"Putusin Gibran!" putusku. Aku tau ini adalah hal yang benar-benar jahat, but no one cares.
Zevora melotot. "Hah?"
Aku dan yang lainnya tersenyum licik, kecuali Zevora pastinya, dan Daphne.
"Girls, no!"
"Sis, lo nggak tau seberapa kejam kita."
"Tapi gue bisa, 'kan ngajak Gibran balikan, dan jelasin kalo ini cuma game?" tanya Zevora yang terdengar sangat putus asa.
Aku menatap Dinda yang sedang berpura-pura berpikir dengan menaikkan alisnya. "Deal," jawab Dinda.
"Alhamdulillah," ucap Zevor--- hah?
"Lo mualaf?" tanya Hillary dan dibalas gelengan oleh Zevora.
"Nggak lah, yakali. Gue, 'kan sering denger kalian bilang gitu, jadi gue ikut-ikutan lah," jelasnya.
"Stress."
Aku melihat Zevora yang mengambil ponselnya dan menelpon pacarnya, nggak lama panggilan tersebut langsung diangkat, dan nggak lupa Zevora mengaktifkan Loudspeaker.
"Hai Bi, ada apa?" Aku sebenarnya nggak tega, tapi setidaknya mereka bisa balikan, 'kan?
"Gib, we have to break up," ucap Zevora, aku tau dia sedang menahan untuk tidak menangis, menyedihkan.
"Hah, kenapa? Kamu bosen sama aku, kamu ... ada masalah apa, Vor?"
"Nggak, aku cuma pengen putus, nggak ada alasan."
"Nggak, kita omongin dulu. Kamu kenapa Voraa? Bilang sama aku, atau kamu lagi bercanda? Aku nggak suka bercanda yang kek gini, Bi. Please."
"Bye," Zevora mengakhiri telepon lalu terisak. "Ahh, kenapa juga sih gue punya ide segila ini?"
Kami tertawa.
"Bisa nggak sih gue kembali ke masa lalu?"
That is exactly what I said.
Lalu setelah beberapa menit yang kami habiskan untuk menenangkan Zevora, akhirnya botol itu berputar tepat di hadapan Dinda. "Mati gue," ucapnya dengan wajah pias.
Kami semua tersenyum.
"Slap your fucking ex," ucap Daphne.
"Oke, gampang itu mah.."
Aku tau Dinda nggak benar-benar ingin berkata seperti itu, aku tau dia deg-degan.
"Tomorrow, and record it," lanjut Daphne yang semakin membuat Dinda ketar-ketir. "Record it? Are you joking?"
"Yoi," aku juga tau itu mutlak.
Dan selanjutnya adalah, aku?
Kurang ajar.
"Ini nggak susah sih," ucap Hilla.
"Apaan?"
"Telepon Nevan dan bilang kalo lo besok minta dijemput."
"NGGAK!"
"Dih kenapa sih, lagian kita ngebantu lo. Lo, 'kan suka sama dia. Mutualisme nggak sih?"
"Nggak Hillary Deslavina, nggak bisa," ucapku menolak keras.
"Cepetan atau gue yang nelpon," kata Daphne yang sudah mengambil ancang-ancang untuk merebut ponselku. "Oke," putusku sambil tersenyum. Aku menghubungi Nevan dan dia langsung mengakatnya. Apa dia memang se-fast respon ini?
"Hai, Nev," sapaku.
"Kenapa?"
Aku deg-degan.
Mereka menatapku dan mengangguk. "Bilang aja," ucap Hilla yang tentunya tanpa suara.
"Lo ... bisa nggak jemput gue besok?" tanyaku.
Kurasa Nevan sedang berpikir, karena dia hanya diam beberapa detik, dan akhirnya menyetujui permintaanku. Anehnya, dia belum mengakhiri teleponnya.
"Oke, selamat malam. Makasih," ucapku kemudian mematikan panggilan telepon.
Mereka terbahak. "Gokil," ucap Zevora bersamaan dengan Daphne.
Lalu kami melanjutkan permainan, dan botol berhenti di Daphne, lalu mereka yang nenyuruh Daphne untuk mencium cowok random di jalanan, dan jelas Daphne menolak keras tantangan itu. Kemudian kami mengakhiri permainannya.
"Kalian mau nginep nggak?" tanya Daphne kepada teman-temanku. Zevora langsung mengangguk, sedangkan Hilla dan Dinda masih berpikir yang akhirnya dijawab dengan anggukan. Hingga mereka menutuskan untuk kembali kerumah masing-masing terlebih dahulu, untuk meminta izin kepada orang tua. Dan juga mengambil seragam mereka untuk besok.
