Setelah kekacauan total di restoran, Sam bertekad mengantar Orm pulang dan menurunkan Tan di kantornya. Tapi, tentu saja, Ling punya rencana lain.
"Kenapa harus kamu yang nganter dia pulang?" Ling melipat tangan di dada.
"Karena aku yang bawa dia ke sini?" Sam menaikkan alis, seolah itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia.
"Ya, tapi dia ke sini gara-gara Tan, bukan kamu."
"Itu nggak masuk akal sama sekali." Sam menghela napas, mengusap pelipisnya. "Ling, tolong jangan bersikap kekanak-kanakan."
"Aku nggak kekanak-kanakan. Aku cuma memastikan Orm sampai rumah dengan selamat. Aku nggak percaya sama kamu." Ling mendengus.
"Maaf?" Sam mendekat dengan smirk. "Kalau dipikir-pikir, harusnya aku yang nggak percaya sama kamu."
Sebelum pertengkaran semakin memanas, Tan melangkah maju.
"Cukup. Ling, antar Orm pulang. Sam, kamu ikut aku." Suaranya tidak memberi ruang untuk bantahan.
Sam menghela napas dramatis. "Baiklah. Tapi pastikan dia sampai rumah dengan utuh." Dia menatap Ling dengan tatapan peringatan sebelum pergi bersama Tan.
Ling tersenyum menang. "Akhirnya, kemenangan di tanganku."
Orm, yang berdiri canggung di antara mereka, hanya menggelengkan kepala. "Kalian berdua benar-benar melelahkan."
Saat Ling dan Orm hendak pergi, tiba-tiba ibu Ling muncul di lobi.
"Ling! Oh, dan Orm juga! Betapa menyenangkan melihat kalian bersama."
Tubuh Ling langsung menegang. Orm tersenyum sopan.
"Aku baru mau pergi, Mom." Ling mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Jangan konyol! Kalian bisa meluangkan beberapa menit. Ajak Orm ke kantor. Perkenalkan dia dengan benar." Ibu Ling tersenyum cerah. "Kamu seharusnya membiarkan tunanganmu mengenal tempat kerjamu, bukan?"
Orm menahan napas sejenak.
Ling hanya mengangguk, tidak repot-repot berdebat dengan ibunya.
"Baiklah, sampai jumpa nanti." Ibu Ling melambai sebelum pergi ke pertemuannya.
Begitu ibunya pergi, Orm menoleh ke Ling, senyum di wajahnya perlahan memudar.
"Ling... Aku tahu kamu nggak mau mengenalkan aku. Aku paham." Suaranya lembut, matanya menunduk. "Aku nggak mau mempermalukanmu. Aku tahu tempatku."
Ling mengerutkan kening, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Kalau kamu nggak mau nganter aku pulang juga nggak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk. Aku cuma senang kita bisa makan siang bareng hari ini." Orm tersenyum lembut, meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya.
Sebuah rasa bersalah menancap di hati Ling. Kata-kata Orm tulus, tapi terdengar begitu menyedihkan. Kenangan menghantamnya—setiap kali dia mengabaikan Orm, berbicara kasar padanya, memperlakukannya seolah dia hanyalah gangguan. Tapi Orm tetap memandangnya dengan hangat, masih menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.
Tanpa berpikir panjang, Ling meraih kunci mobilnya. "Ayo pergi. Aku antar kamu pulang."
Orm berkedip, terkejut. "Ling, serius, kamu nggak perlu—"
"Aku bilang ayo pergi." Ling menegaskan.
Perjalanan pulang terasa sunyi, tapi damai. Orm duduk diam, sesekali melirik Ling yang tetap fokus mengemudi. Tidak ada kecanggungan—hanya keheningan yang anehnya nyaman.
Di tengah perjalanan, Ling tiba-tiba membelokkan mobilnya ke tempat parkir sebuah toko hewan peliharaan.
"Ling?" Orm menatapnya, bingung.
"Ayo." Ling melepas sabuk pengamannya. "Kita lihat-lihat anak anjing."
Mata Orm melebar. "Tunggu... apa?"
