抖阴社区

AURA

By DioValen

8.3K 857 985

Kehidupan seorang gadis bernama Aurel berubah setelah dirinya kembali bersekolah di Jakarta. Sejak dia tingga... More

CAST AURA
Prolog
AURA ~ 1 || Alexithymia
AURA ~ 2 || Ganggu
AURA ~ 3 || Pesawat Kertas
AURA ~ 4 || Tersangka
AURA ~ 5 || Bebas
AURA ~ 6 || Kedekatan
AURA ~ 7 || Perhatian
AURA ~ 8 || CEO Muda
AURA ~ 9 || Ramalan
AURA ~ 10 || Perasaan Aneh
AURA ~ 11 || Senyuman Manis
AURA ~ 12 || Resmi Menjabat
AURA ~ 13 || Hari Pertama Bekerja
AURA ~ 14 || Renang
AURA ~ 15 || Rumah Sakit
AURA ~ 16 || Dia Tewas
AURA ~ 17 || Geger
AURA ~ 18 || Penyelidikan
AURA ~ 19 || Devan Berulah
AURA ~ 20 || Tubuhnya Hancur
AURA ~ 21 || Afasia
AURA ~ 22 || Jatuh
AURA ~ 23 || Tertangkap
AURA ~ 24 || Kantor Polisi
AURA ~ 25 || Mulai Berubah
AURA ~26 || Salah Sasaran
AURA ~ 27 || Awak Media
AURA ~ 28 || Lip Tint
AURA ~ 29 || Pertemuan di Kafe
AURA ~ 30 || Hotel
AURA ~ 31 || Khawatir
AURA ~ 32 || Kembali Bertemu
AURA ~ 33 || Wahana
AURA ~ 34 || Juara
AURA ~ 35 || Bangga
AURA ~ 36 || Barbeque
AURA ~ 37 || Sidang
AURA ~ 38 || Ancaman
AURA ~ 39 || Terungkap
AURA ~ 40 || Emosi
AURA ~ 42 || Sebuah Pilihan
AURA ~ 43 || Canggung
AURA ~ 44 || Ditinggal
AURA ~ 45 || Menangis
AURA ~ 46 || Ketegangan di Malam Hari
AURA ~ 47 || Dalam Pengejaran
AURA ~ 48 || Seorang Pembunuh
AURA ~ 49 || Korban Terakhir?
AURA ~ 50 || Berakhir (END)

AURA ~ 41 || Sembuh

90 10 0
By DioValen

Draf masih belum direvisi karena kesibukan kuliah penulis, mohon dimaklumi 😊

Selamat membaca!

▪︎▪︎▪︎

"Pak cepetan!" pinta Aurel pada sang supir taksi, karena jarak sekolah dengan perusahaan Papanya yang jauh membuat mereka lama untuk sampai, belum lagi ramainya kota Jakarta membuat gadis itu mendengus kesal.

Jangan tanya keadaannya, tentu saja sudah kacau. Matanya memerah karena menangis, wajahnya basah karena air mata serta keringat. Seragam sekolahnya sudah lusuh dan sedikit basah.

Matanya melihat sebuah layar billboard yang sedang menayangkan sebuah berita tentang kematian Papanya. Ia teringat Mamanya, ia segera menelpon nomor tersebut, sayangnya tak kunjung diangkat.

Jenazah Gibran sudah dibungkus dalam kantong mayat. Baru saja hendak dibawa oleh mobil jenazah, seorang gadis yang masih lengkap memakai seragam sekolah sambil menggendong tasnya baru keluar dari taksi berteriak membuat mereka mengurungkan niatnya.

"Jangan dibawa dulu!" Dengan derai air mata, Aurel berlari sekencang mungkin menghampiri jenazah Papanya, tetapi seorang petugas menahannya. "Lepasin! Saya pengen ketemu Papa!"

Dengan iba, petugas itu memberikan izinnya. Aurel berjalan pelan menghampiri tubuh Papanya yang sudah membiru, kaku, dan sudah tak bernyawa. Ia kembali menangis, tak percaya bahwa kini orang yang ia sayangi sudah pergi, bahkan namanya pun sudah buruk di mata orang lain.

