Sudut Pandang Orm
Bunyi bip samar menarik Orm dari kegelapan. Tubuhnya terasa berat, anggota tubuhnya lemah, tetapi kehangatan dari kehadiran yang familiar di sampingnya membuatnya tetap bertahan. Perlahan, dia memaksa kelopak matanya yang berat untuk terbuka, menyesuaikan diri dengan ruangan rumah sakit yang remang-remang.
Jantungnya mencengkeram erat saat melihat Ling.
Ling tertidur di sampingnya, kepalanya bertumpu pada lengan yang terlipat di atas tempat tidur. Bahkan dalam tidurnya, alisnya berkerut, kelelahan tampak jelas di wajahnya yang lembut. Dada Orm terasa sesak. Sudah berapa lama Ling seperti ini?
Bibir Orm sedikit terbuka, tetapi tenggorokannya terasa kering. Sebagai gantinya, dia berhasil mengangkat tangannya yang gemetar dan dengan lemah menyentuh jari Ling. Sentuhan lembut itu membangunkan Ling dari tidurnya.
Ling sedikit bergerak, bulu matanya bergetar sebelum akhirnya membuka mata. Sesaat, ekspresinya masih kabur oleh kantuk—sampai tatapannya bertemu dengan Orm.
Napasnya tersengal. "Orm?"
Orm memberikan senyum lemah. "Ling..."
Ling langsung duduk tegak, matanya membelalak tak percaya sebelum dengan cepat menangkup wajah Orm dengan tangan yang gemetar. "Shhh... shhh... Aku di sini. Aku di sini."
Orm menghela napas, menikmati kehangatan sentuhan Ling. Tanpa ragu, Ling membungkuk dan memeluknya erat, seolah takut Orm akan menghilang lagi.
Orm menghela napas lega, tetapi kemudian—
"Aduh..." dia meringis, rasa sakit tajam menjalar dari kepalanya.
Ling langsung menarik diri, kepanikan tergambar di wajahnya. "Apa yang salah? Di mana yang sakit?"
Orm tertawa kecil meskipun kesakitan. "Kepalaku... sepertinya pelukannya terlalu erat."
Ling mengerang, dengan cepat menekan tombol untuk memanggil perawat. Dalam hitungan detik, pintu terbuka, dan seorang perawat masuk.
"Dia sudah sadar!" Ling berseru. "Katanya kepalanya sakit."
Perawat itu tetap tenang, bergerak cepat untuk memeriksa tanda-tanda vital Orm. "Itu hal yang wajar setelah kecelakaan seperti ini, tapi saya akan segera memanggil dokter."
Saat perawat itu pergi, pintu terbuka lagi, dan masuklah orang tua Ling, Sam, dan Tan.
"Orm!" Nyonya Kwong terisak, bergegas ke sisinya. Matanya dipenuhi air mata saat dia dengan lembut menggenggam tangan Orm. "Syukurlah, sayang. Kami sangat khawatir."
Tuan Kwong, berdiri di samping istrinya, mengangguk kecil, wajahnya yang biasanya tegas kini melunak karena lega. "Kamu kuat. Kami tahu kamu akan sadar."
Sam menghela napas panjang, meletakkan tangannya di pinggul. "Kamu benar-benar tahu cara membuat orang kena serangan jantung, ya?"
Tan tetap diam tetapi tersenyum lembut, menunjukkan kelegaannya.
Dokter tiba tak lama kemudian, melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Orm. Dia tersenyum puas. "Ini benar-benar keajaiban. Mengingat parahnya kecelakaan itu, pemulihanmu luar biasa. Tapi kamu tetap perlu tinggal beberapa hari lagi untuk pemantauan lebih lanjut."
Ling mengerutkan kening. "Nggak bisa kita bawa Orm pulang aja? Aku yang bakal merawatnya."
Dokter menggeleng. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi baik Orm maupun Tanthira masih membutuhkan pengawasan medis untuk beberapa waktu."
