Tanpa diduga ternyata Rora tahu Asa di Tempat pharita dan Ruka,
Rora dengan mantap menyusul asa kesana.
Asa menatap Rora yang berdiri di depan pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pharita dan Ruka hanya bisa saling pandang sebelum akhirnya Ruka berjalan mendekat dan berdiri di samping Asa, seolah memberi dukungan diam-diam.
"Asa, kita bisa bicara?" suara Rora terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seakan takut Asa akan langsung menolaknya.
Asa tidak langsung menjawab. Sorot matanya tajam, tetapi bukan karena marah lebih ke lelah. Lelah menghadapi situasi yang sudah ia coba tinggalkan.
"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," jawab Asa akhirnya, suaranya datar.
Rora menggigit bibirnya, lalu melangkah masuk tanpa menunggu izin, melewati Pharita yang masih berdiri di ambang pintu. "Tolong... beri aku kesempatan menjelaskan," ujarnya, tatapannya penuh dengan emosi yang sulit diartikan.
"Asa sudah cukup terluka, Rora," kata Pharita, mencoba menghentikan Rora.
"Tapi aku tidak pernah berniat menyakitinya!" suara Rora sedikit meninggi. "Aku tahu aku salah, aku mengakuinya. Tapi aku mencintaimu, Asa. Aku sungguh mencintaimu."
Asa tertawa kecil, tapi tawa itu tidak mengandung kebahagiaan sama sekali. "Mencintaiku?" Asa mengulang kata itu seakan terdengar asing. "Kau menyebut itu cinta setelah semua yang kau lakukan?"
"Aku hanya... Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapinya," Rora mengusap wajahnya frustasi. "Aku takut kehilanganmu, tapi di saat yang sama, aku juga takut menghadapi kenyataan kalau aku butuh hal itu"
Asa terdiam. Ia tahu Rora selalu punya masalah dengan dirinya sendiri, dengan bagaimana ia melihat hubungannya dengan Asa. Tapi apakah itu cukup sebagai alasan untuk menyakiti seseorang yang tulus mencintainya?
"Kau sudah kehilangan aku, Rora," ucap Asa akhirnya, suaranya begitu pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening.
Mata Rora berkaca-kaca. "Tidak, tidak. Aku tidak bisa..." Dia menggelengkan kepala, mendekati Asa dan berusaha meraih tangannya, tetapi Asa mundur selangkah.
"Kita sudah berakhir," lanjut Asa, menatap mata Rora dengan penuh kepastian. "Aku sudah cukup bodoh bertahan selama tiga tahun, berharap kau akan berubah. Aku sudah cukup sakit."
Rora menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku bisa berubah. Aku akan berubah. Aku mohon, Asa..."
Pharita dan Ruka hanya diam, menahan napas, tidak ingin mengintervensi meskipun mereka tahu ini akan sulit bagi Asa.
Asa menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak bisa lagi, Rora," ujarnya lirih. "Aku ingin hidupku tenang. Tanpa kebohongan, tanpa rasa sakit, tanpa harus terus bertanya-tanya kapan aku akan disakiti lagi."
Rora menunduk, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Jadi ini benar-benar akhir?" suaranya hampir tidak terdengar.
Asa tidak menjawab. Tapi diamnya adalah jawaban.
Setelah beberapa saat, Rora akhirnya menghela napas panjang, menahan air matanya dengan susah payah. Dia menatap Asa sekali lagi, seolah ingin menghafal wajahnya, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar.
Saat pintu tertutup, keheningan melingkupi ruangan. Asa menutup mata sejenak, merasakan perasaan campur aduk dalam dirinya.
Pharita menyentuh bahu Asa pelan. "Kau baik-baik saja?"
Asa membuka matanya, tersenyum kecil meskipun senyum itu tidak sepenuhnya cerah. "Ya," jawabnya pelan. "Akhirnya."
Asa bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Hujan tipis mulai turun di luar, membiaskan cahaya lampu jalan yang berpendar di trotoar basah. Pharita dan Ruka tetap diam di sekitarnya, tidak ingin mengganggu, memberi Asa ruang untuk mencerna semua yang baru saja terjadi.
Untuk pertama kalinya, Asa merasa benar-benar berada di ujung sebuah perjalanan panjang.
Di benaknya, kenangan bersama Rora berputar seperti film yang diputar ulang.