Aurel sangat ingin menyentuh dan memeluk tubuh Gibran, sayangnya petugas itu melarangnya, dia berkata, "maaf, untuk saat ini keluarga korban atau siapa pun selain petugas yang menyelidiki kasus ini dilarang menyentuh korban."

Resleting kantong mayat ditutup, jenazah Gibran dimasukkan ke dalam mobil dan segera dibawa pergi untuk diperiksa lebih lanjut. Sedangkan Aurel terduduk lemas di sana sambil menangis, beruntung saja para reporter yang meliput berita sudah pergi.

Orang-orang yang melintas hanya melintas saja, tak mempedulikan dia. Ada juga yang sekedar melihatnya heran tapi tak ada niat untuk mendekatinya.

Gibran ditemukan dalam keadaan gantung diri di ruangannya. Dia ditemukan oleh seorang petugas kebersihan yang hendak membersihkan ruangannya. Saat kepolisian sudah datang, ruangan itu sangat berantakan, berkas-berkas berserakan di lantai, beberapa barang hancur, ada kepingan pecahan kaca juga.

Barang bukti yang ditemukan hanya sedikit tapi berharga. Sebuah berkas yang sama persis dengan apa yang tersebar tadi malam, secarik kertas bertuliskan tangan, dan tali tambang. Tak ada hal lain, bahkan saat Clara periksa, tak ditemukan tanda-tanda perlawanan di tubuh Gibran. Pada ponselnya pun sama sekali tak ada sesuatu yang harus dicurigakan.

Jika ia tak mendapat bukti lain lagi, kasus ini akan ditutup dengan hasil bahwa korban bunuh diri.

Seseorang menghampiri Clara dan Ferdi yang sedang berdiri di depan pintu. "Selamat siang bu Clara dan pak Ferdi. Saya sudah mengecek CCTV yang tersebar di gedung perusahaan ini, menurut keterangan petugas keamanan, di lantai ini sepenuhnya dipakai oleh korban dan tak ada satu pun CCTV yang terpasang."

"Baiklah. Terima kasih."

Clara memegang secarik kertas berisi surat yang diduga ditujukan untuk keluarganya. "Kertas ini harus segera kita berikan ke pihak keluarga. Hingga sekarang apa belum ada satu pun kerabat yang datang?" tanyanya pada Ferdi.

Rekan kerjanya itu menangguk. "Istrinya sedang berusaha dihubungi oleh Geraldi, tetapi sama sekali tak ada jawaban."

"Bagaimana dengan anaknya?"

"Tadi sudah dihubungi, katanya sudah berada dalam perjalanan. Tetapi hingga kini dia belum sampai juga." Setelah menjawab pertanyaan Clara, ponsel Ferdi berdering.

"Gimana? Udah ketemu sama istrinya?" tanya Ferdi langsung pada Geraldi.

"Sudah, tapi keadaan istrinya bisa dibilang buruk. Seluruh tubuhnya panas, berkeringat, tampak mengigil, bahkan pingsan saat kita temui. Sekarang kita sudah ada di rumah sakit, setelah ditangani, menurut dokter istrinya hanya mengalami demam tinggi akibat syok."

"Oke makasih. Kita berdua akan ke sana sekarang," ujar Ferdi kemudian memutuskan sambungannya.

Mereka berdua, Clara dan Ferdi segera bergegas menuju rumah sakit karena urusannya di kantor Gibran sudah selesai.

Saat mereka sudah di lantai paling bawah, ada seorang gadis SMA menangis di depan pintu utama gedung membuat mereka tertarik untuk mendekati. Clara memegang bahunya. "Dek, kenapa nangis?" tanyanya.

Aurel perlahan mendongak, matanya sedikit memburam, wajah kedua orang di hadapannya baru terlihat jelas setelah beberapa saat. "Papa..." lirihnya.

"Kamu anaknya pak Gibran?" tanya Clara. Aurel mengangguk lemah. Clara memeluknya, tak lupa memberi elusan lembut pada punggung gadis itu. "Yang tegar, ya."

