502. Aku kembali membuka pintu apartemen ini dan seketika kenangan yang pernah terlalui tiba-tiba saja terputar kembali.
Di tempat inilah cerita hebat yang luar biasa ini bermula. Tawa, tangis, rasa takut, dan cinta. Itu sebabnya aku tidak mau untuk melepaskannya.
Unit ini baru saja dibersihkan karena keadaannya sedikit kacau saat aku tinggalkan dulu. Aku sengaja menyuruh orang untuk membersihkannya kemarin. Aku tidak ingin membawa Joohyun kesini dalam keadaan kacau, dia bisa bersin-bersin sepanjang hari karena debu yang beterbangan. Itulah mengapa aku baru membawanya hari ini.
Aku tersenyum kecil saat melihat ayah Joohyun yang begitu antusias melihat kerajinanku yang terpajang di rak, hanya ada beberapa yang utuh karena kebanyakan telah rusak akibat ulah Jihoon.
Aku memutuskan untuk kembali membuat kerajinan dan keluar dari perusahaan. Meski ayahku terlihat tidak suka, namun dia tidak melarangku atau mengucapkan apa pun, dia hanya diam dan membiarkanku keluar dari perusahaan. Mungkin dia sudah lelah denganku, dan mungkin dia sudah menganggapku bukanlah anaknya lagi.
Atensiku beralih pada Joohyun yang baru saja duduk di sofa dan menghela napas kecil. Dia mungkin lelah setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit menggunakan mobil.
Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam tas lalu memberikannya pada Joohyun dan duduk di sampingnya.
“Terima kasih,” ucapnya lalu meneguk air minum itu beberapa kali. Setelah selesai, aku mengambil kembali botol itu dan menghabiskan sisa airnya.
“Kau ingin makan apa?” tanyaku.
“Kau tidak akan memperbolehkanku jika aku ingin memakan ramyeon.”
“Tentu saja.”
“Itu sebabnya aku tidak akan meminta. Aku akan memakan apa pun yang kau berikan.”
Aku terkikik kecil, “Baiklah. Sepertinya aku butuh bantuan ayahmu untuk memasak. Kau istirahat saja hm? Kalau perlu pindahlah ke kamar.”
Joohyun menggeleng, “Aku ingin di sini saja, melihat kalian.”
“Geurae,” aku mengusap kepalanya lalu bangkit, “Paman, aku butuh bantuanmu. Ayo kita memasak sesuatu.”
“Ne!” Ayah Joohyun mengangguk antusias, “Aku, Aku pandai memasak, eo. Aku akan membantumu, Seulgi. Ayo memasak, ayo memasak,” Dia berlari sambil melompat kecil ketika mengikuti langkahku menuju dapur.
Kami berkutat di dapur sementara Joohyun tetap berada di sofa, aku tidak mungkin membiarkan dia kelelahan. Joohyun hanya boleh menonton kami saja, tidak boleh mengerjakan apa pun. Katakan saja jika aku adalah orang yang protektif, kenyataannya memang seperti itu.
“Aa-apa, apa Seulgi menyukai putriku?”
Tiba-tiba saja ayah Joohyun bertanya ketika dia sedang memotong sayuran. Apa yang dia ucapkan membuat tubuhku berhenti bergerak dan menatapnya.
“Aku... aku ingin menjadi teman yang baik untuknya,” ucapku sedikit gugup.
Ayah Joohyun tersenyum, “Terima kasih, karena sudah baik pada putriku. Apa kau juga menyukai bayi kecil?”
“Tentu saja,” jawabku dengan senyuman, kembali mengerjakan tugasku yang sedang mencuci bahan makanan.
“Aku... aku senang sekali melihat putriku tersenyum dan tertawa, Seulgi adalah teman yang baik,” lanjutnya membuatku semakin tersenyum dan mengangguk sopan, “Aku tidak mau melihat putriku terluka lagi, atau masuk ke rumah sakit lagi, jadi tolong bantu aku untuk menjaganya. Aku ayah yang payah, aku butuh bantuanmu. Aku tidak percaya orang lain lagi.”
Aku menggeleng, “Kau adalah ayah yang hebat, paman. Jangan khawatir, aku akan membantumu untuk menjaganya. Menjaga Joohyun dan bayi kecil.”