Momen-momen pertama mereka di Paris ketika Rora menarik tangannya dengan semangat, mengajaknya berkeliling kota seperti turis yang jatuh cinta pada setiap sudut jalan. Asa ingat bagaimana Rora dulu menatapnya dengan kagum, seolah Asa adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.
"Asa, aku ingin kita seperti ini selamanya," ucap Rora suatu malam di Pont des Arts, di bawah gemerlap lampu kota. Asa masih bisa mengingat bagaimana jari-jari mereka saling bertaut erat saat itu.
Tapi seiring waktu, semua berubah.
Rora mulai berbohong, awalnya tentang hal-hal kecil. "Aku hanya pergi dengan teman," katanya, padahal Asa tahu kebenarannya tidak sesederhana itu. Kemudian kebohongan-kebohongan itu menjadi lebih besar, lebih menyakitkan.
"Asa, aku mencintaimu," suara Rora kembali terngiang di kepalanya sebuah kalimat yang dulu bisa membuat Asa tersenyum, tetapi kini hanya terdengar hampa.
Cinta pertama Asa adalah cinta yang menyakitkan.
"Asa?" suara Pharita membawanya kembali ke realitas.
Asa menghela napas panjang, menutup matanya sesaat sebelum kembali membukanya. "Aku sudah selesai," ucapnya pelan, tetapi tegas.
Pharita dan Ruka saling pandang, seolah ingin memastikan Asa benar-benar yakin dengan kata-katanya.
"Kali ini benar-benar selesai?" Ruka bertanya.
Asa mengangguk. "Aku sudah cukup bertahan. Aku sudah cukup terluka. Aku tidak ingin berada di tempat yang sama lagi."
Dan dengan itu, Asa akhirnya melepaskan sesuatu yang sudah lama seharusnya ia lepaskan.
Pharita menatap Asa dengan ekspresi kaget, sementara Ruka yang duduk di sofa hanya menghela napas pelan.
" mungkin 3 hari lagi aku akan kembali ke Korea setelah mengurus segalanya disini dan pindahan kuliahku" ujar asa
"Secepatnya?" Pharita mengulang kata-kata Asa dengan nada tak percaya. "Kau yakin? Tidak ingin tinggal lebih lama di sini?"
Asa menggeleng pelan. "Tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap di Paris," ucapnya dengan suara tenang. "Aku hanya datang untuk menutup satu bagian dari hidupku, dan sekarang aku sudah melakukannya."
Pharita menggigit bibirnya, terlihat ragu. "Minggu depan aku dan Ruka juga akan kembali ke Korea, karena libur semester ini Lebih awal tapi jika tiga hari lagi kau pulang, kami bisa mempercepat agar kita bisa pulang bersama,kami tidak bisa membiarkan mu pulang sendirian, ?" pharita dengan penuh perhatian
Asa menatap kedua sahabatnya, rasa terima kasih yang mendalam memenuhi hatinya. "Kalian sangat menyayangiku," ujar Asa, suaranya penuh dengan kehangatan.
Pharita tersenyum lembut, sedikit terharu mendengar kata-kata itu. "Tentu saja, Asa. Kita selalu ada untukmu."
Ruka hanya mengangguk sambil tersenyum, meskipun lebih pendiam. "Tidak perlu berterima kasih, kita sahabat."
Asa merasa kehadiran mereka adalah hadiah yang tidak ternilai. Dengan pelan, dia berdiri dan mendekat, memeluk Pharita erat-erat. "Terima kasih banyak, Pharita, Ruka. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kalian."
Pharita merangkul Asa balik, menggenggamnya dengan penuh kasih sayang. "Kami akan selalu ada untukmu, Asa. Apa pun yang terjadi."
Ruka juga ikut memberi dukungan, menepuk pelan punggung Asa. "Kami ini keluarga, jadi jangan ragu untuk selalu mengandalkan kami."
Asa menghela napas dalam-dalam, merasa lebih ringan. "Aku sangat beruntung memiliki kalian."
Pharita menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Aku hanya tidak ingin kau merasa sendirian."
Asa tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tulus. "Aku tidak sendiri. Aku punya kalian, dan aku akan baik-baik saja."
Meskipun ada kesedihan di hati Pharita dan Ruka karena Asa akan segera pergi, mereka tahu ini adalah keputusan yang terbaik untuknya. Dan Asa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa lebih ringan.