Mereka berdua saling melepaskan pelukan saat Aurel sudah cukup tenang. "Kami dari kepolisian yang menangani kasus kematian Papa kamu dan kami juga punya sesuatu untuk kamu." Clara memberikan kertas yang ditemukan tadi pada Aurel.

"Silahkan kamu baca, tak perlu sekarang juga tak apa, saya sarankan kamu membacanya saat hati kamu sudah tenang dan tak emosional." Aurel mengangguk, memengang kertas tersebut erat. "Sekarang kami mau ketemu sama Mama kamu yang ada di rumah sakit, dia lagi sakit sekarang, kamu ikut kami ya."

"Mama sakit apa? Aku dari tadi telponin gak diangkat. Ayo pergi sekarang, aku pengen ketemu Mama."

"Kamu yang tenang ya, kita pergi sekarang. Ferdi kamu kemari bersama anggota tim lain, 'kan? Kamu tolong bawa mobil saya kemari, kita ke rumah sakit bersama saja."

"Baik bu." Ferdi segera berlari lebih dulu untuk membawa mobil Clara yang berada di parkiran. Ia melajukan mobil wanita itu hingga berhenti di depan sang pemilik.

Saat sudah sampai di rumah sakit, gadis itu langsung berlari, lorong rumah sakit yang tak begitu luas membuatnya tak sengaja menyenggol orang lain. Gadis itu mencari-cari di mana ruang inap Mamanya. Di belakangnya ada Clara dan Ferdi yang mengejarnya.

Gadis itu menggeser pintu ruang inap, di dalam sana ada seorang pria yang tak ia kenali sedang duduk di sofa. Sedangkan Mamanya sedang duduk melamun di ranjang.

Ia menghampiri Gisel perlahan, bahkan kedatangannya pun tak membuat Mamanya itu tersadar. "Maaa," panggilnya sambil sedikit menggoyangkan bahu Gisel.

Gisel perlahan menoleh ke arah gadis itu, dan wanita itu tak berekspresi apa pun, hanya menatapnya datar. "Mama kenapa?" Dia tak menjawabnya. "Maaa, ini Aurel. Mama jangan kayak gini dong."

Dan akhirnya Aurel kembali menangis di hadapan Gisel yang masih diam saja. Tangisnya pun tak membuat Gisel untuk sadar. Clara memegang bahu Aurel, membawa gadis itu untuk duduk di sofa dan menenangkannya.

"Dokter bilang, keadaan psikologisnya sedang tak baik akibat syok. Tapi demamnya sudah mulai menurun. Menurut dokter, pasien diperbolehkan besok, karena ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai terganggunya psikologis pasien," jelas Geraldi memberitahu.

Mereka bertiga kini merasa iba pada Aurel, dalam sehari gadis itu sudah mendapat banyak sekali cobaan. Entah sudah ke berapa kalinya juga dia menangis, matanya pasti membengkak.

Geraldi mendapat panggilan, ia memisahkan diri untuk menjawab panggilan tersebut. Matanya membulat saat mendengar apa yang dikatakan penelpon.

"Baik, saya akan segera ke sana." Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya dan menghampiri Ferdi. "Ada kecelakaan, tiga korban tewas di tempat dan satu mengalami luka berat. Kita harus segera ke sana."

"Oke. Biarkan bu Clara di sini, kita berdua saja yang pergi ke lokasi," kata Ferdi. Mereka berdua dengan segera langsung berlari meninggalkan Clara, Aurel, dan Gisel di sana.

Rafael dan Rian sedang berada di dalam mobil, mereka sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat.

Rafael sedang memegang ponselnya, membaca sebuah berita yang tersebar dalam grup chat kelasnya. Di sana berita Aurel dan keluarganyalah yang sedang dibicarakan, ia berusaha untuk tidak ikut-ikutan.

Lelaki itu mematikan ponselnya kemudian memejamkan matanya, sekilas perbuatannya tadi pagi yang memarahi gadis itu terbayang. Ia mengepalkan lengannya kuat, merasa kesal pada dirinya sendiri, mengapa dirinya harus berbuat seperti itu?