Ayah Joohyun tersenyum lebar, “Terima kasih! Seulgi memang keren!” Dia menunjukkan dua ibu jarinya hingga membuatku terkekeh geli.
Beberapa menit kemudian, makanan yang kami masak akhirnya matang juga. Biasanya hanya ada aku dan Joohyun di meja makan ini, kehadiran ayah Joohyun memberikan kesan tersendiri, pria itu mampu membuat suasana menjadi hangat karena tingkahnya. Hingga momen makan bersama ini tidak terasa canggung atau dingin.
“Jj-joohyun-ah, Seulgi mengatakan bahwa dia menyukaimu. Apa, apa kau juga menyukainya?”
Pertanyaan antusias dari Ayah Joohyun membuat suasana tiba-tiba menjadi senyap, aku terdiam karena malu, sedangkan Joohyun terdiam mungkin karena tidak menyangka ayahnya akan menanyakan hal tersebut.
Sampai akhirnya Joohyun mengangguk kecil, “Aku menyukainya. Dia sangat manis, dan hangat. Seulgi juga sangat baik dan perhatian,” ucapnya seraya tersenyum sedikit malu ke arahku. Karena kami duduk berhadapan, tentu saja dia tidak bisa lepas dari pandanganku.
Setelah itu Ayah Joohyun bertepuk tangan dengan meriah. Dia tersenyum hingga kedua matanya tidak terlihat, tertutup oleh kelopak matanya.
“Ternyata benar! Kalian berdua, kalian berdua saling menyukai. Itu sebabnya kalian berciuman tadi malam.”
Aku langsung tersedak dengan makanan yang ada di dalam mulutku sementara Joohyun membulatkan matanya.
Ayah Joohyun malah terkikik, menyatukan ujung-ujung jarinya yang seperti paruh ayam itu hingga membuat gestur seperti orang yang sedang berciuman.
“Appa,” tegur Joohyun dengan pelan lalu memberikanku segelas air.
“Appa melihat kalian uuuuu..” pria itu kembali membuat gestur orang berciuman menggunakan kedua tangannya.
“Appa, hentikan. Kita sedang makan. Tidak baik mengatakan hal seperti itu,” ucap Joohyun, wajahnya terlihat memerah. Mungkin aku juga sama.
“Benar! Kita harus makan dengan tenang.” Seru ayah Joohyun. Dia lalu menaruh lauk ke atas piringku, “Ayo Seulgi, makan yang banyak.”
Aku menatap bingung ke arah Joohyun lalu kami tertawa kecil. Melanjutkan sesi makan bersama yang penuh dengan warna ini.
Melihat Ayah Joohyun yang antusias dan mendukung kebersamaanku dengan putrinya, membuatku merasa lega. Mungkin aku tidak perlu menutupi perasaanku untuk Joohyun, karena ayahnya tidak keberatan jika aku dekat dengan putrinya. Sangat berbeda dengan ayahku sendiri.
~
Tidak terasa, malam pun datang. Aku melihat Ayah Joohyun sedang menyiapkan bantal dan selimut di sofa yang ada di ruang tengah.
“Paman, kau bisa tidur dengan Joohyun di kamar. Atau menggunakan matras tidur. Aku juga memiliki sleeping bag jika paman mau menggunakannya.”
“Anniya, anniya. Aku akan tidur di sini. Aku menyukai sofa.”
Joohyun datang dan menyentuh bahuku dengan lembut, “Biarkan saja, meskipun berada di rumah, Appa akan tidur di sofa. Sebaiknya kita tidur.” Dia menggenggam tanganku.
“Selamat malam Appa.”
“Selamat malam Joohyun! Selamat malam Seulgi! Mimpi indah!” Balas pria itu dengan tubuh sudah terbungkus dengan selimut, hanya menyisakan wajahnya saja.
Sementara itu aku mengikuti langkah Joohyun yang menggenggam tanganku, membawaku ke kamar lalu naik ke atas ranjang.
“Kenapa ayahmu senang sekali tidur di sofa?” tanyaku saat Joohyun menata bantal.
“Sebelumnya aku sudah pernah bercerita, aku dan ibuku berada di Seoul. Aku di sana untuk kuliah dan ibuku bekerja. Sejak kami pindah, ayahku selalu tidur di sofa, menunggu kami pulang. Hingga akhirnya itu menjadi kebiasaannya dan menjadi kesukaannya.”