.
.
.
flashback off
.
.
.
Asa tidak pernah menyangka bahwa kepulangannya ke Korea akan membawanya ke titik ini berdiri di tengah sebuah acara pertunangan yang meriah, dikelilingi oleh tawa dan kebahagiaan, tanpa sedikit pun bayangan dari masa lalunya.
Saat itu, dia bertemu Ahyeon.
Bukan sebuah pertemuan yang dramatis atau penuh kebetulan seperti dalam film. Ahyeon hanya seseorang yang kebetulan berada di tempat yang sama, seseorang yang seharusnya tidak berarti apa-apa bagi Asa. Tapi ada sesuatu dalam dirinya tatapan mata Ahyeon yang penuh percaya diri, caranya berbicara dengan tenang, senyumnya yang tampak tulus semua itu perlahan menarik perhatian Asa.
Dan tanpa Asa sadari, waktu mulai berjalan dengan cara yang berbeda.
Hari-hari yang dulu terasa berat kini terasa lebih ringan. Tidak ada lagi bayangan Rora yang menghantuinya, tidak ada lagi pertanyaan tentang apakah dia telah mengambil keputusan yang benar. Seiring berjalannya waktu, Asa menyadari satu hal Rora benar-benar telah menjadi bagian dari masa lalu yang tidak lagi perlu ia ingat.
Untuk pertama kalinya, Asa merasa benar-benar lepas.
Dan untuk pertama kalinya juga, Asa mulai menatap seseorang dengan cara yang berbeda. Ahyeon.
Asa tidak pernah benar-benar mengerti apa itu cinta sampai dia bertemu Ahyeon.
Dulu, ia berpikir bahwa cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, meskipun itu berarti bertahan dalam rasa sakit. Ia percaya bahwa semakin sulit mempertahankan seseorang, semakin berharga hubungan itu. Tapi Ahyeon mengajarkan hal yang berbeda.
Cinta seharusnya tidak membuat seseorang merasa lelah. Cinta tidak seharusnya membuat seseorang terus-menerus mempertanyakan dirinya sendiri, bertanya apakah ia cukup baik, cukup berharga, cukup dicintai.
Ahyeon datang seperti angin sejuk di tengah musim panas yang terik. Kehadirannya tenang, tanpa tekanan. Bersamanya, Asa tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna, tidak perlu selalu waspada atau takut kehilangan. Bersama Ahyeon, Asa bisa menjadi dirinya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, Asa mengerti cinta bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan air mata dan luka. Cinta adalah sesuatu yang membuatmu merasa aman, sesuatu yang membuatmu pulang.
Dulu, saat baru berpisah dengan Rora, Asa selalu harus menahan diri agar tidak menghubunginya. Jari-jarinya sering kali melayang di atas layar ponsel, ingin mengetik pesan, ingin sekadar menanyakan kabar. Malam-malam terasa panjang dan sepi, seolah waktu berjalan lambat hanya untuk menyiksanya.
Setiap sudut kota mengingatkannya pada Rora kedai kopi tempat mereka sering bertemu, jalanan yang pernah mereka lalui sambil berpegangan tangan, lagu-lagu yang dulu mereka dengarkan bersama. Asa melewati hari dengan berat, berusaha mengabaikan dorongan untuk kembali, meskipun hatinya masih penuh dengan bayangan Rora.
Tapi sekarang, semuanya berbeda.
Sekarang, Asa sudah bersama Ahyeon. Dan Rora? Ia hanyalah bagian dari masa lalu yang semakin memudar, seperti jejak di pasir yang tersapu ombak.
Asa tidak lagi memikirkan Rora, tidak lagi bertanya-tanya apa yang sedang dia lakukan, apakah dia baik-baik saja, atau apakah dia pernah menyesal. Bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk merindukan Rora.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Asa benar-benar bahagia. Tanpa luka, tanpa penyesalan.
Hanya ada Ahyeon.
.
.
.
.
.
Asa terbangun dengan perasaan bingung, matanya yang masih terasa berat memandang sekeliling ruangan. Jam menunjukkan hampir pukul 9 malam, dan suasana di ruangan Ahyeon tampak sunyi. Asa baru menyadari bahwa dia sudah tertidur begitu lama, dan Ahyeon belum kembali.