"Kenapa, El?" tanya Rian.

"Gak apa-apa," jawabnya. Kakaknya itu tau bahwa Rafael sedang kesal, karena dirinya sempat melihat lengannya yang mengepal keras.

Sesuai perjanjian Rian, kini dirinya dan adiknya itu menemui psikiater yang dulu pernah menangani Rafael.

Pria yang mengenakan jas putih tersebut tersenyum ke arah Rafael. "Apa kabarmu? Sudah bertahun-tahun kita tak berjumpa setelah saya memutuskan untuk menyerah bisa mengobati kamu."

"Baik, dok," jawab Rafael.

"Tadi pagi Rian sudah mengirimi saya pesan, bahwa kamu sekarang sudah mulai berubah, sudah bisa merasakan emosi atau perasaan. Apa benar?"

Rafael melirik sekilas kakaknya yang tersenyum ke arahnya. Ia memberi jawaban pada psikiater tersebut dengan anggukan.

"Boleh dijelaskan secara lebih sfesifik?"

"Maaf dok, saya kesulitan untuk bisa menjelaskannya. Yang jelas, saya pernah membaca artikel dan kamus, di sana tertera penjelasan semua jenis-jenis emosi serta bagaimana saat kita mengalami hal tersebut. Dan sekarang, saya sudah mengalami atau merasakan beberapa hal tersebut."

"Oke, saya paham maksud kamu. Oh ya, saya juga baru menyadari bahwa sekarang kamu sudah bicara panjang lebar, ya. Tidak seperti dulu, itu hal bagus." Psikiater itu tersenyum ke arah Rafael. Ia menatap layar komputernya yang menujukkan hasil lab dari dokter lain. "Saya sudah mendapat laporan dari rekan kerja saya, di sini dia menuliskan bahwa kondisi otak dan tengkorak kamu dalam keadaan baik. Jadi apa yang kamu rasakan tadi malam itu hanya sakit kepala biasa. Dan kamu bilang, yang kamu rasakan itu sama persis yang pernah kamu rasakan sepuluh tahun lalu, sebelum saya nyatakan bahwa kamu mengalami alexithymia. Benar?"

"Benar."

Psikiater tersebut tersenyum simpul ke arah Rafael. "Itu mungkin adalah sebuah tanda, bahwa kamu tak akan mengalami gangguan tersebut lagi. Artinya kamu akan sembuh total."

"Serius, dok?" tanya Rian antusias.

Psikiater itu mengangguk. "Serius. Tetapi, Rafael masih harus melaporkan semua hal yang dia alami selama seminggu ke depan kepada saya. Dan jika terdapat keluhan apa pun, dia harus segera datang ke saya."

Rian memeluk adiknya itu dengan sangat girang. "Wah, El, lo sembuh! Seneng banget gua!"

"Iya bang, gua sembuh." Dia tersenyum, kini beda pada biasanya, terlihat lebih tulus. Dan ia dapat merasakan kebahagiaan yang Rian rasakan.

K

akak beradik itu keluar dari ruangan psikiater tadi dengan perasaan bahagia, senyuman Rian tak begitu luntur setelah mendengar kabar bahwa adiknya sembuh. "Lo mau makan apa nanti malam? Gua bakal beliin semua yang lo mau."

Rafael tampak menimang. "Gua gak tau mau beli apa, terserah lo aja, yang penting makan enak."

"Oke siap! Nanti gua bakal ajak si rese." Yang Rian maksudkan adalah Arnold. "Gua aja seseneng ini dapat kabar bagus kayak gitu, apa lagi bocah itu, ya? Pasti jingkrak-jingkrak bikin malu." Rian tak bisa membayangkan jika hal tersebut akan terjadi, dirinya pasti akan sangat malu.

Rafael hanya terkekeh saja mendengar penuturan dari kakaknya. Saat matanya sekilas melihat ke arah samping, dirinya merasa melihat seseorang yang ia kenal. Langkah kakinya terhenti membuat Rian juga mengikutinya.

"Ada apa?" tanyanya.

