𓆩♡𓆪
~•~
***
Juan memutar tubuh, menghadap kearah Papanya yang sedang memandangi dirinya dengan tatapan bingung.
"Maksud kamu tadi apa? Papa dengar kamu menyebutkan kata-kata Ardi, ada apa dengan dia?" Juan bingung, ia sampai menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Haruskah ia bercerita sekarang? Tapi jika sekarang dia memberitahu, itu berarti Papanya akan mengetahui semuanya.
Termasuk perusahaan yang berhasil menurunkan reputasi AH'grup. "Juan. Jawab pertanyaan Papa! Sebenarnya ada apa?" sentak Darius cukup tinggi.
"Aku nggak bisa cerita sekarang, aku nggak berhak ngomong semuanya ke Papa." ucap Juan.
"Jadi benar kamu menyembunyikan sesuatu dari Papa."
"Kalau Juan belum siap jangan di paksa!" ujar suara dari dalam rumah.
"Kamu memang belum waktunya mengetahui semuanya. Biarkan Mama yang memberitahu, tapi tidak sekarang!" mengacak rambutnya dengan kasar Darius menghela napas berat.
"Aku di sini seperti orang bodoh yang nggak tau apa-apa. Apakah aku nggak berhak tau? Apa aku bukan anggota keluarga ini lagi?!" hardik Darius sedikit keras.
"Mas. Sudah Mas! kalau mereka belum mau cerita sama kamu terima aja. Kita baru aja berdamai dengan Juan, jangan sampai karena kamu kita menjauh lagi." kata Adelia menghampiri suaminya.
Wanita itu tak mau jika hanya karena masalah ini, hubungannya dengan Juan merenggang lagi, dia ingin bahagia bersama putranya.
"Istri kamu aja lebih dewasa dari pada kamu! Nggak malu sama Adelia yang bisa memaklumi keputusan Mama?!" sarkas Oma Heni.
"Pokoknya kamu tenang aja, apa yang terjadi nggak akan merugikan dirimu Darius Abimanyu." tekan Oma Heni lagi.
Juan yang malas mendengar perdebatan itu pun bergegas pergi, ia masuk kedalam rumah.
Melihat Anin berdiri diam menatapnya dia menarik tangan istrinya menuju kamar.
"Kak Juan marah sama Papa?" tanya Anin usai mereka hanya berdua di kamar.
"Sedikit." jawab Juan singkat, lelaki itu tengah melepas kaos putihnya yang basah tadi, lalu di ganti dengan kaos berwarna hitam.
Menyusul Anin duduk di sofa, Juan langsung merebahkan kepalanya di paha wanita itu. "Aku kesal karena Papa maksa buat tau semuanya, ya aku sadar memang seharusnya Papa tau. Tapi aku dan Oma butuh waktu, aku takutnya rencana yang sudah di susun susah payah. Sia-sia karena Papa."
"Jadi, Kak Juan nggak percaya sama Papa?" Juan yang memejamkan matanya karena usapan lembut di rambutnya, harus terbuka membalas tatapan teduh sang istri.
"Selama ini orang yang aku percaya cuma dua. Oma, dan kamu. Selebihnya aku nggak percaya sama siapapun. Dari kecil aku di besarkan sama Oma, setelah besar terus pindah ke Indonesia aku ketemu kamu, jadi untuk saat ini cuma kalian berdua yang benar-benar bisa aku percayai."
"Iya udah, nggak usah di pikirin omongan Papa, biar Oma yang ngasih tau nanti, seperti apa yang Oma bilang tadi," Juan mengulas senyum manis lalu mengangguk setuju.
Tangan kanan Juan terangkat, menarik tengkuk Anin agar wanita itu menunduk, ia mencium singkat bibir Anin.
Wanita hanya tersenyum menggelengkan kepalanya dengan pipi merah merona. "Pulang yuk, lebih enak di apartemen." ajak Juan, ia sudah bangun membenarkan tataan rambutnya yang berantakan.
"Yakin pulang? Aku tadi sudah masak banyak, Oma sama Mama berharap banget kita sarapan bareng lho."
Juan berpikir sejenak, sebenarnya ia malas. Apalagi kejadian tadi, rasanya dia tak ingin bertemu dulu dengan Papanya
Tapi karena ingin membahagiakan Oma dan Mamanya, Juan pun akhirnya mengangguk setuju.
