¶¶ÒõÉçÇø

Our School Story [END]

By SelayOlay4

296K 33.3K 6.6K

Mereka, kelompok para uke yang suka gelud sama kelompok para seme. Natan, Yin, Granger, dan Ling adalah seke... More

Bagian I
Bagian II
Bagian III
Bagian IV
Bagian V
Bagian VI
Bagian VII
Bagian VIII
Bagian IX
Bagian X
Bagian XI
Bagian XII
Bagian XIII
Bagian XIV
Bagian XV
Bagian XVI
Bagian XVII
Bagian XVIII
Bagian XIX
Bagian XX
Bagian XXI
Bagian XXII
Bagian XXIII
Bagian XXIV
Bagian XXV
Bagian XXVI
Bagian XXVII
Bagian XXVIII
Bagian XXIX
Bagian XXX
Bagian XXXI
Bagian XXXII
Bagian XXXIII
Bagian XXXIV
Bagian XXXV
Bagian XXXVI
Bagian XXXVII
Bagian XXXVIII
Bagian XXXIX
Bagian XXXX
Bagian XXXXI
Bagian XXXXII
Bagian XXXXIII
Bagian XXXXIV
Bagian XXXXV
Bagian XXXXVI
Bagian XXXXVII
Bagian XXXXVIII
Bagian XXXXIX
Bagian L
Bagian LI
Bagian LII
Bagian LIII
Bagian LIV
Bagian LV
Bagian LVI
Bagian LVII
Bagian LVIII
Bagian LIX
Bagian LX
Bagian LXI
Bagian LXII
Bagian LXIII
Bagian LXIV
Bagian LXV
Bagian LXVI
Bagian LXVII
Bagian LXIX
Bagian LXX
Bagian LXXI
Bagian LXXII
Bagian LXXIII
Bagian LXXIV
Bagian LXXV
Bagian LXXVI
Bagian LXXVII
Bagian LXXVIII
Bagian LXXIX
Bagian LXXX
Bagian LXXXI
Bagian LXXXII
Bagian LXXXIII
Bagian LXXXIV
Bagian LXXXV
Bagian LXXXVI
Bagian LXXXVII
Bagian LXXXVIII
Bagian LXXXIX
Pengumuman!
Epilog - The True Ending
Pengumuman - The Squel Has Been Published
Just a Bonus

Bagian LXVIII

2.3K 247 123
By SelayOlay4

Xavier berdiri dari duduknya di bawah tuntunan air hujan, meneduh di saat dirinya semakin basah kuyup. Otaknya masih mencerna, bingung akan semua pertanyaan yang lagi-lagi muncul bersamaan.

Xavier sudah bagaikan sosok tanpa jiwa. Hanya berjalan linglung tanpa ekspresi.

"Duduk dulu, Ling udah ngambil handuk buat lo." Natan menuntunnya menuju bangku tak jauh darinya. Membiarkan air menetes dari pakaiannya, merembes membasahi lantai.

"Lo abis ini ke rumah dulu aja, kita ga bawa baju ganti. Kalo lo sampe sakit bisa repot juga." Ling berjalan mendekat dengan handuk di tangannya. Memberikan itu pada Xavier yang masih menunduk.

Jatungnya berdetak cepat. Semua rasa takutnya menguat begitu saja. Dan sekali lagi, hanya kata kenapa yang menggambarkan setiap pertanyaannya.

"Biar kita yang ngomong sama Yin, lo dateng lagi besok." Natan mencoba membujuk walau tidak ada jawaban yang ia dapat. Pikirannya sangat kacau di sana, berisik tanpa henti.

Natan paham, sangat paham bagaimana rasanya takut ditinggalkan. Tapi, "Yin di sini, dia ga akan kemana-mana. Kalo dia belom mau ketemu sama lo, lo dateng lagi besok, besok, dan besok, sampe dia mau ketemu sama lo."

"Supirnya udah di depan, lo bakal dianterin ke rumah." Granger kembali setelah menelpon supirnya.

