Ciel tidak menjawab, hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya. Tidak ada yang perlu dijelaskan, tidak ada alasan untuk membela diri.
Sisa perjalanan itu dihabiskan dalam keheningan. Ciel menggigit rotinya perlahan, menikmati rasa tawar yang entah kenapa lebih enak dibandingkan suara orang-orang yang selalu mengganggu hidupnya.
Begitu sampai di depan gerbang sekolah, suasana yang tenang seketika pecah.
Sekelompok laki-laki berotot mendekat, mengepung Theo seperti segerombolan anjing yang menemukan tuannya setelah berhari-hari hilang. Dengan suara keras, mereka memanggilnya:
"Bos, kemarin kau pergi kemana? Para brandalan itu mulai mengganggu sekolah kita lagi!"
Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, seolah tak memberinya ruang bernapas. Ciel yang berdiri di samping Theo terdorong oleh kerumunan itu, tubuhnya hampir terhimpit.
Tapi tidak butuh waktu lama baginya untuk bergerak. Dalam hitungan detik, Ciel sudah menghilang dari pandangan, berjalan menjauh seperti bayangan yang tidak ingin diketahui keberadaannya.
Theo hanya bisa menatap kepergian Ciel dengan wajah kesal, matanya kemudian beralih ke anak-anak buahnya.
Suara mereka yang ribut, terasa lebih bising dari biasanya. Bawahannya yang tidak tahu apa-apa, tetap mengoceh soal perkelahian yang entah kenapa hari ini terasa lebih tidak penting bagi Theo.
Untuk pertama kalinya, Theo merasa... seseorang menghilang terlalu cepat dari pandangannya, dan itu sedikit mengusik.
✪✪✪✪
Di depan kelas, Ciel mendorong pintu geser perlahan dan melangkah masuk dengan tenang. Suasana kelas yang sebelumnya ramai, seketika berubah menjadi sunyi. Ciel tak perlu menebak alasannya, ia tahu betul kenapa semua orang mendadak diam.
Namun matanya langsung tertuju pada kursinya sendiri. Seorang lelaki berambut cokelat dengan semburat pirang duduk di sana, menata berbagai jenis makanan di atas meja seolah itu miliknya. Ciel mengernyit, lalu membuka suara dengan nada datar, "Apa-apaan ini?"
Lucius, yang duduk santai di kursinya, menatap Ciel dengan mata berbinar dan senyum lebar. "Oh, Ciel! Aku membawakan semua ini untukmu. Apa ada yang tidak kau suka dari makanannya?"
"Kenapa kau ada disini?" katanya dengan suara pelan namun cukup tegas.
"Kau membantu ku kemarin, jadi aku berpikir untuk membalas budi."
Suara Lucius terdengar pelan dan lembut, tidak keras, namun di tengah kelas yang sunyi, ucapannya terdengar jelas dan membuat semua kepala menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa.
"Apa? Membantu? Kenapa orang seperti dia membantu Lucius?"
Ciel menatap tajam ke arah mereka hingga suara bisik-bisik itu langsung terhenti. Ia lalu kembali menghadap Lucius dengan ekspresi datar. "Aku tidak ingat pernah membantu seseorang."
Lucius menundukkan kepala sebentar, lalu berbicara dengan suara lirih, "Bukankah di gang kemarin- Mmph!" Ucapnya terpotong oleh ciel yang menutupi mulutnya dengan telapak tangannya.
"Ucapkan satu kata lagi-" kata katanya terhenti ketika matanya mulai bergerak mengamati lucius sebelum melanjutkan, "Kau akan mati." Nadanya penuh kesuraman, menyuruh agar lucius tidak berkata apa apa.
Ciel menariknya keluar kelas sebelum orang lain mendengar lebih jauh. Setelah sampai di lorong, Ciel melepaskan tangannya.
"Puah!" Lucius sedikit terengah-engah seusai ciel melepaskan tangannya, "Wah ... aku tidak pernah menerima perlakuan seperti ini sebelumnya. Kasar sekali, ciel." katanya menggoda.
Ciel tidak menunjukkan reaksi apa apa, ia hanya mendengus sebentar lalu menunjukkan reaksi datar.
"Kemarin malam ... jangan bicarakan itu di sini. Lagipula, aku tidak tahu orang itu kau," ucap Ciel datar.
Lucius menatapnya sebentar, sedikit tidak percaya. "Benarkah? Lalu kenapa kau ada di sana?"
"Apa lagi? Aku lewat. Itu jalan pintas untuk pulang."
Lucius terdiam, terlihat enggan menerima jawaban itu, namun tak lama kemudian senyum kembali muncul di wajahnya. "Tapi aku tetap ingin membalas budi."
"Tidak usah. Pergi sana, bawa semua makananmu."
Lucius menggeleng keras. "Ambil saja, aku membelikannya untukmu."
Ciel baru hendak menolak lagi, tetapi Lucius sudah melangkah pergi dengan cepat sambil menoleh ke belakang, melambaikan tangan, "Nanti siang aku akan menemuimu lagi!"
Ciel hanya diam memandang punggung Lucius yang semakin menjauh, lalu menghela napas. Ia kembali ke kelas dan menyusun tumpukan makanan di atas mejanya. Tepat saat itu, pintu kelas kembali terbuka.
Seorang laki-laki tampan, namun berwajah seperti preman, masuk dengan langkah santai. Suasana kelas kembali tegang. Bisik-bisik bermunculan lagi.
"Apa? Kenapa dia masuk hari ini?"
"Benar, biasanya dia cuma lewat atau bolos."
"Kenapa akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di kelas kita?"
Ciel mendengar jelas semua bisikan itu, membuatnya penasaran. Ia menoleh, dan begitu mendongakkan kepala, ia sedikit terkejut. Sosok yang menjadi pusat perhatian itu ternyata Theodore.
"Kenapa kau..." gumam Ciel pelan.
Theodore berjalan santai menuju meja di belakang Ciel yang memang selalu kosong dan tanpa pemilik. Ia duduk, lalu melemparkan senyum tipis ke arah Ciel.
"Semoga kita bisa berteman baik, teman sekelas."
Didetik ini ciel mulai berpikir, hari harinya yang tenang akan segera hilang.
✮✮✮
astaga, sorry lama up, juga alurnya agak berantakan karena aku nulisnya buru buru, mungkin bakal aku revisi nanti kalo sempet, aku baru revisi chapter ini😪
kedepannya ga yakin up cepet atau engga, sibuk bgt akhir2 ini maaf ya soal update. chap depan triple up.makasih udah baca❤❤

KAMU SEDANG MEMBACA
The Assassin Turned As Student
RandomBL AREA! (jangan salah lapak!) ciel (uke) Ciel Everhart, pemuda yang dicap bodoh oleh orang sekitarnya bahkan ia dibully oleh teman sekelasnya karena ia tak bisa berbicara dengan benar dan fisik yang terlihat payah. Namun berbeda dengan kenyataann...
7 (revisi dikit)
Mulai dari awal