~ T̶r̶u̶t̶h̶ ̶o̶r̶ ̶D̶a̶r̶e̶ ~
Lelaki dengan jaket kulit berwarna hitam serta kaos berwarna senada membanting tubuhnya di atas sofa, ketika baru saja sampai di apartemen pukul satu siang.
"Kak ganti baju dulu, jangan langsung tidur gitu." peringat wanitanya yang melihat suaminya langsung merebahkan tubuh di sofa.
Sementara sang suami hanya bergumam, matanya tertutup dengan tangan kiri diatasnya.
"Kak Juan," ujar Anin lebih tegas berdiri di depan Juan.
"Ganti baju dulu sana kak, pakai yang lebih santai." perlahan Juan membuka matanya.
Memandang Anin sejenak ia menghela napas berat mengangkat kedua tangannya. "Tarik." pinta Juan, ia sudah terlanjur mager. Jika bukan paksaan dari Anin ia tak mau.
Meskipun berdecak kesal Anin tetap menuruti keinginan suami manjanya itu, ia menarik tubuh suaminya agar bangun. "Kak Juan mau aku buatin apa? Katanya hari ini mau santai sambil main PS?"
"Ehmm_ kentang keju enak kayaknya." usul Juan membayangkan kentang goreng bersama keju yang sering Anin buat untuknya.
"Oke, aku buatin dulu ya. Kakak ganti baju jangan rebahan lagi!" Juan memberi hormat pada istrinya lalu bergegas pergi ke kamar.
Sudah berada di dapur Anin menggunakan celemeknya sebelum mengupas kentang yang akan di haluskan, selesai urusan kentang Anin menyiapkan bahan-bahannya, menaruh di atas meja dan memastikan semuanya sudah siap.
Namun pergerakannya terhenti ketika ponsel Juan yang ada di atas meja berdering. Anin menghampiri benda pipih tersebut, tidak ada nama yang tertera di sana.
"Angkat nggak ya?" gumam wanita itu bingung sendiri, Anin bukanlah istri yang lancang membuka atau mengangkat telepon suaminya, selama ini jika dia ingin pinjam benda tersebut, atas izin dari Juan.
Melihat pintu kamar, tak ada tanda-tanda di buka Anin memutuskan untuk menerima telepon itu.
"Angkat aja deh, siapa tau penting." ujarnya lalu menggeser panel berwarna hijau.
"Halo,"
"Halo, selamat siang. Apa benar ini nomer Bapak Juandra?"
"Iya benar, Pak. Maaf ini dari siapa ya?"
"Saya petugas di lapas Jakarta Pusat, ingin memberitahu jika saudara Kaia ingin bertemu dengan Pak Juandra,"
"Untuk apa ya Pak?"
"Maaf saya kurang tau Mba, saya cuma menyampaikan pesan saudara Kaia."
"Baik Pak, nanti biar saya sampaikan."
"Baik Bu, kalau gitu terima kasih, selamat siang."
"Siang," Anin menggenggam erat ponsel Juan, ada apalagi wanita itu ingin bertemu dengan suaminya.
"Lho, katanya mau buat kentang keju, kok disini?" wanita itu tersentak lalu menoleh ke samping.
Juan berkecak pinggang terlihat mengerutkan kening, apalagi melihat ponsel miliknya tengah di genggam istrinya.
Dia bukan marah karena benda itu, hanya bingung kenapa Anin berdiri diam seperti patung.
"Oh_ ini Kak." sadar ponsel Juan masih di tangannya, Anin buru-buru mengembalikan kepada pemiliknya.
"Maaf tadi aku ngangkat telepon, soalnya bunyi terus." ujar Anin mencoba menjelaskan.
"Siapa yang telepon?"
"Katanya dari petugas lapas,"
"Ngapain?"
"Kaia pengin ketemu Kakak. Dia mau Kak Juan kesana,"
"Hah. Gila tuh cewek! Ngapain mau ketemu aku?" Anin hanya menaikan bahunya tak tau.
"Menurut aku, mending Kakak kesana aja, siapa tau dia mau ngomong sesuatu penting."
Mungkin saja apa yang di katakan Anin benar, wanita itu ingin bertemu karena ada sesuatu yang di bicarakan.
