Haloo semua >_<
Dah lama nggak update, nih!
Kangen nggak?
Kalau kangen, jangan lupa vote dan komen-nya agar Kattie rajin nulis dan update!
Sibuk banget nih!
-
-
~•°🕊️°•~
"Di siang hari, aku adalah aku. Dewasa, tenang dan penuh kendali. Tapi di saat trauma itu muncul, bocah kecil dalam diriku mengambil alih, tertawa, menangis, dan meminta pelukan yang tak pernah kudapatkan."
~Svarga Kusuma Ocenio
~•°🕊️°•~
HAPPY READING
"Duh, ikat pinggang gue mana, sih?" Ananta menggeledah isi lemarinya, mencari benda hitam panjang yang biasa ia pakai. Bahkan, kini seisi kamarnya sudah acak-acakan karena tidak menemukan barang yang ia cari. "Dalam keadaan genting kayak gini, pasti selalu menghilang. Coba aja kalau gue nggak butuh, dia pasti ada di hadapan mata gue!"
Ananta terus mendumel dan mendudukkan dirinya di bibir kasur. Ia merasa lelah dan memutukan untuk menyerah saja. "Nggak usah pakai ikat pinggang aja, deh, kalau gitu." Kemudian, Ananta meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, lalu mengirim pesan untuk seseorang.
Bang? Lo jadi temani gue nggak?
Sebenarnya bisa saja Ananta menghampiri Svarga yang berada di kamarnya, namun Ananta terlalu malas untuk itu. Ia lebih suka mengirimkan pesan daripada harus masuk ke dalam kamar abangnya itu. Bisa-bisanya ia diamuk lagi seperti beberapa minggu lalu. Saat itu, Ananta tidak sengaja masuk ke dalam kamar Svarga, dan langsung diberi ucapan makian oleh lelaki tersebut.
Tidak mendapat balasan, membuat Ananta mengembuskan napas pelan. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan keluar menghampiri Svarga yang berada di kamarnya. Lagi-lagi embusan pelan terdengar. Ananta mencoba untuk menenangkan dirinya ketika sudah sampai di pintu.
"Bang! Lo di dalam, kan? Lo jadi temani gue nggak?" teriak Ananta sambil mengetuk pintu.
"Bang!?"
"Lo di dalam?" Ananta menggaruk rambutnya frustasi. Bagaimana bisa Svarga melanggar janjinya sendiri?
Dengan wajah cemberut, Ananta berjalan pergi meninggalkan kamar Svarga yang tertutup rapat. Ia tidak berhenti mendumel karena kesal dan merajuk dengan cowok itu.
"Pasti anak itu nongkrong bareng teman-temannya. Memang nggak pantas diharap," dumel Ananta berjalan menuruni tangga. Bahkan, wajah yang mulanya cantik karena senyum yang terpancar indah, kini berubah menjadi masam. "Gue pesan taxi aja kalau gitu."
"Adek, mau ke mana?" Suara bariton itu membuat Ananta menolehkan kepala, menatap sang ayah yang duduk di depan televisi dengan sebuah koran di tangannya.
"Ayah udah pulang?" tanya Ananta sedikit kaget.
Biasanya Rezal akan pulang larut malam bahkan sampai tidak pulang. Tetapi hari ini, Rezal benar-benar pulang cepat yang membuat Ananta kebingungan sendiri.
"Sudah," jawab Rezal, membenarkan letak kacamatanya. "Bagaimana sekolah kamu? Nggak ada masalah?" tanyanya lagi.
"Aman, Yah. Kayak biasa," jawab Ananta, "Kalau gitu Ana mau pergi ke luar dulu, Yah. Mau nambah stock buku untuk belajar, sekalian alat tulis lainnya."
"Kamu pergi sendiri?" tanya Rezal lagi.
Ananta menggeleng singkat. "Agaknya ditemani bang Svarga, tapi dia menghilang entah ke mana." Ananta menunjukkan raut kesalnya, mengepalkan kedua tangannya. Kemudian, matanya tidak sengaja menangkap sebuah benda panjang yang tergeletak di sebelah Rezal. "Yah, itu bukannya ikat pinggang Ana? Kok bisa sama Ayah?"
Rezal melirikkan matanya, menatap ikat pinggang yang berada di sampingnya. "Tadi Ayah ambil dari kamar kamu."
