Narin keluar dari rumah Ling dengan kemarahan membara, tinjunya terkepal erat. Rencananya sudah sempurna. Dia mengira Ling akhirnya akan menyerah, membuktikan kesetiaannya dengan menyerahkan dirinya padanya.
Tapi Ling menolaknya.
Aku? Ditolak?
Pikiran itu membuat darahnya mendidih. Dia sudah memberikan segalanya untuk Ling—waktunya, perlindungannya, kesabarannya. Namun, Ling berani-beraninya mendorongnya pergi, hanya karena gadis menyedihkan itu.
Pikirannya dipenuhi amarah saat ia mengemudi dengan kasar di tengah malam. Dia sudah tahu ke mana harus pergi.
Tanthira.
Satu-satunya yang tidak pernah menolaknya. Satu-satunya yang benar-benar miliknya.
Begitu tiba di rumah Tanthira, dia bahkan tidak menunggu lama. Begitu pintu terbuka, dia langsung menarik Tanthira ke dalam, genggamannya kasar, bibirnya menuntut.
"Narin?" Tanthira terkejut dengan urgensinya. "Apa—"
"Diam," geramnya, mendorongnya masuk. "Biarkan aku memilikinya."
Tanthira menyeringai, langsung mengerti. Dia sudah melihat ini sebelumnya—kemarahannya, sifat posesifnya. Dia tahu persis apa yang harus dilakukan.
Malam itu, Narin menuangkan semua frustrasinya ke dalam dirinya, sentuhannya penuh hukuman, gerakannya putus asa. Dan Tanthira menerimanya dengan tangan terbuka, menikmati kenyataan bahwa, pada akhirnya, tidak peduli apa yang terjadi dengan Ling—Narin tetap miliknya.
Sementara itu, Orm menemukan ketenangan sesaat dalam pekerjaannya di kafe. Satu-satunya tempat di mana dia tidak diperlakukan seperti sampah.
Suatu sore, saat dia sedang membersihkan meja, suara yang familiar memecah pikirannya.
"Kamu kelihatan lelah."
Orm menoleh dan melihat Sam, salah satu pelanggan tetap, seseorang yang diam-diam menjadi sumber kenyamanan baginya. Tidak seperti yang lain, Sam tidak pernah memandangnya dengan kasihan atau hinaan. Ada kelembutan di matanya, kebaikan yang tidak biasa Orm rasakan.
"Kamu pernah istirahat?" tanya Sam, memiringkan kepalanya.
Orm ragu sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Aku bisa mengatasinya."
Sam terkekeh. "Kerja keras itu bagus, tapi jangan lupa menjaga diri sendiri."
Sebuah percakapan sederhana. Tapi bagi Orm, itu adalah sesuatu yang langka—seseorang yang peduli, bahkan dalam cara sekecil itu.
Apa yang Orm tidak sadari adalah bahwa Ling melihat semuanya.
Ling datang ke kafe bersama Narin, mengharapkan melihat Orm dalam keadaan menyedihkan seperti biasanya. Namun, yang dia lihat adalah sesuatu yang berbeda.
Orm tersenyum.
Orm berbicara dengan seseorang dengan nyaman.
Seseorang memperlakukannya dengan hangat.
Dan Ling membencinya.
Dia tidak punya hak untuk marah. Dia tahu itu. Tapi cara Orm menatap Sam—itu berbeda. Dan itu membuat darah Ling mendidih.
Untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa muak dengan Orm.
Dia marah.
Posesif.
Malam itu, begitu Orm melangkah masuk ke dalam rumah, dia bahkan belum sempat meletakkan tasnya sebelum Ling meraih pergelangan tangannya.
"Apa maksudnya itu?" desis Ling, kukunya mencengkeram kulit Orm.
Orm mengerutkan kening, bingung. "Apa yang kamu bicarakan?"
"Di kafe," Ling meludahkan kata-katanya, menarik Orm lebih dekat. "Kamu pikir aku tidak melihatmu menggoda wanita itu?"
Mata Orm melebar. "Sam? Dia hanya pelanggan."
Tapi Ling tidak mendengarkan. Api cemburu dalam dadanya membakar terlalu panas, menutupi semua logika.
Tanpa berpikir, tangannya melayang ke depan.
Plak.
Suara tamparan bergema di dalam rumah yang sunyi.
Orm terhuyung mundur, satu tangan terangkat ke pipinya, matanya dipenuhi keterkejutan.
Tapi Ling belum selesai.
Tamparan lain.
Dan satu lagi.
Orm tidak melawan. Dia tidak berteriak atau memohon. Dia hanya menerimanya, seperti yang selalu dia lakukan, sampai tubuhnya menyerah dan jatuh ke lantai.
Dan tiba-tiba, kabut amarah itu menghilang.
Napas Ling memburu. Dadanya naik turun dengan cepat. Buku-buku jarinya sakit karena pukulan yang baru saja ia berikan.
Dan Orm... Orm tidak bergerak.
Dingin merayap di sepanjang tulang punggung Ling.
Apa yang telah dia lakukan?
Panik meluap di dalam dirinya. Dengan tangan gemetar, dia meraih ponselnya dan menelepon satu-satunya orang yang selalu memanjakan kegelapannya.
"Narin," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku... aku menyakitinya. Dia pingsan."
Ada jeda sebelum akhirnya Narin tertawa kecil dengan nada mengejek.
"Lalu kenapa?" katanya dengan santai. "Dia pantas mendapatkannya. Dibandingkan dengan apa yang dia lakukan padamu, ini bukan apa-apa."
Ling ingin mempercayainya. Dia butuh mempercayainya.
Tapi saat dia menatap tubuh Orm yang diam, rasa bersalah yang menjijikkan menyesakkan tenggorokannya.
Untuk pertama kalinya, keraguan merayapi hatinya.
Apakah Orm benar-benar musuhnya?
Ataukah Ling menghabiskan bertahun-tahun berperang dalam perang yang seharusnya tidak pernah ada?
Dan kenapa...
Kenapa memikirkan kehilangan Orm membuat dadanya sesak oleh ketakutan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You.. (Karena Kamu..) I LingOrm
FanfictionDISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Or...