Ling mengangkat bahu. "Kamu tinggal sendirian. Anak anjing bisa jadi teman yang baik."
Orm terkejut. Dia sama sekali nggak menyangka ini. Tapi begitu mereka masuk dan melihat ekor-ekor kecil yang bergoyang serta suara gonggongan riang, hatinya langsung meleleh.
Dia berjongkok, membiarkan seekor golden retriever kecil menjilati jarinya. "Ling, kamu serius? Aku beneran boleh punya satu?"
Ling menyandarkan diri ke meja kasir, memperhatikannya. "Ya. Pilih yang kamu suka."
Orm tersenyum cerah, kegembiraannya seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah impian. Ling merasakan sesuatu mencubit hatinya lagi. Orm terlalu mudah bahagia, terlalu cepat puas hanya dengan hal-hal kecil. Dia pantas mendapatkan lebih.
Setelah menyelesaikan semua urusan, mereka kembali ke rumah yang mereka tinggali bersama. Saat tiba, Orm menggendong anak anjing kecil itu dengan hati-hati, ekspresinya lembut dan penuh emosi.
"Terima kasih, Ling." Suaranya sedikit bergetar.
Ling melihat air mata di mata Orm dan langsung panik. "H-Hey! Kenapa kamu nangis? Ada apa?"
Orm cepat-cepat menggeleng dan tersenyum. "Nggak ada. Aku cuma... sangat bahagia."
Dia ingin mengatakan, ini hadiah pertama yang pernah kamu berikan padaku. Tapi dia memilih menyimpannya sendiri. Kadang aku nggak mengerti kamu, Ling.
Ling menghela napas, lega. "Kamu sempat bikin aku takut."
Orm tertawa kecil. "Aku akan merawatnya dengan baik."
Ling menatapnya, lalu bergumam pelan, "Ya... kamu memang selalu begitu."
Sementara itu, di kantor Sam, dia dan Tan tiba dalam keheningan tegang. Sam menoleh ke Tan, matanya menyipit tajam.
"Sekarang, ceritakan semuanya tentang rencana bodoh Narin."
Tan menghela napas dan mulai menjelaskan semua yang dia ketahui—manipulasi, kebohongan, dan bagaimana dirinya dibutakan oleh cinta. Tangan Sam mengepal, rahangnya mengencang seiring dengan setiap kata yang keluar dari Tan.
"Narin, kamu benar-benar gila." Sam menggumam, suaranya penuh dengan kemarahan tertahan.
Tan menatap Sam, merasa lega sekaligus bersalah. Dia tahu Sam nggak akan tinggal diam. Dan jujur saja, dia sendiri nggak yakin apakah dia ingin Sam membiarkan ini berlalu begitu saja.
Setelah beberapa saat hening, Sam menarik napas dalam-dalam dan menatap Tan. "Kamu harus bilang yang sebenarnya ke Ling."
Mata Tan melebar. "Apa? Nggak. Aku nggak bisa—"
"Dia berhak tahu kalau kamu adalah pacar rahasianya Narin. Kalian berdua udah dimanipulasi olehnya. Ling harus tahu semuanya."
Tan ragu, menggigit bibirnya. "Tapi gimana kalau itu merusak persahabatan kita? Gimana kalau dia benci aku?"
Sam menaruh tangan di bahu Tan dengan lembut. "Percaya deh. Itu jauh lebih baik daripada dia hidup dalam kebohongan. Ling nggak bodoh—cepat atau lambat, dia bakal tahu juga. Lebih baik dia dengar langsung darimu. Atau mungkin kamu bisa coba bicara ke Orm dulu?"
Tan menelan ludah, hatinya dipenuhi ketakutan. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu Sam benar. Sudah waktunya dia mengatakan yang sebenarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You.. (Karena Kamu..) I LingOrm
FanfictionDISCLAIMER Cerita ini sepenuhnya fiksi. Tidak ada hubungannya dengan kejadian, individu, atau entitas di dunia nyata, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Kesamaan apa pun hanyalah kebetulan belaka dan tidak disengaja. Ling Ling Kwong & Or...