Ling mendesah, jelas frustrasi. Tuan Kwong tertawa kecil, menepuk pundaknya. "Tenang, Ling. Mereka butuh istirahat, bukan kamu yang mengawasi mereka seperti elang."
"Setuju," Sam menyeringai. "Ling hampir ngamuk ke dokter."
Ling merengut, membuat Orm terkikik lemah.
Tuan Kwong menoleh ke dokter. "Saya ingin mereka berdua dipindahkan ke kamar VVIP dengan pengamanan ketat."
Dokter mengangguk. "Itu bisa diatur. Untuk saat ini, istirahat adalah obat terbaik."
Setelah dipindahkan ke suite VVIP, semua orang perlahan pergi, meninggalkan Ling sendirian untuk merawat Orm. Ruangan itu hening, hanya suara monitor detak jantung yang terdengar.
Ling duduk di tepi tempat tidur, dengan lembut menyisir rambut Orm. "Aku takut banget," akunya pelan. "Aku pikir aku kehilangan kamu."
Orm menggenggam tangannya, meremasnya lembut. "Aku di sini, Ling. Aku baik-baik saja. Dokter juga bilang begitu."
Ling menggeleng, genggamannya menguat. "Aku gagal melindungimu."
Orm tersenyum lembut. "Ling, ini bukan salahmu. Tidak ada yang bisa menyalahkanmu. Dan lihat—aku masih hidup. Itu yang terpenting."
Ling menghela napas dalam, menyandarkan dahinya ke dahi Orm. "Kamu terlalu baik buat aku."
Orm tertawa kecil. "Aku tahu."
Ling menarik diri sedikit, ekspresinya serius. "Sam dan aku akan mencari tahu siapa yang melakukan ini. Aku nggak bakal biarin mereka lolos."
Orm menghela napas. "Aku tahu kamu bakal lakukan itu. Tapi janji sesuatu padaku?"
Ling mengangguk. "Apa saja."
"Janji kamu juga bakal jaga diri."
Ling ragu sejenak sebelum mengangguk. "Aku janji."
Orm tersenyum, dan mereka duduk dalam keheningan sejenak, hanya menikmati keberadaan satu sama lain. Lalu, tiba-tiba, Ling bergumam, "Setelah semua ini selesai... kita harus bicara soal pernikahan."
Mata Orm melebar. "A-Apa?"
Wajah Ling sedikit memerah, tetapi tatapannya tetap mantap. "Maksudku... kita hampir kehilangan satu sama lain. Dan aku nggak mau buang waktu lagi. Aku mau kamu jadi istriku, Orm."
Orm langsung merona, tidak bisa berkata apa-apa.
Ling menyeringai. "Serius, kamu sampai nggak bisa ngomong? Ini pertama kalinya."
Sebelum Orm bisa pulih, pintu tiba-tiba terbuka.
Sam dan Tan masuk, menangkap momen intim itu.
Sam menyeringai. "Kami ganggu sesuatu?"
Ling mengerang, mengusap pelipisnya. "Kalian berdua punya timing terburuk, atau cuma aku yang merasa begitu?"
Orm terkikik, pipinya masih merah. "Tepat waktu, sebenarnya."
Tan tertawa kecil, dan Sam mengangkat alis. "Ling, kamu lagi malu ya?"
"Aku benci kalian," Ling mendengus.
Orm meremas tangannya. "Aku nggak."
Ling menghela napas dramatis. "Setidaknya ada yang sayang sama aku."
Sam mendengus. "Baiklah, baiklah, pasangan mesra. Kami bawa makanan. Kalian harus makan buat sembuh."
Malam itu, mereka berempat—Ling, Orm, Sam, dan Tan—menghabiskan waktu bersama, mengisi ruangan dengan tawa dan kehangatan. Setelah sekian lama, akhirnya ada kedamaian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You.. (Karena Kamu..) I LingOrm
FanfictionDISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Or...