抖阴社区

9

1.2K 160 22
                                        


.
.
happy reading
.
.


Sampai bel pulang sekolah berbunyi, Ciel sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya di kelas. Tasnya masih tergeletak di kursi, seolah ditinggalkan dengan tergesa.

Tidak ada pesan, tidak ada kabar, seakan ia menghilang begitu saja. Wajah - wajah siswa di kelas mulai melupakan kehadirannya, namun satu-satunya orang yang terus menoleh ke arah bangkunya adalah Theo.

Theo yang biasanya tak pernah peduli pada kehadiran siapa pun, hari ini duduk diam di kursinya sepanjang waktu.

Ia menyimak pelajaran atau setidaknya, berpura-pura menyimak padahal pikirannya terus melayang pada Ciel. Ia tidak tahu kenapa.

Mungkin karena sejak awal, ada sesuatu pada diri Ciel yang membuatnya merasa... bertanggung jawab? Tidak. Itu bukan kata yang tepat. Lebih dari itu.

Pujian dari guru-guru yang biasanya tidak ia dengarkan, kini justru terasa menyebalkan.

Mereka memujinya karena mengikuti pelajaran, memandangnya sebagai siswa yang 'akhirnya sadar' padahal ia sendiri merasa tidak ada yang berubah.

Hatinya tetap sama, berantakan. Kosong. Dan sekarang dipenuhi kekesalan karena satu orang tidak juga kembali.

Saat semua siswa berhamburan keluar, Theo tetap duduk. Ia tidak beranjak sampai kelas benar-benar sepi. Lalu, matanya menatap tas Ciel yang tergeletak di bangku. Ia menghela napas tajam, mengacak rambutnya, lalu berdecak kesal, "Ck!"

Dengan satu gerakan malas namun mantap, Theo menyampirkan tasnya sendiri di bahu kiri, lalu meraih tas Ciel dengan tangan kanan. Ia membawa dua tas sekaligus keluar kelas.

Namun tepat di depan pintu, seseorang menunggunya-Lucius.

Lucius berdiri santai, bersandar di kusen pintu dengan senyum kecil penuh rasa ingin tahu. "Hei, di mana Ciel? Tunggu... apa itu tasnya?" tanyanya sambil melirik tas di tangan Theo.

Theo tidak menjawab. Ia terus berjalan tanpa peduli. Tapi Lucius tak menyerah.

"Hmm... Sial. Di mana mainan baruku?"

Langkah Theo berhenti. Tanpa peringatan, ia menarik kerah Lucius dengan kasar, mendekatkannya hingga wajah mereka hampir bersentuhan.

"Kau bilang apa, brengsek?"

Lucius tidak gentar. Matanya tenang, bahkan masih sempat tersenyum tipis. "Aku bilang, mainan baruku. Kenapa kau yang marah?"

Theo ingin menghantam wajah itu. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya.

Mungkin karena ia tahu, berdebat dengan Lucius seperti membentur tembok-tidak ada ujungnya. Dengan kesal, ia melepaskan kerah Lucius dan mendorongnya pelan, wajahnya masih penuh amarah.

"Bajingan. Jangan pernah dekat dengannya lagi."

Lucius menaikkan alis. "Kenapa aku harus? Siapa kau baginya?"

Pertanyaan itu menghantam Theo lebih keras dari yang ia duga. Ia terdiam.

Siapa aku baginya?

Kenapa aku selalu marah kalau ada yang mengejeknya? Kenapa aku tidak bisa duduk tenang kalau dia tidak ada?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut di pikirannya seperti kabut tebal. Tanpa menjawab, Theo berbalik, meninggalkan Lucius yang hanya menatap punggungnya dengan tatapan acuh.

"Sialan," gumam Lucius. Ia menyeringai dan berbalik pergi, tangannya dimasukkan ke saku. "Sudahlah. Hari ini aku akan bermain dengan mainanku yang lain."

The Assassin Turned As StudentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang