¶¶ÒõÉçÇø

AURA

By DioValen

8.3K 857 985

Kehidupan seorang gadis bernama Aurel berubah setelah dirinya kembali bersekolah di Jakarta. Sejak dia tingga... More

CAST AURA
Prolog
AURA ~ 1 || Alexithymia
AURA ~ 2 || Ganggu
AURA ~ 3 || Pesawat Kertas
AURA ~ 4 || Tersangka
AURA ~ 5 || Bebas
AURA ~ 6 || Kedekatan
AURA ~ 7 || Perhatian
AURA ~ 8 || CEO Muda
AURA ~ 9 || Ramalan
AURA ~ 10 || Perasaan Aneh
AURA ~ 11 || Senyuman Manis
AURA ~ 12 || Resmi Menjabat
AURA ~ 13 || Hari Pertama Bekerja
AURA ~ 14 || Renang
AURA ~ 15 || Rumah Sakit
AURA ~ 16 || Dia Tewas
AURA ~ 18 || Penyelidikan
AURA ~ 19 || Devan Berulah
AURA ~ 20 || Tubuhnya Hancur
AURA ~ 21 || Afasia
AURA ~ 22 || Jatuh
AURA ~ 23 || Tertangkap
AURA ~ 24 || Kantor Polisi
AURA ~ 25 || Mulai Berubah
AURA ~26 || Salah Sasaran
AURA ~ 27 || Awak Media
AURA ~ 28 || Lip Tint
AURA ~ 29 || Pertemuan di Kafe
AURA ~ 30 || Hotel
AURA ~ 31 || Khawatir
AURA ~ 32 || Kembali Bertemu
AURA ~ 33 || Wahana
AURA ~ 34 || Juara
AURA ~ 35 || Bangga
AURA ~ 36 || Barbeque
AURA ~ 37 || Sidang
AURA ~ 38 || Ancaman
AURA ~ 39 || Terungkap
AURA ~ 40 || Emosi
AURA ~ 41 || Sembuh
AURA ~ 42 || Sebuah Pilihan
AURA ~ 43 || Canggung
AURA ~ 44 || Ditinggal
AURA ~ 45 || Menangis
AURA ~ 46 || Ketegangan di Malam Hari
AURA ~ 47 || Dalam Pengejaran
AURA ~ 48 || Seorang Pembunuh
AURA ~ 49 || Korban Terakhir?
AURA ~ 50 || Berakhir (END)

AURA ~ 17 || Geger

144 14 19
By DioValen

Hai, jangan lupa vote & comment.😊

Jika ada penulisan kata yang salah mohon maaf. Jika ada yang membuat kalian bingung atau tak mengerti silahkan tanya di kolom komentar.

HAPPY READING!!!

▪︎▪︎▪︎

Para siswa saat ini beristirahat, sebelumnya semua siswa tak ada kegiatan belajar mengajar karena semua guru dan staf lainnya mengadakan rapat dadakan bersama beberapa detektif yang bertugas.

Seorang wanita paruh baya tampak kebingungan berada di lorong sekolah itu, dirinya sedang mencari-cari dimana ruang guru berada. Aurel yang baru saja keluar toilet langsung menghampiri wanita itu karena terlihat membutuhkan bantuan. "Permisi bu, ada yang bisa saya bantu?"

"Kalau boleh tau, letak ruang guru dimana ya?"

"Oh ibu mau ke ruang guru, saya bisa antarkan ibu ke ruang guru," ujar Aurel.

Wanita itu tampak senang ada yang mau membantu. "Boleh, terima kasih ya."

"Silahkan bu." Aurel menuntun sambil memberikan arahan pada wanita itu dengan ramah, senyuman manis terus tercetak di wajahnya.

"Kalau boleh tau, ibu ada perlu apa ya?" tanya Aurel.

Seketika raut wajah wanita menjadi masam dan tampak sedih. "Anak ibu dari semalam enggak pulang, sebelumnya ibu juga gak tau pasti dia kemarin pulang atau enggak, karena ibu dan ayahnya ada acara. Jadi, ibu kesini mau mastiin apa semalam ada acara yang melibatkan dia gak bisa pulang atau tidak. Ibu mau ngehubungi temannya, tetapi ibu gak punya nomor ponselnya."

