Barata mengucapkan terima kasih padaku setelah aku membantunya menjelaskan istilah-istilah IT kepada peserta kelas yang lain. Tampaknya Barata sudah terbiasa mengajar kelas IT for business, sehingga ia sedikit merasa kesulitan menemukan istilah-istilah awam untuk menjelaskannya kepada para peserta kelas IT for beginner. Malam ini suasana kelas terlihat lebih ramai dari biasanya. Sepertinya ada penambahan beberapa peserta baru. Barata terlihat semakin sibuk karena asistennya tidak hadir malam ini. Itulah sebabnya ia meminta bantuanku beberapa kali.
Aku tidak tahu bagaimana suasana di kelas IT for business, tapi di kelas yang kuikuti ini Barata kerap memperhatikan layar laptop peserta kelasnya satu per satu, apalagi dengan banyaknya pertanyaan dari para peserta. Beberapa peserta kelas yang merupakan ibu-ibu pegiat UMKM kadang menggodanya sehingga mengundang tawa peserta kelas yang lain. Barata hanya menanggapi gurauan mereka dengan senyuman atau tawa kecil. Namun Barata tetap bisa menjaga wibawanya dan mengajar dengan sangat baik.
Setelah kelas selesai, aku tak langsung pulang. Aku berniat ke tenda penjual nasi goreng di ujung jalan komplek perkantoran ini. Sudah lama aku ingin singgah ke sana karena tempat itu selalu terlihat ramai pengunjung, bahkan kadang pembelinya sampai mengantri panjang. Sungguh aku penasaran bagaimana rasa nasi goreng itu sampai orang-orang begitu menyukainya. Aku memutuskan untuk berjalan kaki saja karena jaraknya tidak terlalu jauh menurutku.
"Azalea."
Seseorang memanggilku ketika aku baru saja berjalan beberapa langkah keluar pelataran. Aku menoleh ke belakang. Barata tersenyum kemudian berjalan cepat ke arahku.
"Kamu mau ke mana? Kok jalan kaki?" tanya Barata setelah menjajari langkahku.
"Pengen makan nasi goreng yang di ujung jalan itu. Sepertinya enak, saya lihat selalu ramai," jawabku.
"Oh, nasi goreng yang di dekat taman itu," sahut Barata. "Memang enak nasi gorengnya. By the way, kamu sendirian saja ke sana?"
Aku mengangguk.
"Saya temani boleh?" Barata menatapku.
"Saya sudah lama enggak makan di sana. Kebetulan saya juga belum makan malam dari tadi," sambung Barata lagi ketika aku tak menjawab.
Aku ingin menolak namun merasa tak enak, akhirnya aku mengiyakan. Lalu kami menuju mobil Barata yang terparkir tak jauh dari pelataran. Sesampainya di tenda nasi goreng itu, pengunjung cukup ramai namun tidak ada antrian panjang seperti biasanya. Kursi-kursi plastik yang tersedia terlihat telah penuh diduduki. Sepasang muda-mudi yang baru selesai makan kemudian bangkit dan mempersilakan kami untuk duduk. Aku mengucapkan terima kasih lalu duduk di salah satu kursi, sedangkan Barata memesan nasi goreng.
"Terima kasih kamu tadi telah membantu saya mengajar, Azalea," kata Barata setelah ia duduk, membuka obrolan sambil menunggu pesanan kami.
Aku mengangguk tersenyum. "Sama-sama. Mas Barata tadi sudah beberapa kali mengucapkan terima kasih."
Barata tertawa. "Ya, saya benar-benar merasa terbantu. Jujur saja saya merasa kewalahan. Asisten saya tidak datang dan tadi ada peserta baru."
Barata membuka sebotol air mineral yang ada di meja, kemudian meneguknya. Ia lalu meletakkan sebotol air mineral yang lain ke depanku.