Dengan perlahan, Asa bangkit dari tempat sofa, merasa sedikit kaget karena merasa seperti kehilangan jejak waktu. "Ahyeon?" panggilnya pelan, namun tidak ada jawaban. Asa memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangan, mencari-cari ke mana Ahyeon pergi.
Asa melanjutkan pencariannya di lantai tiga, namun hanya beberapa perawat yang berlalu-lalang, sibuk dengan tugas mereka. Tak ada tanda-tanda keberadaan Ahyeon. Asa merasa semakin bingung dan sedikit cemas, tetapi dia juga mulai merasa lelah. Matanya masih terasa mengantuk, dan rasa kantuk itu semakin menguasainya seiring berjalannya waktu.
Akhirnya, Asa memutuskan untuk kembali ke ruangan Ahyeon. "Mungkin dia belum kembali, atau ada sesuatu yang sedang dia kerjakan," pikir Asa dalam hati, meskipun rasa khawatir masih ada di dalam dirinya.
Setibanya di ruangan, Asa duduk di sisi tempat tidur, berusaha menenangkan diri dan meredakan rasa cemasnya. Meski lelah, dia tidak bisa tidur begitu saja. "Aku harus menunggu sedikit lebih lama," gumamnya pelan, matanya mulai terpejam sejenak, berusaha untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin berat.
Namun, Asa tetap terjaga, merasakan ketidakpastian tentang keberadaan Ahyeon yang mengganggu pikirannya.
Asa meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu menekan nomor telepon Ahyeon. Namun, setelah beberapa kali dering, tidak ada jawaban. Asa mencoba menahan cemas yang mulai merayap, merasa semakin khawatir karena Ahyeon tidak merespons.
"Kenapa dia tidak mengangkat?" Asa bertanya dalam hati, sambil menatap layar ponselnya. Dia sempat berpikir untuk mencari Ahyeon di rumah sakit, tetapi pikirannya langsung buntu. "Aku belum terlalu familiar dengan rumah sakit ini, jadi aku tidak tahu harus mencari ke mana," gumam Asa, merasa sedikit bingung.
Rasa cemasnya semakin kuat, dan dia merasa tidak bisa duduk diam lebih lama. Namun, dia juga tidak tahu harus mulai dari mana. Dengan sedikit kebingungan, Asa memutuskan untuk berjalan ke lobi rumah sakit, berharap ada yang bisa membantunya atau memberinya informasi mengenai keberadaan Ahyeon. "Aku harus menemukan dia," pikir Asa, meskipun matanya terasa sangat berat karena rasa kantuk yang masih mengganggunya.
Saat Asa berjalan menuju lobi, dia bertemu dengan Rami yang tampak sedikit terkejut melihatnya masih berada di rumah sakit. "Asa? Kau masih di sini?" tanya Rami dengan nada heran. Asa segera menjelaskan bahwa dia sedang mencari Ahyeon, yang membuat Rami tampak sedikit khawatir.
"Ah, Ahyeon... dia sedang menangani pasien," jawab Rami dengan serius. "Ada operasi mendadak, pasiennya dalam kondisi kritis. Operasi sudah berlangsung sekitar tiga jam, dan mungkin akan memakan waktu hingga delapan jam lebih."
Asa merasa terkejut dan sedikit lega mendengar penjelasan itu. "Jadi... dia sibuk dengan operasi?" tanya Asa, mencoba memahami situasi.
"Iya," jawab Rami, memberi penegasan. "Maaf kalau kamu khawatir, tapi Ahyeon memang sering menangani kasus-kasus kritis seperti ini. Kalau kau ingin menunggu, aku bisa bantu carikan tempat yang nyaman."
Asa mengangguk, merasa sedikit tenang setelah mendapat penjelasan dari Rami. "Terima kasih, Rami. Aku akan menunggu di sini, mungkin sampai operasi selesai."
Rami menatap Asa dengan serius, seolah membaca kecemasan yang terpendam dalam diri Asa. "Asa, kau yakin akan menunggu? Proses operasi mungkin akan sangat lama, karena Ahyeon dan Dr. Chiquita sedang menangani pasien kecelakaan yang kritis." Rami melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, mencoba memberi penjelasan. "Mungkin kau ingin pulang atau istirahat dulu."