"Oke, sana keluar duluan, kita pulang nanti." Natan menepuk pundaknya dua kali, mulai meninggalkan Xavier di sana dengan diikuti kedua temannya.

"Gapapa ninggalin dia sendirian?" Granger menatap khawatir. Rasa-rasanya bisa saja Xavier akan bunuh diri disaat dirinya tidak ada yang mengawasi. Tapi enyahkan pikiran itu, ia harus terus berpikir positif.

Karena nyatanya, yang memikirkan akan tindakan Yin bukan hanya Xavier. Dirinya, Natan, juga Ling, mereka semua khawatir.

"Dia ga bodoh buat ngelakuin hal gila." Ling menjawab. Matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Menerawang jauh ke dalam di mana Yin akan meringkuk di kasurnya.

Mereka memandangnya, pintu yang tetap tertutup walau ketiganya memanggil si penghuni.

Tidak ada sahutan, tidak ada suara langkah kaki barang kali Yin akan membukakan pintu untuk mereka.

"Yin." Natan kembali memanggil, kali ini ia terus berbicara tanpa menunggu balasan dari Yin.

Tangannya menggapai kenop pintu, masih terkunci.

"Yin, gue tau lo denger kita manggil. Bisa bukain pintunya?"

Mereka menunggu, terus menunggu dengan harapan pintu itu akan terbuka dan menampakkan sosok teman yang sangat mereka rindukan.

Kemana semua tingkah konyolnya? Kemana semua tawa yang selalu berhasil mengibur mereka kala sedih menghampiri? Kemana lengan kokoh yang selalu membela mereka dari masa lalu yang terus menghantui? Kemana manik madu yang akan menyipit saat senyum lebar nampak di wajahnya?

Kemana binar mata itu pergi?

"Yin-" Natan menyandarkan dahinya pada pintu. Membiarkan Ling dan Granger menunduk di belakangnya. 

Yin temannya, sahabatnya, saudaranya, keluarganya. Tidak akan pernah berubah bahkan jika seluruh ingatannya diambil. Saat dirinya kehilangan, Yin akan selalu di sana, di sampingnya. Memberitahu bahwa dirinya ada, tidak akan membiarkan Natan kesepian.

"Bukannya lo bilang ga bakal biarin gue kesepian? Lo sendiri yang bilang kalo bakal ramein setiap hari gue? Kemana lo sekarang?" Emosinya naik, Natan menggigit bibir, menahan seluruh air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata.

"Yin." Sekali lagi, panggilan tanpa jawaban itu terlontar. Begitu lirih, begitu lemah. Membuat Yin yang terduduk di dekat pintu membungkam mulutnya rapat-rapat. Menutup setiap kemungkinan dirinya akan terisak.

"Gue kesepian."

Natan melirih, membiarkan air matanya menetes begitu saja. Tidak ada isakan, tidak ada teriakan frustasinya. Semuanya tertelan begitu saja di kerongkongannya.

"Kalo gue bilang gue kesepian, apa lo bakal balik lagi?"

Mereka mendengarnya, isakan pelan yang tertahan. Terdengar samar diantara jutaan suara rintik hujan yang turun dengan derasnya.

"Yin." Kali ini Ling yang memanggil, menyerahkan Natan pada pelukan Granger. "Kalo lo denger ini, gue pengen cerita sedikit. Boleh?"

Ling menunggu, dan tak mendapat jawaban walau menit telah berganti.

"Lo tau, kita kalang kabut nyariin lo. Gimana bisa temen kesayangan kita yang petakilan, tingkahnya ga jelas, konyol, agak goblok. Tiba-tiba dia sakit dan semua tingkahnya berubah total. Ga ada lagi Yin yang nakal, suka balapan, suka molor ga tau tempat, suka tengkar sama Natan sama Granger sampe bikin gue pusing tujuh keliling buat lerai. Ga ada lagi Yin yang harus gue teriakin pake toa tepat di telinganya baru dia bakal bangun."