Ucapannya membuatku terdiam, tiba-tiba saja merasakan sedih. Pasti keluarga ini sangat sedih ketika ditinggalkan sosok ibu, karena aku juga pernah mengalaminya.
“Kau terlihat sedih, apa aku mengingatkanmu pada ibumu?” Joohyun tampak khawatir.
Aku tersenyum kecil dan menggeleng, “Tidak apa-apa. Kau juga pasti merindukan ibumu.”
Joohyun mengangguk. Dia menghela napas dengan tersenyum lalu membawa tubuhnya untuk berbaring. Aku menaikkan selimut hingga ke bahunya, menatap matanya dengan cinta.
“Kita masih bisa bertemu mereka dalam mimpi. Mereka pasti baik-baik saja di dunia yang baru,” ucapku lalu menunduk dan mengecup keningnya.
Joohyun menahan leherku lalu menatapku dengan kerlingan mata yang sangat aku sukai. “Aku harap mereka bertemu, dan mengetahui jika putri mereka juga hidup dengan baik.”
“Dan saling mencintai.”
Joohyun ikut tersenyum sepertiku, lalu menarik tengkuk leherku dengan pelan dan menyatukan bibirnya padaku. Sebuah ciuman lembut atas dasar cinta yang tulus, tidak ada yang lain.
“Wa! Kalian berciuman lagi!”
Aku terkejut sampai terduduk ketika tiba-tiba saja ayah Joohyun membuka pintu dan berteriak dengan antusias. Bahkan sekarang sedang tertawa dengan sangat senang. Mengusap perutnya yang memang sedikit bulat.
“Appa~ tidak boleh seperti itu!” Joohyun merengek dengan sangat kesal. Membuat ayahnya berhenti tertawa walau terasa sulit.
“Baiklah, baiklah. Appa tidak akan mengganggu.” Pria itu kembali keluar dan menutup pintu.
Walaupun setelah itu beberapa kali mengintip melalui pintu yang terbuka, dia melakukannya selama beberapa detik sekali.
Joohyun menghela napas lelah sementara aku terkekeh kecil.
“Sepertinya aku harus mengunci pintu,” bisikku pelan.
“Aku hanya ingin tidur sambil memelukmu. Biarkan saja. Tidurlah sini.”
Aku menurut, walau masih dengan senyuman geli. Tidur di sampingnya seraya memeluknya dengan hangat, seperti yang sering kami lakukan jika tidur bersama.
~
Satu bulan kemudian, Joohyun telah resmi bercerai dengan Jihoon. Namun bukan itu hal yang paling penting.
[Kepala kepolisian provinsi Seoul, Kim Ilgwang, resmi ditahan setelah terbukti membantu jaringan kejahatan dalam menyelundupkan narkotika dan senjata ilegal. Ilgwang diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat karena pelanggaran kode etik, serta mendapatkan ganjaran hukuman mati. Berita ini sangat mengejutkan semua pihak karena sebelumnya anaknya juga yang bernama Kim Jihoon resmi dijadikan tersangka dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, sabotase perusahaan, pelanggran privasi, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Kim Jihoon sendiri dituntut dengan pasal berlapis hingga membuatnya mendapatkan hukuman lima belas tahun penjara]
Berita itu menjadi trending topik di semua situs dan menjadi buah bibir di masyarakat. Aku rasa, itu adalah ganjaran yang sangat pantas untuk mereka. Tidak semua yang berkuasa akan menang, pada akhirnya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.
“Seulgi-ah..”
Atensiku yang semula berada pada laptop dan berita yang kubaca, kini beralih pada Joohyun yang tiba-tiba saja datang dengan suara yang membuatku gemas.
“Ada apa?” tanyaku sedikit tersenyum. Perutnya yang semakin besar itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
“Aku ingin es krim.”
Sebenarnya aku tidak masalah dengan apa yang dia inginkan, tapi ketika melihat jam yang menunjukkan pukul satu dini hari, permintaannya membuatku menggelengkan kepala.
“Aku akan membelikanmu es krim, tapi besok saja ya?” ucapku lalu menutup laptop. Mengisi cangkirku dengan air lalu meminumnya sembari melihat wajah Joohyun yang menekuk ke bawah, merasa kecewa.