"Sebenarnya kuota kelas sudah cukup, saya tidak mau kelas terlalu penuh," lanjut Barata. "Tapi tiga orang peserta baru itu adalah keluarga kolega saya. Saya tidak enak menolaknya."
"Sepertinya kelas IT Mas Barata banyak peminatnya," komentarku.
Barata tertawa kecil. "Ada rencana menambah hari saat weekend. Tapi hari Sabtu sengaja saya buat untuk hari ganti kalau malam saya tidak bisa mengajar karena lembur di kantor. Sedangkan hari Minggu adalah waktu saya untuk beristirahat."
Obrolan kami terhenti ketika nasi goreng pesanan kami datang. Hening sesaat ketika aku dan Barata mulai menikmati makanan kami. Tidak salah tenda ini didatangi banyak pengunjung, rasa nasi gorengnya memang enak. Kaya rempah, sedikit mengingatkanku pada nasi goreng buatan ibu dulu. Aku menatap para pengunjung yang baru datang. Karena tak kebagian kursi, mereka memilih untuk duduk di atas rerumputan taman kecil tepat di samping tenda. Suara bising lalu lintas dari jalan raya yang berada di seberang taman terdengar.
"Azalea," panggil Barata membuatku menoleh padanya.
"Kamu mau jadi asisten saya mengajar?"
Pertanyaan Barata yang tiba-tiba itu membuatku tak langsung menjawab.
"Asisten saya hanya tinggal beberapa minggu lagi membantu saya karena dia akan menikah dan memutuskan untuk berhenti bekerja," jelas Barata.
"Tapi saya tidak merasa saya mampu, Mas," jawabku.
"Kamu mampu, Azalea." Barata menatapku. "Saya kan sering minta bantuan kamu kalau asisten saya tidak datang. To be honest, saya tidak mudah menemukan asisten yang cocok bekerja sama dengan saya. Dan saya rasa kamu orang yang tepat."
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab, "Saya pikir-pikir dulu, ya, Mas Barata."
Barata mengangguk. "Oh, ya, tentu saja. Silakan kamu pertimbangkan dulu. But one thing for sure, I really need your help, Azalea."
Aku memilih untuk tak menyahut, lalu menunduk menghindari tatapannya. Perlahan aku kembali mengunyah makananku. Tak pernah terpikir olehku untuk menjadi asisten Barata. Selain merasa tidak percaya diri untuk menjadi asisten pengajar, aku juga teringat akan Bu Rianti yang waktu itu memintaku untuk berhenti bekerja di Rianti Stationery saat aku akan menikah dengan Azkaa karena khawatir aku kelelahan. Tapi kelas IT Barata ini hanya dua kali seminggu dan lokasinya tak jauh dari apartemen. Apa mungkin Bu Rianti akan mengizinkan? Entahlah.
Melihat botol air mineral di depanku, aku merasa haus dan tersadar sejak tadi aku belum minum. Aku mencoba membuka tutup kemasan namun tak bisa. Kucoba lagi beberapa kali, tetap tak berhasil. Mengherankan, biasanya aku tak pernah kesulitan membuka tutup botol air mineral. Aku memperhatikan kemasan air mineral di tanganku dan membaca tulisan yang tertera di botol itu. Keningku berkerut. Merek apa ini? Aku belum pernah meminum air mineral dengan merek ini sebelumnya. Dan kenapa pula tutup botolnya begitu sulit dibuka?
"Boleh saya bantu buka?" Barata menatapku tersenyum menahan tawa. Sepertinya sejak tadi dia sudah memperhatikan perjuanganku membuka tutup botol.
Mau tidak mau aku mengangguk dan menyerahkan kemasan air mineral menyebalkan itu padanya.
"Susah dibuka tutup botolnya, ya. Seperti hati wanita," komentar Barata mengulum senyum sambil membuka tutup botol itu.
Aku mengernyitkan dahi mendengarnya. Barata menatapku sesaat kemudian tertawa cringe.