"Gapapa, gue tau lo sakit. Lo butuh istirahat, ga punya tenaga. Tapi lo tiba-tiba ilang Yin. Semuanya lo tinggal, cuma ngasih sepucuk surat dengan tulisan seadanya. Jam dua pagi Yin, jam dua pagi dan kita ga akan sadar lo udah ilang kalo Xavier ga dateng. Kacau Yin, temen kecil gue, adik kecil gue yang selalu gue urus hilang tiba-tiba. Gue ga bisa buat ga nangis, bahkan sekarang kalo lo liat gue bakal nangis sih."

"Lo tau gimana ekspresi Xavier waktu itu? Pengen tau ga?" Ling tertawa pelan, sangat pelan. Berusaha tersenyum walau wajahnya sudah dibanjiri air mata. "Dia dateng sambil babak belur lo tau, linglung nyariin lo. Gue ga nyangka sih dia bisa kayak orang ga ada nyawanya gitu. Tapi dia tetep nyariin lo berhari-hari tanpa henti... Yin, gue ga mau salahin lo, gue ga mau salahin siapa pun di sini. Gue cuma kesel, sumpah kesel banget."

Ling mendongak, air matanya tumpah semakin deras. Suaranya bergetar, "Kesel banget sialan! Padahal lo selalu ada waktu kita butuh, tapi kita malah ga bisa ngasih apa-apa buat lo. Kita bahkan ga bisa bantu apa-apa buat pengobatan lo sekarang. Yin, kita harus apa? Kita harus apa biar lo bisa bergantung ke kita juga?"

"Tiap kali lo pulang malem, tiap kali lo keliatan capek banget sehabis kerja, rasanya gue pengen banting semua barang di rumah. Padahal kita deket banget, segitu deketnya, tapi kenapa kita ga bisa bantu apa-apa? Yin, lo tau kan? Lo punya kita, lo punya keluarga di sini. Gue minta tolong Yin, tolong banget, jangan pernah ngerasa sendiri."

Ling mundur, memberi kesempatan pada Granger sebagai yang terakhir untuk bicara. Ia memeluk Natan, terisak di sana.

Granger menghela napas, dia lelah menjadi cengeng. Dia lelah menjadi yang selalu menangisi segalanya.

Maka dia mengetuk pintu itu beberapa kali dengan keras. Matanya menatap tajam, menarik napas dalam-dalam.

"Yin, gue udah baikan sama Alu." Ujarnya tegas. "Walaupun belum balikan, tapi kita udah baikan. Jadi kapan lo balikan sama Xavier? Dia udah nungguin. Nanti malem, besok, lusa, hari selanjutnya, dia bakalan terus-terusan ke sini. Pastiin lo buka pintu sebelum gue dobrak. Walaupun urusan gelud lo lebih jago, gue masih ada tenaga buat rusakin pintu ini." Granger cemberut, isakan Yin terdengar semakin jelas. "Udah, itu aja. Kalo ga mau cerita, kita bakal balik sekarang."

Sayup-sayup suara langkah kaki terdengar menjauh, meninggalkan kamarnya yang semakin ramai dengan isakannya.

"Gimana bisa?" Yin meremas pakaiannya yang masih basah.

Bagaimana bisa ia menahan semuanya sendiri di saat begitu banyak orang yang peduli padanya? Bagaimana bisa ia memusatkan seluruh hidupnya pada suatu masa lalu yang begitu pahit untuknya disaat begitu banyak hal manis yang menanti di hadapannya?

Tapi, bagaimana bisa ia tidak hancur? Saat seluruh dunia seakan menghukumnya atas kesalahannya yang entah apa itu. Saat seluruh dunia seakan menjadikannya musuh.

Bagaimana bisa ia tidak hancur saat dunia menginginkan dirinya untuk hancur?

Lelah, lelah sekali rasanya. Ia tak mau menjadi orang yang merasa paling tersakiti. Tapi, bagaimana bisa ia tidak sakit saat dirinya menahan iri dengan anak seusianya yang berjalan bergandengan tangan bersama orang tuanya. Sedangkan dirinya hanya bisa menatap dari kejauhan, berkali-kali membasuh muka untuk menutupi air matanya yang mengalir deras.