“Sekarang sudah malam.” Aku beranjak menuju wastafel, mencuci cangkirku sesaat. Aku memang menghabiskan waktuku untuk mengecek pesanan di dapur, karena ayah Joohyun sudah tertidur di sofa, aku tidak mau membuatnya terganggu dengan suara ketikan ku. Dan sebenarnya Joohyun juga sudah tertidur di kamar, sampai akhirnya terbangun dengan keinginan mendadak ini.
Ucapanku tidak membuat Joohyun goyah, dia tetap berdiri dan memasang wajah kecewanya.
Setelah menaruh cangkir ini, aku menghampirinya dengan senyuman. Berlutut di hadapannya lalu mengecup perutnya yang terhalang baju tidur.
“Besok saja ya? Aku akan memberimu es krim yang sangaaaat banyak hingga kau puas.”
“Dia kecewa,” ucap Joohyun dengan suara kecil.
Aku kembali bangkit menatapnya. Mencolek ujung hidung mungilnya dengan gemas. “Waktunya tidur. Kau harus istirahat.” Aku menggiring bahunya untuk kembali ke kamar.
Joohyun masih cemberut meski sudah kembali berbaring. Dia bahkan enggan menatapku. Aku harus menemukan cara untuk membujuknya.
“Aku pasti mengabulkan keinginanmu, tapi tidak sekarang. Aku hanya menundanya, bukan menolaknya,” ucapku lalu mengecup ujung hidungnya.
Joohyun menghela napas, “Baiklah.” Aku berhasil membuatnya memeluk tubuhku. Hingga akhirnya aku merasa mengantuk karena kehangatan ini.
Namun, setelah beberapa menit aku terlelap, aku merasakan sesuatu mendorong leherku. Aku pikir Joohyun hanya sedang meregangkan tubuhnya karena tertidur, tapi ketika aku merasakan tangannya meremas tanganku dan berbisik di telingaku dengan suara serak, “Seulgi..” aku tahu dia sedang tidak tertidur.
Mataku terbuka hanya setengah, merasakan tanganku yang dia tuntun menuju selangkangannya yang hangat.
“Kenapa?” tanyaku dengan suara serak.
“Bantu aku.” Suaranya terdengar memohon, aku tidak bisa melihat wajah Joohyun yang berada tepat di leherku, tapi aku bisa merasakan napasnya yang hangat menyapa kulitku ketika dia berbicara.
Aku membuka mataku lebih lebar meski akan tetap terlihat kecil, “Kau sedang ingin?” tanyaku pelan.
Dia mengangguk, “Eung.”
“Kau yakin bisa menahan suaramu?”
Joohyun semakin menuntun tanganku untuk menyentuh dirinya di bawah sana.
“Cium aku agar aku tidak bersuara.”
Aku tersenyum, menggerakkan jariku dengan gerakan memutar setelah itu menutup bibir Joohyun yang sudah hendak mengeluarkan alunan merdunya.
~
Pagi telah datang. Joohyun masih berbaring di ranjang meski sudah terbangun, sedangkan aku sudah mandi dan memakai pakaian rapi casual. Wanita itu hanya menatapku dengan tersenyum ketika aku sedang memakai topi dan berkaca.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyaku dengan senyuman.
Joohyun terkekeh kecil, “Kau sangat tampan.”
Ucapannya membuatku berdecih dengan senyuman, “Es krimnya akan kubeli setelah mengantarkan pesanan. Kuharap kau sabar menunggu.”
“Baiklah, tapi sepertinya bayi kecil akan sedikit marah.”
“Sebab terkejut karena apa yang kita lakukan tadi malam?”
“Seulgi.” Mata Joohyun melotot dan membuatku tertawa lepas.
Aku mendekat padanya, lebih tepatnya di hadapan perutnya. “Tunggu sebentar hm? Aku akan membelikan es krim yang banyak dengan rasa yang berbeda.”
Mengecup perut itu sudah seperti sebuah kebiasaan untukku. Dan setelah itu aku pasti akan memberikan ciuman juga untuk Joohyun.
“Hati-hati.”
Aku mengangguk, “Sampai nanti.”
