Narin bisa melihatnya—Ling mulai menjauh. Dia tidak lagi membabi buta mengikuti kata-katanya, tidak lagi dipenuhi kebencian yang sama terhadap Orm. Sesuatu telah berubah, sesuatu yang berbahaya. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi.
Tanthira juga menyadari perubahan dalam diri Narin. Kesombongannya kini memiliki sisi keputusasaan, rencana-rencananya yang dulu tertata rapi kini menjadi ceroboh. Dia bisa merasakan badai yang berkecamuk di balik ketenangannya, dan dia tahu tidak akan lama sebelum Narin melakukan sesuatu yang tak bisa diubah.
Malam itu, dia menghadapinya.
Berdiri di lorong rumah besar yang remang-remang, dia menghalangi jalannya dengan tangan terlipat, matanya tajam.
"Apa yang sedang kau rencanakan, Narin?"
Dia menyeringai, memiringkan kepalanya. "Kenapa kau peduli, Tan? Sejak kapan kau mempertanyakan aku?"
Dia melangkah lebih dekat, suaranya rendah dan tegas. "Sejak aku menyadari kau kehilangan kendali. Kau sedang merencanakan sesuatu melawan Ling, bukan?"
Senyum Narin memudar sesaat sebelum dia mendengus. "Dia mulai melupakan tempatnya. Aku hanya mengingatkannya."
Perut Tanthira terasa mual. "Kau tidak memiliki dia. Dia bukan bidak caturmu, Narin!"
Tatapannya menggelap, senyumannya kembali, kali ini lebih dingin. "Begitu juga kau, tapi kau masih di sini. Masih berdiri di sisiku."
Tanthira mengepalkan tangannya. "Itu berbeda."
"Oh, ya?" Narin sedikit mendekat, suaranya penuh ejekan. "Kau pikir kau begitu berbeda dari Ling? Bahwa kau tidak dikendalikan? Kau bicara besar, Tanthira, tapi pada akhirnya, kau selalu mengikuti perintah. Pertama ayahmu. Sekarang aku."
Napas Tanthira tercekat, sesuatu di dalam dirinya retak. "Jangan bawa-bawa ayahku ke dalam ini."
Narin tertawa pelan. "Kenapa tidak? Dia yang membentukmu seperti ini. Mengajarkanmu untuk patuh, mengorbankan segalanya demi persetujuannya. Dan apa yang kau dapatkan? Tidak ada. Dia tetap membuangmu seolah kau tak berharga."
Kata-katanya menusuk seperti belati.
Suara ayahnya, dingin dan mutlak, bergema di telinganya. "Kau akan melakukan seperti yang kukatakan, atau kau bukan lagi anakku."
Kenangan yang menyesakkan menelannya—pengkhianatan, rasa sakit, bagaimana dia dipaksa meninggalkan satu-satunya orang yang benar-benar dia cintai.
Matanya mulai berkaca-kaca. "Diam."
Narin melangkah maju, suaranya berbisik kejam. "Dia sudah mati sekarang, Tanthira. Tapi cengkeramannya padamu? Masih hidup. Kau menyedihkan."
Seluruh tubuh Tanthira bergetar. "Aku bilang diam!" teriaknya, suaranya pecah saat air mata pertama jatuh ke pipinya.
Dia tidak bisa menahannya lagi.
"Kau tidak berhak berbicara tentang dia! Kau tidak berhak berbicara tentang apa yang dia lakukan padaku!"
Narin hanya menatapnya, tak tergoyahkan, saat kemarahan itu berubah menjadi kesedihan.
Tanthira menarik napas tersendat, pandangannya kabur. Dia mengusap air matanya dengan kasar, tapi mereka tidak berhenti. Dia membenci ini. Membenci bahwa Narin masih bisa menyakitinya seperti ini.
Dengan isakan yang patah, dia berbalik dan pergi, langkahnya goyah, hatinya hancur.
Dia tidak berhenti. Tidak menoleh ke belakang.
Saat dia menghilang dalam bayang-bayang, Narin menyeringai.
Dia puas.
Tanthira masih berada dalam genggamannya.
Dan itu berarti dia masih bisa menggunakannya.
Konflik Ling
Ling duduk sendirian di apartemennya yang remang-remang, segelas wiski di tangan. Ruangan itu sunyi, tapi pikirannya berisik—terlalu berisik.
Selama bertahun-tahun, dia meyakinkan dirinya bahwa Orm tidak berarti apa-apa. Tapi jika itu benar, kenapa itu menyakitkan setiap kali dia melihatnya? Kenapa tatapannya, yang penuh dengan luka diam-diam, masih menghantuinya sampai sekarang?
Lalu ada Sam.
Sam, yang tak kenal lelah, yang tak pernah ragu untuk menantangnya. Yang membuatnya mempertanyakan hal-hal yang tidak ingin dia pertanyakan.
"Aku tidak mengerti kau, Ling. Jika kau begitu membenci Orm, kenapa kau peduli saat dia ada di sekitarku?"
Suara Sam menggema di benaknya, dan Ling mengerutkan kening, menggenggam gelasnya lebih erat.
Apa yang seharusnya dia lakukan? Narin selalu menjadi jangkarnya, satu-satunya yang memberinya arah, bahkan ketika arah itu mengarah ke kehancuran. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang mendekati keraguan.
Obsesinya terhadap kendali. Manipulasinya. Caranya memutarbalikkan kata-kata sampai menjadi sangkar di sekelilingnya.
Dia lelah.
Lelah dengan perang di dalam dirinya.
Lelah berpura-pura bahwa dia tidak merasakan apa-apa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You.. (Karena Kamu..) I LingOrm
FanfictionDISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Or...