Ia bahkan tidak tau bagaimana rasanya kecupan sayang seorang ibu. Ia bahkan tidak tau bagaimana rasa timangan seorang ayah pada anaknya.

Lalu, bagaimana ia bisa tidak sakit? Bagaimana bisa?

o0o

Hari selanjutnya, dan hari selanjutnya.

Tetap tidak ada jawaban dari Yin untuk Xavier. Pintu itu masih terkunci.

Maka Xavier akan menunggu, duduk diam di sana. Ia akan mengetuk pintu Yin setiap sepuluh menit, memberitahukan bahwa dirinya masih di sana.

Hari berikutnya adalah hari terakhir, dan hal yang sama masih terjadi.

"Yin, aku pamit dulu." Hanya itu setelah duduk diam selama dua jam di depan pintu kamar Yin. "Nanti kalo aku ada waktu lagi, aku bakal kesini."

Sepuluh menit lagi berlalu dengan cepat, membiarkan Xavier yang masih enggan beranjak dari kamar itu.

Tapi izinnya telah habis, tiga harinya telah habis.

o0o

Rumah yang mereka huni selama tiga hari itu kembali Rapi. Semuanya tertata seperti sebelum mereka datang.

Mereka duduk di sofa ruang tamu. Menunggu sopir yang akan mengantarkan mereka menuju bandara datang.

"Lo yakin mau ikut balik?" Natan membuka suara setelah hening menyapa terlalu lama.

"Kalo gue jawab guw masih mau di sini, emang boleh?" Xavier tersenyum getir.

"Terus kalo gue bilang boleh, lo mau kan tetep di sini?" Natan membalas, menatap Xavier dengan raut seriusnya. "Gue bakal urus semuanya, lo boleh dapet libur lebih lama. Gue bakal bilangin ke nenek buat kasih rumah ini ke elo. Kalo lo mau, lo bisa tinggal di sini selama yang lo mau. Lo bisa sekolah di sini sampe lo lulus. Atau sampe Yin selesai sama rehabnya. Dengan imbalan, lo harus bisa pastiin dia baik-baik aja. Pastiin dia bisa pulang dengan selamat."

Xavier menatap Natan, wajahnya benar-benar tak tergambarkan lagi. Entah ekspresi wajah seperti apa yang harus ia keluarkan sekarang. Karena nyatanya, yang ia lakukan selanjutnya adalah menutup seluruh wajahnya dengan tangan, berlutut di hadapan ketiga adik kelasnya.

Ia menangis, ia benar-benar menangis kali ini.

"Terimakasih, terimakasih banyak." Ujarnya dengan bahu yang bergetar.

Ketiganya membelalakkan mata, tidak menyangka Xavier akan berlutut di hadapan mereka. Mereka bergegas memeluknya. Memeluk kakak kelas yang mereka temui beberapa bulan lalu. Memeluk sosok yang sudah memperlakukan mereka layaknya adik. Dan kini tengah menangis untuk salah satu temannya.

Xavier tidak bisa mengatakan apapun lagi kecuali terimakasih. Ia ingin berterimakasih atas segalanya. Berterimakasih akan pertemuannya dengan Yin. Berterimakasih akam kesempatan demi kesempatan yang ia dapat.

Oh tuhan, bagaimana hal yang disebut dengan cinta bisa terasa begitu membahagiakan dan menyakitkan disaat yang sama?

***

Kakinya kembali berlari, ia ingin segera memberitahukan pada Yin bahwa dia akan tetap di sini. Ia akan tetap bersamanya.

Tapi sebelum kakinya berhenti tepat di depan pintu kamar Yin, pikiran buruk kembali membayanginya.

"Yin." Panggilnya lembut. Ia kembali duduk di depan pintu yang memisahkannya dan Yin-nya. "Yin, masih di sana ga? Atau kamu udah tidur?"