"Setahu saya semalam enggak ada acara bu, ibu nanti bisa tanyakan saja pada wali kelas anak ibu dan temannya saja. Kalau boleh tau nama anak ibu siapa, ya?"

"Anak ibu namanya Jihan, dia cantik, putih, rambutnya panjang. Katanya sih di sekolah ini banyak yang suka sama dia," ujarnya membanggakan anaknya.

Aurel menghentikan langkahnya karena terkejut mendengar kata Jihan terucap pada bibir wanita itu. "Siapa bu? Jihan?" tanya Aurel memastikan.

"Iya, Jihan. Apa kamu kenal sama dia?"

Aurel bingung hendak menjelaskan seperti apa padanya. Raut wajahnya penuh tanda tanya. "Memangnya ibu belum dapat kabar dari siapapun tentang anak ibu?"

Wanita itu menggeleng. "Memangnya ada apa ya? Dia baik-baik aja, 'kan? Gak ada sesuatu buruk terjadi pada dia, 'kan?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Gadis itu semakin terdiam, dia merasa tak enak jika bilang bahwa Jihan sudah tiada karena gadis itu juga belum tau pasti siapa mayat yang ditemukan tadi pagi.

Drttt

Drttt

Ponsel wanita itu berdering, setelah dilihat nomor penelponnya ternyata itu nomor tak dikenali. "Sebentar ya, ibu angkat telepon dulu takutnya penting."

"Halo?"

"..."

"Iya, dengan saya sendiri."

"..."

"Gak mungkin kan? Pasti salah sambung, gak mungkin kalau Jihan," ujarnya tak percaya dengan apa yang dikatakan sang penelpon. Tubuhnya merosot hingga terduduk dilantai dengan derai air mata yang mengalir deras membuat siswa yang melewat terheran dan lama-lama mereka berkerumun karena penasaran.

"Jihan..." lirihnya.

Maya yang merasa tak asing dengan suara itu langsung mendekati asal suara. Gadis itu melihat orang tua temannya yang sedang menangis disana langsung menghampiri lalu memeluknya erat, dirinya pun kembali menangis.

"Jihan hiks, gak mungkin dia ninggalin tante 'kan Maya?" tanyanya masih tak percaya.

"Tante yang sabar ya hiks, aku juga waktu tadi pagi kaget banget dan gak percaya hiks. Tapi itu memang benar Jihan." Mereka kembali menangis dengan kencang.

Tak lama ada salah satu guru yang mendatangi kerumunan itu. "Ada apa ini ramai-ramai?" tanyanya.

"Dia orang tua Jihan pak," jawab Aurel.

"Ya sudah, biar dia kita yang menjelaskan. Kalian semua kembali pada urusan masing-masing sekarang!" Semua siswa dibubarkan oleh guru itu, termasuk Aurel yang langsung pergi menuju kantin karena Nindi sudah menunggunya disana.

Suasana kantin pun ramai seperti biasanya, mata gadis itu mencari-cari keberadaan temannya diantara banyaknya siswa. Hingga seorang lelaki memanggilnya membuatnya tau keberadaan Nindi. Lelaki itu Arnold, tubuhnya yang tinggi menutupi keberadaan Nindi, pantas saja tak terlihat. Aurel pun menghampiri temannya. Gadis itu langsung duduk disebelah Nindi dan juga dihadapan Rafael.

Aurel melihat mejanya masih kosong, belum ada makanan atau minuman satupun. "Kalian belum mesan apapun?" tanya Aurel.

"Iya, kita daritadi nungguin lo," jawab Arnold.

"Oh yaudah pesan sekarang aja, kalian mau makan apa?"

"Gua pengen bakso," ujar Nindi.

"Gua mie ayam aja, lo mau apa, El?"

"Samain," jawabnya.

"Kalau minumannya kalian pengen apa?"

"Es teh manis, semua samain aja biar gak ribet," usul Arnold.

"Oke kalau begitu gua pesenin dulu ya." Gadis itu hendak beranjak namun ditahan oleh Arnold.

"Eh jangan kamu. Biar si Nindi aja, sana gih," ujar Arnold.