Ananta mengerutkan alisnya. "Untuk apa, Yah?"
"Hukum Svarga."
Jawaban ayahnya sukses membuat bola mata Ananta melebar sempurna. Apakah ayahnya tidak tahu kalau Svarga sedari kecil sangat takut dengan ikat pinggang sehingga membuat karakter baru di dalam tubuhnya?
Ananta dengan bergegas berlari menaiki tangga dan mengetuk pintu kamar Svarga dengan keras. Ia terus memanggil nama cowok itu berulang kali berharap cowok itu mau untuk membuka pintu.
"Bang! Bang Svarga, buka pintunya!"
Tidak mendapat jawaban, membuat Ananta membuka knop pintu kamar Svarga yang kebetulan tidak dikunci. Matanya menangkap sosok Svarga yang tengah membaluti dirinya dengan selimut tebal miliknya. Dengan raut panik, Ananta mendekati Svarga.
"Bang, are you okay?" tanya Ananta hati-hati, mencoba menyingkap selimut yang menutupi wajah Svarga.
Svarga tidak bergeming sama sekali. Cowok itu masih memejamkan matanya, seolah tidak ada yang boleh mengganggunya. Bekasan merah di pipi Svarga terlihat sangat jelas di netra Ananta. Ananta menyentuh pipi Svarga dengan lembut, kemudian memejamkan mata ikut merasakan apa yang dirasakan kakak laki-lakinya tersebut.
"Bang, sakit, ya?" gumam Ananta pelan. "Maaf, Adek telat datang." Lalu, Ananta mendekatkan badannya di badan Svarga lalu mendekapnya erat, seolah takut kehilangan Svarga.
Hanya Svarga orang yang paling penting di hidupnya. Meskipun, ia dan Svarga sering bertengkar setiap harinya, percayalah, rasa sayang itu teramat besar. Svarga adalah sosok ayah beserta ibu baginya. Dengan Svarga, ia bisa merasakan kehadiran bundanya yang sudah lebih dulu menghadap Tuhan.
Kalau ada yang bertanya, apa yang paling Ananta banggakan di dunia ini, jawabannya adalah Svarga. Dengan lantang dan penuh tekad, ia akan menjawab Svarga-lah orangnya. Manusia sempurna dengan segudang luka di dalam dirinya yang tidak diketahui orang lain.
Orang-orang hanya melihatnya sempurna dari luar, tanpa melihat apa yang sebenarnya dirasakan cowok itu dari dalam. Ia merasa ingin bebas dari kata sempurna yang tidak habisnya. Jika orang lain menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya, maka Svarga tidak. Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri, tanpa harus terkekang hebat untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Tiba-tiba, Svarga membuka matanya. Ia sedikit menegakkan kepalanya, menatap Ananta yang tengah mendekapnya. "Kakak ngapain di sini?" Svarga mengerjapkan kedua matanya, sangat lucu.
Ananta merasa ada yang berbeda. Ia tidak merasakan kehadiran Svarga, melainkan sosok lain yang tinggal dalam tubuh Svarga sudah empat tahun lamanya. Dia adalah sosok anak kecil berusia lima tahun, yang dikenal dengan Arutala Cio Kusuma.
"Kakak!" panggil Arutala, mengagetkan Ananta.
Ananta semakin deras meluncurkan air matanya. Ia lagi-lagi tidak bisa menahan kesedihannya. Kenapa hal tersebut harus terjadi kepada kakak laki-lakinya? Kenapa orang sekuat Svarga harus menghadapi kepribadian ganda dalam hidupnya?
Mari kita bahas sedikit tentang Kepribadian ganda!
Kepribadian ganda atau DID (Dissociative identity disorder) adalah kondisi di mana satu orang punya dua atau lebih kepribadian yang berbeda dalam dirinya. Jadi, kayak ada 'beberapa versi diri' yang bisa muncul bergantian, tergantung situasi atau pemicunya. Biasanya ini terjadi karena trauma berat di masa kecil, jadi otak bikin mekanisme pertahanan sendiri biar bisa bertahan.
Setiap kepribadian bisa punya cara bicara, sifat, bahkan ingatan yang beda. Kadang orang yang mengalami ini bisa lupa apa yang dilakukan saat kepribadian lain yang 'aktif' Itu sebabnya sering dikira kayak 'kehilangan waktu'.