~
Sebisa mungkin aku mengirimkan semua paket ini ke jasa pengiriman dengan cepat setelah itu pergi ke mini market untuk menepati janjiku, membeli es krim yang banyak untuk Joohyun dan bayi kecil. Memikirkannya saja sudah membuatku senang sekali.
Ketika sampai di apartemen, aku melihat Joohyun sedang duduk di meja makan sedangkan Ayah Joohyun sedang melakukan pembakaran kerajinan di balkon. Pria itu terlihat serius sekali, dia memang sangat rajin dan banyak membantuku. Dia juga senang belajar hal-hal baru. Sungguh pribadi yang sangat kusukai.
“Paman! Ayo kita makan es krim dulu! Istirahatlah!” ucapku saat masuk semakin dalam.
“Nn-ne! Sebentar lagi selesai.”
Aku berjalan menghampiri Joohyun dan duduk di hadapannya. Menaruh kantung plastik ini tepat di hadapannya.
“Tada! Aku menepati janjiku. Pilihlah salah satu terlebih dahulu,” ucapku dengan penuh semangat.
Joohyun tersenyum kecil, sangat kecil. Aku tidak melihat ada kesenangan dimatanya. Aku justru melihat kesedihan.
Namun aku menahan diriku untuk bertanya karena hormon wanita hamil memang suka berubah-ubah.
“Terima kasih.” Joohyun mengambil satu es krim dengan rasa stroberi kemudian memakannya.
Sementara itu, aku mengambil es krim dengan rasa pisang. Kami hanya bertatapan dan sibuk menyantap es krim masing-masing. Tapi aku masih belum menemukan kesenangan di wajah Joohyun.
“Apa kau tidak menyukai rasanya? Cobalah milikku,” aku menyodorkan es krim milikku namun Joohyun menggeleng dan mendorong tanganku.
“Aku suka ini, terima kasih.”
Raut wajahnya benar-benar membuatku bingung. Dia seperti sedang berbohong.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku khawatir.
“Eung, aku baik-baik saja.”
“Tapi-“
“Aku baik-baik saja,” Joohyun menegaskan ucapannya lalu maniknya terlihat berkaca-kaca. Dia menaruh es krimnya di atas meja lalu menatapku dengan dalam.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Apa? Katakan saja,” aku begitu khawatir dan panik. Hingga tidak sadar telah menaruh es krim milikku di atas meja juga.
“Aku ingin berterima kasih atas apa yang telah kau lakukan untukku, dan untuk keluargaku. Aku benar-benar berhutang budi padamu. Kau telah memperlakukanku dengan sangat baik. Membuatku tersadar bahwa aku adalah seorang manusia yang memiliki nilai dan layak untuk hidup.”
Dia menggenggam tanganku, “Mengingat apa yang telah kau lakukan padaku membuatku merasa seperti seseorang yang tidak tahu malu. Aku telah merepotkanmu, sangat merepotkanmu-“
“Apa yang kau bicarakan? Aku-“
“Aku minta maaf. Karena membantuku, kau jadi mendapatkan begitu banyak masalah. Bahkan sampai mengorbankan harga dirimu dan keluargamu.”
“Aku tidak mengerti,” ucapku seraya menggelengkan kepala.
“Aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Sudah saatnya bagiku untuk melanjutkan hidupku sendiri, tanpa ada campur tangan darimu.”
Kedua mataku membulat, “Joohyun, kau-“
“Aku akan pergi dari sini, dari hidupmu. Selamanya. Aku tidak ingin terus menerus membebanimu.”
“Kau tidak membuatku merasa terbebani,” ucapku dengan cepat , “ Jangan berpikir seperti itu-“
“Tapi aku tetap harus pergi dari hidupmu. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku tidak layak hidup bersamamu. Kau pantas hidup bersama orang lain yang lebih baik dariku.”
Joohyun menyodorkan sebuah amplop besar tepat di hadapanku. Aku terkejut ketika melihat tumpukan uang di dalam sana.
“Apa-“
“Aku ingin mengembalikan semua yang telah kau berikan padaku.”
“Biarkan aku berbicara!” ucapku dengan nada yang sedikit naik. Merasa sangat kesal dengan apa yang telah dia katakan. Sementara itu Joohyun terdiam dan menatapku tanpa ekspresi, matanya masih berkaca-kaca.