Nindi menatap tajam Arnold, raut wajahnya seolah-olah ingin memulai keributan. "Lah kok gua? Lo aja kali, ngapain nyuruh-nyuruh gua, emang gua babu lo?"

"Emang lo babu."

"Sialan," umpatnya.

"Bisa gak kalian gak ribut, gak berisik, gak ganggu orang lain?" Rafael angkat bicara dengan tegas membuat Arnold dan Nindi terdiam. "Aurel biar gua aja yang bantu, kalian cukup diem disini gak usah ribut," katanya lalu beranjak pergi bersama Aurel.

Setelah kepergian Aurel dan Rafael terjadi keheningan diantara mereka berdua, tak ada yang memulai percakapan, yang ada hanyalah saling lirik dengan tajam.

"Apa lo liat-liat?!"

"Lah siapa juga yang liatin lo! Lo kali yang liatin gua," elak Arnold. "Jangan suka liatin gua diem-diem nanti kalau suka gua yang repot."

"Dih siapa juga yang suka sama lo?! Jangan suka kepedean jadi cowok."

"Lah bukan masalah pede, tapi faktanya cewek yang lirik-lirik ke gua biasanya langsung naksir," ujar Arnold percaya diri.

"Huek huek." Nindi berpura-pura ingin muntah mendengar perkataan Arnold.

Tak lama kemudian datang Aurel dan Rafael yang masing-masing membawa dua nampan yang diatasnya ada 2 mangkok dan juga 2 gelas. Setelah itu mereka membagikan sesuai dengan pesanannya masing-masing.

Aurel menatap curiga temannya itu, sedangkan Rafael cuek-cuek saja. "Kalian berdua gak ribut, 'kan?"

Arnold tersenyum lebar lalu tangannya menepuk bahu Nindi sedikit keras dan berkata, "kita gak ribut kok, iya 'kan?"

Nindi tersenyum juga, bukannya tampak manis, melainkan seram. "Hehe iya kok, kita gak ribut. Tapi gak pegang-pegang kayak begini juga kali." Gadis itu mencubit lengan arnold dengan keras hingga membuat lelaki itu berusaha menutupi kesakitan yang ia rasakan.

"Eh kalian masih penasaran sama kejadian tadi pagi gak? Soalnya daritadi gua ngedenger terus orang-orang ngomongin hal itu. Oh ya, tadi juga sebelum gua kesini 'kan sempat ketemu orang tuanya tuh, kasihan banget gua lihatnya, sampai nangis kejer gitu, gak tega lihatnya."

"Emm, Aurel lebih baik kita makan aja ya. Lagi pula itu bukan urusan kita, kita sama sekali gak terlibat. Kematian dia mungkin sudah takdirnya," ujar Arnold.

"Yaudah deh kalau begitu, selamat makan!"

Duduk dibawah rindangnya pohon memang sudah kebiasaan Rian, dirinya sangat merasa nyaman karena disana angin cukup kencang, udara yang bersih, dan yang pasti lebih sepi daripada perpustakaan ataupun kantin.

Dirinya hanya duduk sendiri dan ditemani oleh laptopnya untuk mengerjakan tugas kuliah. Bukannya ia tak memiliki satu pun teman, tetapi ia memang hanya dan sering sendiri.

Ting!

Rian kamu dimana? Sendirian aja?

Pesan masuk itu dikirim dari nomor kekasihnya, ia tersenyum lalu mengambil ponselnya dan mulai mengetikkan sebuah balasan.

Di tempat seperti biasa. Iya sendirian.

Udah makan belum?

Belum.

Aku kesana boleh?

Iya boleh, lagi pula gak ada yang ngelarang.

Coba deh liat kedepan.

Rian mengalihkan perhatiannya, lelaki itu menatap kedepan, dari jauh terlihat seorang gadis cantik yang menenteng sebuah plastik hitam ditangan kirinya dan sebuah ponsel ditangan kanan, raut wajahnya begitu ceria, senyum manis terus ia pancarkan, kemudian gadis itu berlari-lari kecil layaknya anak kecil menghampiri Rian.

Lelaki itu terkekeh melihat sifat Laura yang tak berubah menjadi dewasa padahal umurnya sudah berumur 20 tahun, itulah daya tarik gadis itu yang membuat Rian semakin sayang padanya.

