.
happy reading
.
.
."Halo~ ^^" sapa Ian riang saat panggilan tersambung. Sambil berbicara, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, seolah tengah mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian, ia mendongak ke lantai dua, matanya akhirnya menangkap sosok Ciel yang tengah berdiri di balik jendela.
Begitu melihatnya, Ian langsung melambaikan tangan tinggi-tinggi ke arah Ciel, tanpa sadar bahwa banyak mata tertuju padanya. Ia lupa dirinya sedang dikerumuni puluhan siswa dan beberapa guru.
Sementara itu, Ciel yang menyadari lambaian itu langsung terduduk untuk menghindari tatapan dari luar. Wajahnya masam.
"Hey, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ciel dengan nada kesal. Suaranya rendah, namun terdengar jelas di seberang telepon.
"Aku?" sahut Ian dengan nada tetap ceria.
"Menunggumu, tentu saja! Ayo turun. Aku sudah menyiapkan beberapa makanan di mobil."
Ciel menghela napas panjang, matanya tertutup lelah. "Tidak. Aku ada urusan. Kau pergilah duluan," tolaknya tegas. "Dan ... kembalilah. Keributan itu sangat menjengkelkan."
Ada jeda di seberang telepon. Ian tidak langsung menjawab. Ciel tidak bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini, tapi dari keheningan yang tercipta, ia bisa menebak suasana hati lawan bicaranya mulai berubah.
Di bawah, Ian menunduk sebentar, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil. Suara pintu tertutup dan deru mesin menyala terdengar jelas di telinga Ciel.
Beberapa detik kemudian, suara kendaraan melaju perlahan menjauh, dan kerumunan pun berangsur bubar, menyisakan keheningan. Yang tersisa hanyalah kekecewaan.
Saat Ciel hendak menutup telepon, suara Ian kembali terdengar, kali ini lebih datar.
"Sudah, kan? Tidak berisik lagi."
Nada cerianya menghilang. Yang tersisa hanya ketenangan dingin yang tak biasa. Ciel terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan yang disampaikan tanpa kata-kata. Lalu, suara rem mobil terdengar lagi. Ian berhenti.
"Kau belum pergi?" tanya Ciel dengan dahi berkerut. Ia tahu Ian memiliki jadwal padat, termasuk rapat penting sore ini. Apa yang ia lakukan masih berada di sekitar sekolah?
"Entahlah," jawab Ian pelan. "Karena seseorang menolak untuk kujemput... rasanya malas bahkan hanya untuk memegang kemudi. Padahal aku sudah menyiapkan banyak hal untukmu."
Ciel tidak berkata apa-apa untuk beberapa detik. Kemudian, ia menghela napas pelan, menyerah pada keadaan. Baiklah, ikuti saja apa yang bocah ini inginkan.
"Baiklah. Besok saja kau jemput aku." ujarnya pelan. Ciel tidak mau repot repot membujuk seorang bocah yang bahkan sangat kekanak-kanakan.
Seolah tersambar listrik, Ian langsung terdengar ceria kembali.
"Benarkah? aku akan menelponmuagi nanti!" ia berbicara dengan cepat, menumpahkan kegembiraannya seperti anak kecil. Tapi Ciel sudah cukup. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menutup telepon.
Ciel bersiap meninggalkan koridor ketika seseorang memanggilnya dari belakang.
"Umm..." suara itu terdengar ragu. "Ciel... jadi... itu... kau masih ingat janjimu?"
Ciel menoleh. Dante berdiri di sana, memainkan jarinya dengan gugup, pandangannya tak menentu. Tentu saja Ciel masih mengingat janji itu. Janji untuk menjadi model lukisan.
Ia memang berniat menjadwalkannya ulang menjadi minggu depan, tapi sejak awal mereka belum pernah bertukar kontak.
"Masih. Sabtu depan. Kita lakukan hari itu," jawab Ciel singkat.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Assassin Turned As Student
RandomBL AREA! (jangan salah lapak!) ciel (uke) Ciel Everhart, pemuda yang dicap bodoh oleh orang sekitarnya bahkan ia dibully oleh teman sekelasnya karena ia tak bisa berbicara dengan benar dan fisik yang terlihat payah. Namun berbeda dengan kenyataann...