“Aku tidak pernah merasa keberatan karena aku mencintaimu. Kau tahu itu kan? Kau juga mencintaiku, itu yang kau katakan. Kita bahkan baik-baik saja pagi ini. Kenapa tiba-tiba kau mengatakan hal seperti itu?”
Joohyun menggeleng, “Aku akan pergi dari hidupmu. Aku sudah mengutuskan.”
“Apa aku melakukan kesalahan? Maafkan aku. Aku akan berusaha menjadi lebih baik lagi. Tolong jangan pergi.”
Satu tetes air mata turun membasahi pipi Joohyun. Dia menggeleng beberapa kali, “Tidak ada yang salah darimu. Aku hanya memutuskan untuk pergi.”
“Kenapa? Apa alasannya? Katakan padaku agar aku mengerti.”
“Aku tidak pernah mencintaimu, itu hanya sebuah kebohongan agar aku bisa lolos dari Jihoon. Aku hanya memperalatmu agar aku bisa pergi darinya, Seulgi. Kau hanya kujadikan sebagai alat. Aku tidak mencintaimu. Aku tidak mencintai seorang wanita.” Air mata yang lain berhasil lolos melewati kelopak matanya.
Lebih dari itu, aku tidak bisa mengeluarkan air mataku. Hatiku terasa sangat sakit seolah sesuatu baru saja mengoyaknya dan menciptakan luka yang begitu dalam. Lebih dalam dari luka sebelumnya.
“Benarkah... seperti itu?” bibirku bergetar, suaraku terdengar lemas.
Joohyun menghapus air matanya dan mengangguk dengan yakin. “Maafkan aku. Kau hanya kujadikan sebagai alat. Aku tidak bisa berpura-pura mencintaimu lagi. Aku akan hidup tanpamu, kau juga harus hidup tanpaku. Carilah seseorang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus.”
“Kau tidak sedang berbohong? Lelucon ini tidak lucu Joohyun.” Aku menatap matanya dengan dalam, mencari kebohongan di sana, namun dia segera bangkit dari kursinya.
“Aku tidak sedang bercanda. Aku sedang bersungguh-sungguh. Aku tidak mencintaimu, Seulgi. Apa itu kurang jelas? Apa aku harus mengatakan hal itu lagi? Aku tidak-“
“Cukup,” ucapku pelan. Menarik pandanganku darinya, aku tidak ingin melihat wajahnya, itu membuat hatiku terasa semakin sakit.
“Pergilah. Jangan kembali lagi di hadapanku. Hiduplah dengan layak sesuai dengan keinginanmu. Pergilah dari sini.” Aku sudah tidak memiliki tenaga. Mengatakan kalimat itu dengan suara lemah yang bergetar.
“Maafkan aku Seulgi-ah.”
Aku tidak ingin mendengar ucapan apa pun dari Joohyun. Aku memilih untuk pergi dari apartemen itu. Berjalan tanpa tenaga ke sebuah tangga darurat. Duduk disalah satu anak tangga dan menyandarkan kepalaku di sana. Barulah saat itu air mataku keluar. Bersama dengan rasa sakit di hatiku yang terasa begitu nyata. Seperti tertusuk tombak yang berkarat. Membunuhku secara perlahan.
Tidak tahu berapa lama aku menangis di sana. Aku merasa bingung harus bagaimana. Harus pergi ke mana. Sementara kedua rumah yang kumiliki sudah hancur. Hancur hingga aku tidak bisa merasakan apa pun lagi.
Terasa sangat berat untuk kembali ke apartemen itu, aku takut Joohyun benar-benar tidak ada di sana. Namun hati ini masih berharap wanita itu ada di sana, meminta maaf dan menyesali perkataannya.
Tapi ketika kembali ke sana, aku menyesal telah membuka pintu itu kembali. Karena Joohyun dan ayahnya telah benar-benar pergi. Meninggalkanku bersama kesunyian yang menggantikan kebahagiaan. Begitu cepat, tanpa ada persiapan. Hingga aku merasa begitu terpukul dan terpuruk.
Bahkan ketika aku menusuk perutku dengan pisau, yang kurasakan hanya rasa sakit dihatiku.
.
.
Stay tuned for more 》