.
happy reading
.
.Malam itu, rumah yang selalu terasa seperti tempat asing, mendadak jadi lebih sepi dari biasanya. Setelah wanita itu-yang memanggilnya 'anak' dengan suara bergetar penuh penyesalan-pergi, langit pun ikut hening, seperti tak ingin berkata apa-apa.
Ciel membuka pintu kamarnya perlahan, menunggu sampai suara langkah wanita itu benar-benar hilang dari depan rumah. Di meja dekat pintu, ia melihat tumpukan uang yang cukup besar, terlipat rapi bersama secarik kertas kecil. Ia mengambilnya tanpa ekspresi, membaca tulisan di atasnya dalam diam:
"Ini untuk uang jajanmu, maafkan ibu, nak. Besok ibu akan ke sini lagi."
Tangannya melipat ulang kertas itu, meletakkannya di meja kamarnya, lalu menatap kosong ke arah dinding. Tidak ada rasa gembira, tidak juga sedih. Entah kenapa kata 'ibu' terdengar begitu asing baginya, seolah bukan miliknya. Semalam suntuk, bapak tirinya dan wanita yang dipanggil ibu tiri tidak juga pulang. Tapi bagi Ciel, semua itu tak penting. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Hidup tanpa suara mereka lebih baik, lebih tenang.
Ia menyiapkan buku-buku sekolahnya, merapikan alat tulis dengan tangan santai tapi pasti. Dalam hati, ia bergumam:
"Seperti inilah hidup yang seharusnya... tidak ada darah, tidak ada senjata, tidak ada perintah untuk membunuh siapa pun. Aku bebas. Setidaknya, untuk saat ini."
✰✰✰
Paginya, ciel terbangun namun rumah yang ia tempati masih sunyi seperti malam sebelumnya. Tidak ada tangisan seorang anak kecil lagi atau suara tv yang keras di ruang tamu.
Sangat sunyi, seolah penghuni rumah itu hanyalah dia. Tidak tahu apa yang terjadi dengan orang orang rumah ini. Ciel acuh tak acuh segera mandi lalu bersiap untuk pergi ke sekolah.
Matahari baru setengah naik ketika Ciel melangkah keluar rumah. Namun langkahnya terhenti tepat di depan gerbang. Di sana, berdiri seorang pemuda yang sudah tidak asing baginya.
Theodore.
Berdiri diam, seolah memang sudah menunggunya sejak lama. Ciel hanya melirik sekilas, lalu berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun. Theo tidak bergerak, hanya memutar tubuh dan mengikuti langkah Ciel dari belakang. Langkah mereka berirama, tapi tidak ada suara yang keluar di antara dua manusia itu selain desah napas tipis.
Ciel yang dari tadi diam, akhirnya tak tahan dengan keheningan yang terasa mengganggu.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya pelan, tanpa menoleh.
"Aku menunggumu," jawab Theo singkat.
Alis Ciel terangkat, menatapnya dengan gerakan kepala yang setengah malas. "Kenapa?"
Tidak ada jawaban. Theo hanya diam, menatap langit seolah pertanyaan itu bukan untuknya.
Ciel menghela napas pelan, lalu melanjutkan langkah menuju minimarket terdekat. Ia membuka kulkas, mengambil sepotong roti tawar dan minuman kotak, lalu membayar tanpa banyak bicara. Dari awal hingga keluar dari pintu minimarket, Theo tetap mengikutinya.
Baru ketika mereka berjalan lagi di jalan kecil yang sepi, suara Theo memecah keheningan.
"Apa di rumahmu tidak ada makanan?" tanyanya sambil memperhatikan roti di tangan Ciel.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Assassin Turned As Student
RandomBL AREA! (jangan salah lapak!) ciel (uke) Ciel Everhart, pemuda yang dicap bodoh oleh orang sekitarnya bahkan ia dibully oleh teman sekelasnya karena ia tak bisa berbicara dengan benar dan fisik yang terlihat payah. Namun berbeda dengan kenyataann...