Laura menaruh plastik hitam itu diatas meja lalu duduk disamping Rian. Lelaki itu terkekeh sambil mengacak-acakan rambut kekasihnya gemas.

"Kamu dari tadi disana ngapain sih? 'Kan bisa langsung kesini, pasti kepanasan ya? Nanti makin item lho. Kamu ada-ada aja lagian, udah deket gitu kenapa gak langsung nyamperin kesini aja?"

Laura menunduk. "Soalnya dari tadi aku lihatin kamu kayak yang lagi sibuk banget, aku cuman takut kalau kedatanganku malah cuman gangguin dan repotin kamu, makanya aku tanya dulu."

"Nanti, dilain waktu kamu langsung aja nyamperin, sesibuk-sibuknya aku juga bakal perhatiin kamu. Paham?"

"Iya paham," jawabnya.

Rian kembali terkekeh lalu mencium kening gadis itu tiba-tiba membuatnya terkejut sekaligus malu. "Anak pintar."

"Ih apaan sih main cium seenaknya aja gak liat sekitaran," ujarnya.

"Gak apa-apa lagi sepi ini."

"Aku bawa makanan tuh, kamu harus makan sekarang, kerjain tugasnya nanti aja, ya?"

"Iya sayang." Setelah berkata seperti itu Rian hanya diam seperti menunggu sesuatu, bukannya mengerti, Laura justru kebingungan.

"Kenapa gak dimakan?" tanyanya.

"Pengen disuapin," ujarnya dengan wajah di imut-imutkan, pipinya dikembungkan, serta tatapan memohon.

"Dasar bayi gede," cibirnya.

"Hehe."

Laura pun menuruti permintaan Rian dengan senang hati. Lama kelamaan mereka berdua saling menyuapi satu sama lain. Keduanya tak memperdulikan mahasiswa lain yang lewat dan menatap keduanya dengan iri.

Tak terasa, makanan yang Laura bawa tentunya akan habis. Kini tinggal sisa suapan terakhir, baru saja Rian membuka mulutnya dengan lebar ada hal yang membuat mereka menghentikan sejenak kegiatannya.

"Selamat siang bos," sapa Azka.

Laura menatap bingung lelaki yang baru saja datang dan berkata "bos" pada kekasihnya.

"Siang. Kalau diluar jam kerja atau kantor jangan panggil gua bos, gak enak didengernya," kata Rian.

"Maaf," ucapnya merasa bersalah.

Rian melahap sesendok sodoran dari Laura hingga ia telan lalu berkata, "dia sekretaris aku."

Laura ber'oh'ria saja menanggapinya. "Kamu udah makan belum?" tanya Laura pada Azka.

"Belum," jawabnya.

"Kalau begitu, ambil aja tuh didalam plastik. Buat kamu makan, pasti lapar 'kan? Aku emang sengaja bawa lebih kok," ujarnya.

Rian menatap Laura kecewa. "Bukannya emang kita selalu makan bareng dua porsi? Kenapa kamu kasih dia?"

"Kasihan dia belum makan, lagian kamu 'kan tadi udah, kalau masih lapar tinggal beli aja."

"Makasih banyak," ujar Azka sumringah. Lelaki itu langsung mengambil makanan yang berada didalam plastik itu dan langsung memakannya dengan lahap. Sedangkan Rian menatapnya kesal, itu miliknya dan direbut oleh orang lain.

"Enak banget lo," ujarnya.

"Oh iya dong, pacar lo mah baik banget, gak kayak lo."

Rian berdecak sebal, lelaki itu menatap kembali kekasihnya. "Jangan keseringan baikin dia, aku gak suka."

"Iya. Yaudah aku pulang duluan ya, udah dijemput soalnya. Kamu habis ini langsung ke kantor 'kan? Semangat kerjanya!"

"Pasti, makasih makanannya, enak banget."

"Sama-sama, yaudah aku pergi." Baru saja Laura hendak pergi tetapi lengannya dicekal oleh Rian. "Kenapa?"

"Belum dicium," ujar Rian.