Xavier mengetuk pelan pintu itu. Tanpa tau bahwa si pemilii ruangan juga duduk di balik pintu itu. Duduk diam tanpa suara. Siap mendengarkan seluruh ocehan Xavier lagi.

"Aku mau di sini. Aku bakal sama kamu terus. Aku ga bakal bosen kok kalo kamu khawatir. Aku pengen kita sama-sama terus. Xavier sama Yin." Xavier tersenyum.

Setidaknya itulah yang Yin yakini saat ini.

"Kalo aku bilang aku mau lanjut sekolah di sini kamu bakal bolehin ga ya?"

"Ha?"

Yin buru-buru membekap mulutnya. Ia kelepasan karena kaget akan pertanyaan Xavier tadi.

"Yin? Kamu di sana? Yin? Bener kan?" Xavier mengetuk pintu itu tiga kali. "Yin, astaga, sayang, sayangnya Xavier. Kangen banget sama suara kamu." Xavier tersenyum, senyum lebarnya yang entah hanya berapa kali ia tampakkan. "Boleh bukain pintunya?"

"Ga." Yin menjawab cepat. Tidak ada gunanya menyembunyikan diri lagi sekarang. Tapi hanya sebatas itu, ia tidak akan membukakan pintu. Tidak untuk sekarang. Setidaknya itulah yang ia pikirkan saat ini.

"Kenapa?" Suara itu terdengar bingung. "Di luar dingin Yin, hujan lagi. Ga kasian sama pacarmu ini?"

Yin menghela napas, "Emangnya mau apa kalo ku bukain pintunya?"

"Peluk and kiss."

"Yaudah ga bakal gue bukain selamanya." Yin sedikit terkekeh, entah kenapa ia merasa Xavier sedang mencoba untuk menunjukkan sisi dirinya yang bawel saat ini.

Tapi, bukan itu yang ingin ia katakan ketika memutuskan membuka suara.

"Jangan." Yin melirih.

"Jangan? Jangan apa? Ga boleh peluk sama kiss?" Xavier kembali menyandarkan dirinya pada pintu.

"Jangan di sini. Kamu masih banyak kepentingan lain. Sekolahmu, keluargamu, temen-temenmu."

"Terus aku harus apa?" Suara Xavier memberat, "Kecewa Yin, waktu tau kamu kayak gini gara-gara aku, rasanya pengen bakar diri sendiri. Kecewa juga karena kejadiannya waktu kita lagi renggang. Lebih kecewa lagi karena setelah semuanya, aku tau dari orang yang ngelakuin ini ke kamu."

"Xavi, aku ga pernah mau orang yang aku sayang kenapa-napa. Makanya aku ngunci diri." Yin menyahut, memberhentikan paksa kalimat yang hanya akan menyakiti jika diteruskan. "Kamu mau dengerin ceritaku ga?"

Yin berhenti, hingga pada menit selanjutnya Xavier tetap diam.

"Alasannya bukan satu, bukan dua. Banyak. Aku capek banget sama yang namanya hidup. Tapi juga ga pengen mati. Mama sama ayah cerai. Aku tau itu hampir bersamaan sama kabar kak Briel meninggal. Rasanya kayak ada yang hancurin semua organ aku dari dalem. Waktu itu juga kita lagi ga baik. Semua kejadiannya terlalu mendadak."

"Aku balik ke rumah, neraka sih kalo kata aku. Dari kecil aku ga tau apa itu kasih sayang orang tua. Yang aku dapet cuma cacian. Aku bahkan harus ngemis ke orang tau sendiri buat sesuap nasi aja. Tiap ayah ga dirumah, mama selalu nagih uang ke aku. Anak sekecil itu mana punya uang banyak? Sebaliknya, setiap mama ga di rumah, ayah bakal bawa selinghannya ke rumah. Tanpa mikir anaknya masih di rumah, dia bakal ngelakuin hal ga senonoh di rumah. Setelahnya aku bakal disuruh bersihin semuanya sebelum mama pulang."

