dengan bisikan.
Orm memanfaatkan momen itu, menarik tangannya dengan cepat. Tanpa ragu, ia meraih segelas air dari meja luar dan langsung melemparkannya ke wajah Narin.
Teriakan terkejut memenuhi udara saat para pelanggan dan staf menyaksikan kejadian itu. Narin berdiri membeku, basah kuyup dan terhina, tangan terkepal penuh amarah.
"Jauhkan dirimu dariku," kata Orm, suaranya tegas. "Atau lain kali, bukan hanya air yang akan kulempar."
Dengan itu, ia berbalik dan masuk kembali ke dalam kafe, Nim mengikuti di belakangnya.
Sementara Narin berdiri di sana, basah kuyup dan malu, satu pikiran menguasai dirinya.
Ia akan membuat Orm membayar untuk ini.
Dan ia tidak akan berhenti sampai ia melakukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You.. (Karena Kamu..) I LingOrm
FanfictionDISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Or...