Rafael segera menggeleng kemudian melangkahkan kakinya lagi. "Enggak ada apa-apa. Ayo pulang."

Clara menyelimuti tubuh Aurel yang tertidur pulas di sofa. Gadis itu sebelumnya menangis hingga terlelap karena kecapekan. Ia menengok ke arah Gisel yang tertidur pulas juga di ranjangnya.

Ia melangkahkan kakinya keluar ruang inap tersebut untuk mendatangi salah satu ruang inap lainnya di rumah sakit ini.

"Lho? Ngapain lo kesini?" Hans bingung melihat kedatangan Clara. Wanita itu duduk di kursi yang ada di samping ranjang.

Matanya melirik tajam temannya itu. "Ngapain lagi kalau bukan mau ketemu sama lo?"

Hans memicingkan matanya. "Jangan bilang kalau lo suka sama gua, ya?"

Tentu saja Clara terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dirinya menjadi salah tingkah dan gerogi. "Geer banget lo. Lagian gua ke sini karena anggota keluarga yang kasusnya gua tangani dirawat di rumah sakit ini. Ya, sekalian aja gua mampir ke ruangan lo," elaknya.

Hans mengangguk saja. "Eh, lo bukan yang pegang kasus yang lagi viral itu?" Clara tampak lega saat Hans mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

"Iya, gua. Kenapa?"

"Gimana kelanjutannya?" Hans bertanya dengan serius.

Clara melipat kedua lengannya di depan dada. "Ya, begitu. Bukti-bukti mengenai penggelapan udah diserahin, tinggal nunggu hasil, itu benar atau di rekayasa. Lalu orang yang dituduh, lo tau sendiri, tadi dia ditemukan tewas di ruang kerjanya. Gua gak dapet banyak bukti sih, dengan bukti yang gua dapetin tadi baru menyimpulkan bahwa dia bunuh diri, tapi gua mesti tunggu hasil dari tim medis." Hans mengangguk-anggukan kepalanya, paham apa yang dikatakan oleh Clara.

Wanita itu berdiri melihat kondisi tubuh Hans. "Lo masih di perban, 'kan?"

"Iya, nih." Lelaki itu melepaskan kacing baju pasiennya satu per satu, menunjukkan tububnya yang masih dibalut rapih dengan perban.

Ide jahil melintas di otak Clara. "Elo, kalau gatel gimana?"

Hans mengangkat alisnya sebelah. "Ya, gak gimana-gimana. Paling kesusahan aja, kadang gua tahan sampe emosi."

"Oh, begitu. Tapi kalau geli gimana?" Wanita itu secara tiba-tiba mengelitiki Hans, tentu saja bagian yang dikelitiki adalah sekitar dekat perban tersebut.

Clara tertawa puas melihat temannya yabg kegelian itu, bahkan merasakan sedikit sakit karena terlalu banyak gerak. "Anjir, Ra! Geli, woy! Haha, udah napa!"

Karena Clara yang tak kunjung menghentikan perbuatannya, Hans dengan tiba-tiba langsung menarik lengan wanita itu hingga kini tubuhnya tercondong ke arahnya, bahkan wajahnya tepat berada di hadapan wajah Hans, jaraknya pun sangat dekat, mungkin hanya terhitung sejengkal saja.

▪︎▪︎▪︎

Terima kasih karena sudah membaca!

Continue Reading

You'll Also Like

87.5K 6.3K 40
Menceritakan tentang seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun bernama RAKHA yang menjadi idola hampir semua perempuan disekolahnya karena parasnya...
717 538 12
Tidak ada maksud untung meniru cerita manapun (cerita ini real ketikan tangan author sendiri) jika ada perkataan yang sama dengan cerita lain,menurut...
45 0 50
Arabell Eira Alvarendra, seorang gadis remaja yang tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan fisik dan mental, merasa dirinya terperangkap dalam keluarga...
37.9K 3.1K 48
[Tentang kepercayaan yang dimainkan] 17+ [Tidak pornografi, tapi mengandung kata-kata yang tidak dianjurkan ditiru] Tidak revisi!! Typo, KBBI, PEUB...