"Kak, Tala pengen main di playground. Tala pengen naik ayunan dan perosotan. Ayo, Kak! Ajak Tala ke sana!" rengek Arutala, memegang jari jemari Ananta.
Ananta menggigit bibir bawahnya. Ia takut harus berbuat apa. Situasi sedang tidak aman untuk mengajak Svarga keluar. Ayahnya sedang berada di rumah, dan hal tersebut bisa memperparah keadaan. Ayahnya pasti tidak akan peduli dengan kelainan yang dialami Svarga, dan menganggap Svarga gila dan memiliki penyakit mental. Ananta tidak ingin ayahnya membawa Svarga jauh darinya.
Ananta mengelus kepala Arutala dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Arutala memejamkan mata, merasakan kehangatan dari sentuhan lembut Ananta. Sesuatu yang tidak pernah Svarga dapatkan semasa hidupnya, kini bisa dirasakan oleh Arutala.
"Tala, hari ini kita mainnya di rumah aja, ya. Cuaca lagi nggak baik, nanti Tala sakit," bujuk Ananta.
Arutala menggeleng. "Nggak mau. Tala pengen main!"
"Tala tidur dulu, ya? Nanti setelah bangun, kita main. Okey?" Lagi-lagi Ananta mencoba membujuk Arutala yang semakin merengek. "Kakak janji. Nanti Kakak beliin Tala ice cream yang banyak."
Mata Arutala membinar mendengarnya. "Beneran ya, Kak? Kakak nggak bohong, kan?"
"Enggak, Sayang. Sekarang Tala tidur dulu," titah Ananta. Arutala menurut dan kembali memejamkan kedua matanya. Detik berikutnya, ia kembali membuka matanya, serasa ada yang kurang. "Kenapa, Tala?"
"Boneka teddy bear Tala mana?" tanyanya.
Ananta menepuk jidatnya sendiri. Hampir saja ia melupakan boneka beruang coklat kesukaan Arutala itu. Ananta turun dari ranjang dan mencari-cari letak boneka tersebut. Tetapi, ia sama sekali tidak menemukannya. Di manakah ia meletakan boneka itu terakhir kali Svarga kambuh seperti ini?
Ah, Ananta ingat sekarang. Ia meletakkan boneka itu di kursi ruang keluarga, tempat ayahnya duduk tadi. Dengan terpaksa, Ananta keluar kamar dan menghampiri ayahnya yang masih stay membaca koran di sana.
Melihat kedatangan putrinya, membuat Rezal menghentikan bacaannya sejenak, "adek, nggak jadi pergi?" tanyanya, ketika melihat Ananta masih berada di rumah.
"Nggak, Ayah. Lain kali aja, Ana lupa kalau masih ada tugas yang harus dikerjakan," jawab Ananta beralibi. Ananta mengambil boneka teddy bear coklat yang berada tepat di samping ayahnya lalu kembali ke kamar Svarga.
Rezal hanya menggeleng-gelengkan kepala mengamati pergerakan anak bungsunya itu. Lalu pria itu kembali fokus pada bacaannya.
Di kamar, Ananta memberikan boneka itu kepada Arutala. Arutala menerimanya dengan senang dan memeluk boneka itu. Sebelum memejamkan mata, Arutala sempat memberikan Ananta kata-kata manis beserta pujian, yang membuat Ananta tersipu malu.
"Tala tidur, ya. Bangunin dulu bang Svarga, karena Nanta masih sangat membutuhkannya."
TBC
Jadi guys, Arutala tuh bakal muncul apabila Svarga merasa ketakutan melihat dan dipukul oleh ikat pinggang.
Paham, kan?
Jadi, jangan heran ya kalau semisalnya Svarga dipukul dan melihat ikat pinggang, Arutala bakal bangun.
Tau nggak sih?
Aku excited banget kalau nulis cerita ini. Nggak tau kenapa:(
Rasanya senang banget aja gitu
See you in next chapter yaa
Beri kesan dan pesan pada bab ini🌷🌼
***
Bonuss foto Svarga😋
SECAKEP INI, MASA DISIKSA SIH?
***
Si mungil Ananta😖
***
Anak-anaknya bapak Rezal, cakepnya nggak pakai main wirr 😝