Namun, begitu mendengar nama Dr. Chiquita, Asa merasa sedikit tidak nyaman. Nama itu membangkitkan perasaan yang tidak bisa dia jelaskan dengan jelas, meskipun dia tahu bahwa Dr. Chiquita adalah seorang dokter berpengalaman. "Dr. Chiquita?" Asa mengulang, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai muncul.
Rami mengangguk. "Ya, dia Dokter yang berkenalan dengan mu di kafetaria tadi."
Asa sedikit terdiam, merasa ada yang aneh dengan reaksinya terhadap nama itu, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang. "Aku... aku tetap akan menunggu," jawab Asa dengan suara pelan, mencoba menenangkan diri meskipun ada rasa tidak nyaman yang mengganggunya.
Asa menatap Rami dengan tekad, meskipun perasaan cemas masih membayangi dirinya. "Aku akan menunggu," ujar Asa, berusaha terdengar yakin. "Bisakah kau mengantarku ke tempat operasi? Aku akan menunggu di sana, mungkin setidaknya di lantai yang sama."
Rami mengamati Asa sejenak, tampaknya memahami perasaan yang sedang dipendamnya. "Baiklah, aku akan mengantarmu," jawab Rami dengan nada lembut. "Tapi ingat, ruang operasinya sangat terbatas dan tidak boleh ada banyak orang. Aku hanya bisa memastikan kau berada di sekitar sana, tidak lebih."
Asa mengangguk dengan cepat, merasa lebih tenang mendengar respon Rami. "Terima kasih, aku tidak ingin jauh dari tempat itu. Aku hanya ingin menunggu sampai operasi selesai."
Rami tersenyum simpati dan mulai berjalan, memimpin Asa menuju ruang yang lebih dekat dengan area operasi. Asa merasa sedikit lega, meskipun masih terjaga oleh kekhawatiran mengenai kondisi Ahyeon dan pasiennya.
Sesampainya di lantai 5, Asa langsung diarahkan menuju ruang operasi yang dimaksud. Ruangan itu tampak sibuk, dengan beberapa orang yang mungkin adalah keluarga pasien, yang menunggu dengan wajah cemas. Asa merasa sedikit tidak nyaman dengan keramaian itu, namun tetap berusaha tenang.
Dia memilih duduk agak menjauh dari kerumunan, namun matanya tak bisa lepas dari pintu ruang operasi yang terlihat sibuk. Setiap kali ada orang lewat atau ada suara yang terdengar dari dalam, Asa merasa cemas, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.
"Aku harus menunggu di sini," pikir Asa, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Ahyeon pasti akan keluar segera setelah semuanya selesai."
Meski mencoba untuk menenangkan dirinya, Asa tetap tak bisa mengalihkan pandangannya dari pintu itu, merasakan ketegangan yang semakin menguat.
Waktu berlalu begitu lama, hampir 4 jam sejak Asa duduk menunggu dengan cemas. Rasanya waktu berjalan sangat lambat, namun akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Beberapa dokter yang mengenakan pakaian operasi keluar satu per satu, dan keluarga pasien langsung mendekati mereka dengan harapan dan kecemasan yang tergambar jelas di wajah mereka.
Asa memfokuskan pandangannya pada pintu, dan tak lama kemudian, dia melihat Ahyeon keluar dari sana, tepat di belakang Dr. Chiquita. Asa sempat terdiam, merasakan kekhawatiran yang terpendam. Dia tidak langsung menghampiri, memilih untuk memberi ruang bagi para dokter yang sedang menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga yang menunggu dengan cemas.
Ahyeon tampak kelelahan, wajahnya serius namun tetap terlihat tenang. Asa bisa melihat dari jarak jauh bahwa dia sudah selesai dengan operasi tersebut. Hati Asa sedikit lebih tenang, meskipun tetap cemas, menunggu sampai semuanya selesai.
Saat para dokter akhirnya selesai menjelaskan, Ahyeon menoleh ke sekeliling ruangan, dan matanya bertemu dengan mata Asa. Ahyeon terlihat terkejut namun juga sedikit lega melihat Asa di sana. Setelah sejenak diam, Ahyeon berjalan mendekat, meninggalkan Dr. Chiquita yang masih berbicara dengan keluarga pasien.