Juan bergegas pergi ke tempat di mana Kaia berada, ia ingin segera tau untuk apa wanita itu ingin bertemu.
Tak membutuhkan waktu lama Juan sampai, ia tak sendiri ada Anin bersamanya, Juan tak mau jika hanya berdua bersama wanita itu.
Bertemu petugas lebih dulu, Juan memberitahu kalau dirinya ingin bertemu Kaia sesuai permintaan wanita itu.
Di sebuah ruangan cukup kecil, Juan dan Anin sedang menunggu Kaia, Anin menggengam erat tangan Juan. Entah kenapa rasanya tidak nyaman berada di tempat seperti itu.
Selang beberapa menit, petugas tersebut datang kembali dengan seseorang di sampingnya, orang itu terlihat kurus dan seperti tidak terawat.
Badannya kurus, tulang pipinya terlihat, dan ada lingkaran hitam di kedua matanya. "Juan," sapa orang itu.
Dia adalah Kaia, wanita itu terlihat senang melihat kedatangan Juan. Pandangannya pun tak teralihkan
Seakan mengabaikan Anin yang berada di samping lelaki itu. "Gue kesini nggak bisa lama-lama. Mau apa lo minta ketemu gue?" ucap Juan langsung.
"Gue senang lo mau datang,"
"Gue nggak! Buruan ngomong! waktu gue nggak banyak cuma ngurusin lo." potong Juan saat Kaia belum selesai bicara.
"Oke," katanya, namun tak juga lekas bicara.
Wanita itu justru menunduk lalu terdengar suara isak tangis. "Lo kalau banyak drama, gue pergi." ancam Juan yang sudah menarik tangan Anin.
"Gue dengar, lo masukin nyokap gue ke penjara. Apa benar? Setelah lo laporin gue, sekarang Mama gue? Terus sebentar lagi Papa gue? Hah!"
"Kalau ya kenapa?" tantang Juan.
Kaia menangkup kedua tangannya, menatap Juan sendu dengan derai air mata di pipinya. "Juan gue tau, keluarga gue salah. Semua keluarga gue terlibat kriminal, tapi gue mohon. Jangan laporkan Papa gue, tolong bebaskan Mama. Biar gue yang tanggung, biar gue yang di penjara. Selama hidup gue juga nggak apa-apa. Asal kedua orang tua gue jangan." ucap Kaia di sela isakkannya.
"Kasian orang tua gue, mereka sudah tua. Gue nggak mau masa tua mereka di habiskan didalam penjara, orang tua gue nggak salah, gue bisa jelasin semuanya sama lo."
Brak!
Juan menggebrak meja, rahang lelaki itu sudah mengetat, mata tajamnya kian menghunus lawan bicaranya. "Apa lo bilang?! Nggak salah? MENGHILANGKAN NYAWA ORANG LAIN APA ITU BUKAN KESALAHAN. HAH!" bentak Juan yang sudah terlanjur emosi.
Anin mengusap punggung dan lengan Juan agar tenang. "Orang tua lo, termasuk lo sendiri sudah merugikan banyak orang! Lo masih mau ngelak. Masih mau orang tua lo bebas?! Pikir pakai otak goblok!" maki Juan begitu keras, tangannya menujuk tepat di kepalanya.
Kaia semakin menangis, ia kini berlutut di hadapan Anin. "Nin maafin gue_ tolong bilang ke Juan. Maafin orang tua gue_ bebasin Mama, gue nggak mau orang tua gue di penjara." mohon Kaia memegang kaki Anin.
"Jangan sentuh Anin!" sentak Juan mendorong Kaia hingga wanita itu terjungkal kebelakang.
"Gue nyesel datang kesini. Ayo kita pulang." Juan mengajak Anin pergi dari sana.
Mengabaikan teriakan Kaia yang terus memohon kepadanya.
Sebelum pergi, Juan bekerja sama dengan petugas di sana, untuk tidak memberitahu informasi apapun kepada Kaia. dan jika ada orang yang ingin mengunjungi wanita itu, harus lebih ektra mengecek segala sesuatunya.
Juan tak ingin ada anak buah Ardi yang datang dan mengacaukan segalanya.
***
***
Jangan lupa dukung selalu dengan kasih vote+comment. Thank you and love you buat kalian yang selalu ninggalin jejak setiap partnya. 💚🥰
.See you next part.