Kami akhirnya memutuskan untuk tidur di kamar Daphne yang cukup--bukan, sangat luas. Teman-temanku memang sangat sering menginap disini, tapi karena kali ini ada Daphne, jadi kami semua tidur di kamar kakak-ku yang super luas.
Di pagi hari, mereka semua berangkat ke sekolah dan meninggalkanku sendirian untuk menunggu Nevan. Mama dan Papa pergi untuk menyeselesaikan urusan--yang aku nggak tau urusan apa yang mereka maksud. Sedangkan, Daphne menyusul pacar luar negeri-nya di Bandara.
Jadi tidak ada siapapun dirumah.
Aku hanya sendirian menunggu Nevan yang menyusulku.
Beberapa menit, Nevan masih belum datang, aku melihat jam tangan. "I think I'm gonna late."
Bagaimana nggak, jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit, dan Nevan masih belum datang juga. Dan, nggak ada motor di rumah, hanya ada mobil.
Aku bisa sih menyetir mobil, hanya saja kami dilarang membawa mobil ke sekolah. Tapi nggak ada cara lain kan?
....
"Ini jam berapa, Darla Turner?"
Aku benar-benar telat.
"Jam seteng--" ucapanku terpotong, gimana sih, 'kan tadi nanya?
"Shh, dan apakah kamu lupa peraturan disini?"
Dan melanggar peraturan untuk nggak membawa mobil ke sekolah.
"Jadi alasan apa yang bisa menjelaskan telat-mu ini, dan juga pelanggaran yang kamu buat?"
"Saya bangun kesiangan, dan orang tua saya lagi gak di rumah, Pak."
Yeah, basic.
"How about the car?" Ini aku harus jawab apa? Mati aja aku, tapi aku masih pengen hidup kok.
Aku nggak bisa menjawab sama sekali.
Akhirnya aku dihukum untuk memutari lapangan sepuluh kali---yang seluas hutan amazon--nggak kok. Cuma hiperbolis
Ini semua gara-gara Nevan, kenapa coba dia bilang iya kalo akhirnya aku benar-benar nggak dijemput? Sebenarnya aku ingin membencinya setengah mati, tapi nggak bisa. Karena aku sudah terlanjur suka sama dia.
Aku masuk kelas tepat pukul 8.40, yang pastinya membuat semua anak kelas menatapku aneh, dan tiga temanku menatapku dengan tatapan penasaran. Aku tau mereka penasaran kenapa anak rajin sepertiku bisa terlambat.
Benar-benar sial.
Aku dihukum lagi.
Berdiri di depan kelas sampai jam istirahat tiba.
Nevan, lihat aja nanti!
.....
"Kenapa lo bisa sampe telat?" tanya Zevora kepadaku. Aku menusuk-nusuk makananku dengan perasaan dendam.
"Nevan tuh PHP!" jawabku.
"Gimana?"
"Dia nggak beneran jemput gue tau, kurang ajar tuh anak. Mana dirumah nggak ada siapa-siapa, motor juga nggak ada," jelasku.
"Emang Pak Imam kemana?" kali ini yang bertanya adalah Hillary.
"Pak Imam sama Bu Tutik pulang kampung katanya, soalnya kan Mama pulang."
"Terus-terus gimana?"
"Gimana apanya? Ya udah gitu doang," ujarku malas.
"Lo dihukum apa emang sama tuh BK?"
"Lari di hutan amazon 10 kali." Sebebarnya aku dan teman-temanku menyebut lapangan sekolahan kami sebagai hutan amazon, nggak seluas itu sih. Hanya saja, kami nggak pernah berolahraga, pernah pun hanya sebulan sekali.
"Eh eh, tuh ada Nevan," ucap Hilla sambil menatap kearah Nevan yang sedang menuju kemari, kali ini dia sendirian tanpa teman-temannya.
Ketika sudah sampai Nevan langsung berdiri tepat di sebelahku, lalu berkata bahwa dia ingin berbicara empat mata denganku.
"Lo kalo mau minta maaf, mending nggak usah," ucapku tak acuh.
"Gue--" ucapannya kupotong. "Nggak usah, udah kejadian juga."
"Lo kenapa kesini? Gue tau sih kita jadian tapi lo juga nggak perlu kok deket-deket banget sama gue," ucapku final yang akhirnya membuat Nevan pergi dari kantin tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
"Gila lo keren banget!" ucap mereka bersamaan sembari mengacungkan dua jempol. Keren? Aku marah itu keren?
31, Juli 2021
Lamongan