"Uhuk uhuk." Azka tersedak mendengar perkataan Rian. "Mana air?" Lelaki itu mencari-cari botol air minuman, setelah menemukannya ia langsung meminumnya hingga tersisa setengah.

"Minuman punya gua woy! Yaelah tinggal sisa setengah."

"Cuman minuman doang, pelit amat lo. Jual perusahaan beli air minuman yang banyak sana."

"Berani lo sama gua? Mau gua pecat hah?!" Rian mengancam Azka, berani-beraninya dia berkata seperti itu padanya. Jika dilihat-lihat sifatnya sedikit mirip dengan Arnold. Mereka berdua sama-sama menyebalkan, merepotkan, dan banyak hal lain.

"Maaf pak, saya tidak bermaksud begitu." Azka berkata dengan formal, tentu saja ia tak ingin dipecat, baru saja dirinya 2 hari bekerja.

"Udah jangan berantem," lerai Laura. Gadis itu kemudian mengecup dahi Rian sekilas lalu beranjak pergi.

"Cepetan selesai makannya, langsung ke kantor sekarang," ucap Rian tegas.

Rian dan Azka sudah berganti pakaian, tentu saat ini keduanya sudah berada didalam kantor. Kedua lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ruang kerja Azka tidak jauh dengan ruang kerja Rian, lebih tepatnya berada didepan ruangannya. Jadi jika hendak masuk kedalam ruangan Rian mesti melewati dulu ruangan Azka.

Aditya saat ini sedang berada di kantor, meskipun sekarang pekerjaannya hanya memantau, mengkoordinir, menerima atau menolak pengajuan Rian dan bawahannya. Pria itu ingin mengunjungi keponakannya, semoga saja kedatangannya tak menggangu.

Azka yang tengah fokus memindah dan merapikan data-data melihat kedatangan Aditya pun langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya. "Selamat sore pak Aditya," sapanya.

"Sore," balas Aditya. Lelaki itu mencuri-curi pandang kearah kaca bening yang dapat melihat keberadaan Rian didalam sana. "Lagi sibuk ya?"

"Iya pak, untuk saat ini banyak berkas yang mesti ditandatangani, lalu mengecek data-data penting, dan banyak lagi. Terutama saat ini ada projek baru, jadi sedang sibuk-sibuknya."

"Ah begitu ya," kata Aditya. Ia merasa bangga pada keponakannya yang satu ini, sebenarnya ia juga tidak ingin membebani pikiran Rian, tapi mau bagaimana lagi, saat ini Rian lah yang paling dewasa diantara Rafael maupun Arnold.

"Bapak jika ingin masuk, silahkan saja. Masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum rapat dimulai."

Aditya menggeleng, ia tak mau menggangu Rian saat sedang fokus bekerja. "Tidak usah, biar nanti saja jika dia punya waktu luang. Kalau begitu saya permisi, tolong bantu dia."

"Baik pak."

Aditya melenggang pergi, kehadirannya pun tak diketahui oleh Rian disana, lelaki itu sedang fokus menatap komputer dihadapannya lalu berganti pada berkas yang ada diatas meja.

▪︎▪︎▪︎

▪︎TBC▪︎

Gimana part ke-17nya??

Buat kalian yang masih belum paham silahkan bertanya disini, insyaallah dibalas😊👉

Kalau punya saran juga boleh👉

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA. TUNGGU UPDATE-AN SELANJUTNYA MINGGU DEPAN.

Continue Reading

You'll Also Like

30K 2.6K 15
Kristal hanya ingin hidup seperti remaja lainnya-bebas, tertawa, dan mencintai. Tapi alergi dingin dan bayang-bayang masa lalu menjebaknya dalam duni...
123K 13.2K 73
[SPIN OFF "Flight With You"] Remaja berparas anggun, lemah lembut, dan berhati baik itu tumbuh berkembang di bawah lingkungan yang siapa saja ingin m...
RAYYAN By ekaaaptw

Short Story

33 0 8
Alisha Almahyra seorang remaja yang ingin menikmati masa SMA nya dengan tenang. Namun hal itu berubah semenjak ia bertemu dengan seorang cowok bernam...
87.5K 6.3K 40
Menceritakan tentang seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun bernama RAKHA yang menjadi idola hampir semua perempuan disekolahnya karena parasnya...