"Aku iri. Iri sama orang yang punya segalanya. Tapi sadar ga sih, orang yang punya segalanya juga bisa kehilangan. Bukan berarti hidupnya lengkap. Aku ketemu Natan, nyusul Ling sama Granger. Hidupku mulai teratur karena Ling ngurus kita udah kayak ibu-ibu aja. Nenek Lunox juga banyak manjain kita."

"Tapi mana cukup? Aku juga sekolah. Aku ga bisa bergantung sama mereka terus-terusan. Aku bukan Ling yang selalu di tuntut buat gunain semua fasilitas dari orang tuanya dengan imbalan nilai. Aku juga bukan Granger yang bisa kerja di rumah. Aku kerja, banting tulang sana-sini. Kerja dari malem sampe pagi. Ga sekali dua kali di pecat. Bahkan udah ga bisa dihitung jari berapa kali aku di pecat."

"Kemaren, waktu mama sama ayah cerai. Aku kerja mati-matian sampe dapet black card. Aku kasi ke mama karena aku tau mama ga bisa hidup tanpa uang. Gimana ya? Walau gimana pun aku masih sayang banget sama mereka. Gimana ya? Walau dikit, tapi aku masih berharap banget sama kasih sayang mereka ke aku."

"Sampe akhirnya, puncaknya, semuanya sia-sia. Ga ada yang kesisa. Aku stress, aku pergi clubing. Ketemu Lieh yang lagi mabuk juga. Dia tawarin aku sesuatu sambil cerita tentang adiknya. Tau ga, sesaat aku lengah, ngerasa kita sama. Tapi dia malah nyuntikin sesuatu ke lengan aku di saat aku mabuk. Tapi anehnya, rasanya nyaman. Walau cuma sesaat. Dan tanpa aku sadari lagi, aku udah jadi pecandu. Hari berikutnya, hari berikutnya, terus-terusan. Sampe kewarasanku balik dan aku berhenti mendadak. Lemes banget, sakit semua. Tapi entah kenapa aku ga sampe histeris."

"Xavi." Yin perlahan bangkit, ia membuka pintu. Akhirnya, ia membukakan pintu itu. Menatap wajah yang ia rindukan.

Ia menghambur ke pelukannya, merasakan hangat yang menjalar ke tubuhnya. Bisa ia miliki ini selamanya? Ia ingin hangat yang terus terasa disela dinginnya hujan.

"Maaf." Kata itu kembali terucap. "Aku pengen kamu punya orang lain. Tinggalin aku."

Tubuhnya menegang, Xavier mengeratkan rengkuhannya tanpa sadar.

Dan sebelum kalimat tanyanya terlontar, Yin lebih dulu membekap mulutnya. Mata itu teduh. Begitu teduh hingga ia hanya bisa mematung saat Yin berjinjit.

Mencium tangannya yang membekap mulut Xavier.

TBC

Sekali lagi. Ini Xaviyin ya.

Mau update lagi deh rasanya. Kok rasa-rasanua kurang nampol aja.

Maaf juga kemaleman.

:)

Pamit lagi ya
Pay pay :)

Continue Reading

You'll Also Like

23.5K 1.9K 14
JANGAN PLAGIAT! [BXB] [FLUFF] [15+] Aamon, 17 tahun, masih jomblo, wajah rupawan dan fans nya seperti semut pada tumpukan gula. Sayangnya sifatnya sa...
24.3K 1.2K 14
Gw dh balik hiat nih sat, ramein book.gw yeh. Ship shipan BL ml pokoknya, baca aja. Crita nya nyambung nyambung btw. Bukan story singkat. Hope u all...
855K 52K 48
[Dalam penulisan cerita terdapat banyak Typonya dan masih belum direvisi] Menceritakan seorang anggota OSIS yang diperkosa oleh kakak kelasnya yang b...
993K 120K 61
[PRIVAT, FOLLOW UNTUK BACA LENGKAP] Laluka Lotusia gadis yang menjadi korban bullying di sekolahnya, dia tidak punya orang tua dan sejak bayi tinggal...