"Maaf, ya, Azalea. Candaan saya memang receh." Barata menyerahkan kembali kemasan air mineral itu padaku.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku meneguk air mineral itu.
"Azalea, saya tidak menyangka kamu sudah menikah. Sebelumnya saya kira kamu baru lulus SMA, ternyata kamu sudah 24 tahun." Barata membuka obrolan lagi ketika kami sudah selesai makan dan membayar pesanan kami.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Mas Barata, Mas tidak apa-apa makan di tenda kaki lima seperti ini?" tanyaku kemudian.
"Kenapa memangnya?" Barata menautkan alisnya lalu tersenyum. "Saya sering makan di tenda kaki lima, Azalea. Saya justru heran kamu yang orang berada tapi terlihat begitu sederhana."
Mungkin Barata berpikiran begitu karena melihat penampilan Azkaa dan mobilnya saat menjemputku waktu itu. Tentu yang dia maksud 'berada' itu adalah sejak aku menikah, karena sebelumnya ia tahu aku sempat menjadi kasir. Aku menatap kosong ke arah taman. Keluargaku dulu juga berkecukupan, walaupun tidak seberada keluarga Azkaa tentunya. Aku sudah terbiasa hidup sederhana, apalagi sejak merantau ke ibu kota.
Tapi kalau boleh jujur, aku juga melihat kesederhanaan di keluarga Mahawira. Menurutku kesederhanaan bukan tergantung dari berada atau tidaknya seseorang tapi karena sikap, walaupun sedikit atau banyak tentunya ada perbedaan gaya hidup antara kalangan menengah atas dan menengah bawah.
"Saya dulu berasal dari desa di Jawa Barat," ucap Barata setelah meneguk air mineralnya.
"Saat SMA saya sudah merantau ke kota Bandung sampai kuliah. Saya kuliah sambil kerja part time," kenang Barata dengan mata menerawang. "Setelah lulus kuliah dan mendapat panggilan kerja, baru saya pindah dan menetap di Jakarta hingga saat ini. Bertahun berkarir di sini, saya bisa menikmati hidup berkecukupan, berlebih malah untuk ukuran saya yang berasal dari keluarga biasa di desa."
Perkataan Barata tak kutanggapi apa-apa, padahal ia sudah menceritakan kisah hidupnya. Aku memang bukan teman mengobrol yang baik. Tapi dalam hati aku mengakui keuletannya. Barata juga seorang pekerja keras. Dia mempunyai posisi yang baik di kantornya, namun ia masih menyempatkan mengajar setelahnya.
"Kalau kamu asal mana, Azalea? Atau memang asli sini?" tanya Barata.
"Bandung." Aku menjawab singkat.
"Oh, kamu dari Bandung juga. Kamu dan keluarga kamu pindah ke ibu kota?"
Aku menggeleng. "Saya merantau ke sini setelah kedua orang tua saya meninggal."
"Maaf, Mas Barata, saya mau pulang sekarang," ucapku sambil melirik penunjuk jam di ponselku, membatalkan Barata yang baru saja membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu lagi.
Aku sengaja melakukannya karena tak ingin membuka obrolan lebih lanjut tentang masa laluku. Hanya pada Azkaa aku menceritakan kisah hidupku. Mungkin dia akan menjadi satu-satunya orang yang mengetahuinya, meski juga tak sepenuhnya ia tahu.
Barata mengatupkan mulutnya lagi kemudian mengangguk tersenyum. Ia menawarkan untuk mengantarku pulang, namun aku menolaknya. Aku kembali menatap ke arah orang-orang yang berada di taman, sambil menunggu taksi online yang kupesan datang. Mereka terlihat masih asyik bercengkerama sambil menikmati makanan mereka. Lalu pandanganku beralih ke jalan raya. Suara bising masih terdengar dari sana. Tak lama taksi online pesananku datang. Aku mengucapkan terima kasih ketika Barata membukakan pintu taksi untukku.
***