Asa berdiri, tidak tahu harus berkata apa, tapi hatinya terasa lebih ringan saat melihat Ahyeon dengan selamat keluar dari ruang operasi.
Ahyeon menghampiri Asa dengan langkah perlahan, matanya menunjukkan keheranan sekaligus kelegaan. "Kau di sini, kau menungguku?" tanya Ahyeon, suaranya lembut namun terdengar sedikit kelelahan setelah berjam-jam dalam ruang operasi.
Asa menatap Ahyeon dengan cemas, ingin memastikan apakah semua sudah berakhir. "Apakah semuanya sudah selesai, atau kau masih ada kegiatan lagi?" tanya Asa, suaranya terdengar sedikit khawatir, berharap Ahyeon bisa beristirahat sejenak setelah operasi yang panjang itu.
Ahyeon masih mengenakan pakaian operasi khas dokter, tampak lelah namun merasa lega karena akhirnya operasi selesai. Saat melepaskan jas dokter, dia menoleh pada Asa dan berkata, "Aku sudah selesai. Sekarang aku bisa pulang dan istirahat."
Asa merasa sedikit lega mendengar itu. "Kau pasti sangat lelah," ujarnya dengan lembut, memperhatikan ekspresi Ahyeon yang masih tampak capek meski mencoba tersenyum. "Ayo, kita pulang."
Ahyeon mengangguk, lalu mengatur langkahnya, menyisakan sedikit ruang untuk berbicara dengan Asa. "Terima kasih sudah menunggu," tambah Ahyeon, tampaknya ingin memastikan bahwa Asa merasa dihargai atas kesabarannya menunggu begitu lama.
Asa tersenyum tipis, "Tidak masalah, yang penting kamu baik-baik saja."
Asa tersenyum ringan, merasa sedikit lega saat Ahyeon mengajaknya untuk pulang. "Mari kita pulang," ujar Asa, berharap bisa segera beristirahat bersama setelah penantian panjang itu.
Namun, tiba-tiba Dr. Chiquita yang baru saja selesai berbicara dengan keluarga pasien berjalan menghampiri mereka. Dengan langkah pasti, Dr. Chiquita menyapa Asa dan Ahyeon. "Asa, kamu di sini?" tanyanya dengan nada yang ramah, meskipun ada sedikit keheranan di wajahnya. "Apa yang membuatmu tetap di sini?"
Asa sedikit terkejut, namun segera menjawab dengan tenang, "Aku hanya menunggu Ahyeon. Dia sudah selesai sekarang, jadi kami akan pulang."
"Ahyeon, apakah kamu merasa lelah? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Dr. Chiquita dengan nada yang lembut, seolah benar-benar peduli, sementara tangannya dengan lembut memegang lengan Ahyeon. "Kau sudah sangat lihai dalam menangani pasien. Aku sangat terkesan dengan kemampuanmu."
Dr. Chiquita tampak memberikan perhatian lebih pada Ahyeon di depan Asa, membuat Asa merasa sedikit risih. Setiap kata yang diucapkan Dr. Chiquita terasa seperti pujian berlebih, seolah ingin menunjukkan betapa terkesannya dia dengan kemampuan Ahyeon.
Asa merasakan ketegangan di dadanya. Meski Dr. Chiquita hanya memberikan perhatian pada Ahyeon, ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Asa sedikit tidak nyaman. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalitas dalam interaksi mereka.
Asa mencoba menahan perasaan itu, tapi di dalam hati dia tahu, Dr. Chiquita mungkin memiliki perasaan lebih terhadap Ahyeon.
Dr. Chiquita, setelah memberikan pujian-pujian pada Ahyeon, tampak semakin menunjukkan perhatian berlebih. "Ahyeon, apakah kamu ingin pulang? Atau mungkin perlu aku antar? Sudah sangat malam, sangat berbahaya jika kamu pulang sendiri," tawar Dr. Chiquita dengan nada penuh perhatian, seolah-olah tidak memperhatikan keberadaan Asa yang ada di samping mereka.
Mungkin karena Dr. Chiquita tidak tahu bahwa Asa dan Ahyeon tinggal bersama, sehingga dia tidak menyadari betapa tidak nyamannya Asa mendengar tawaran tersebut. Asa merasa sedikit terpinggirkan, meskipun dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaan cemburu atau ketidaknyamanan yang muncul.
Asa mulai memahami bahwa Dr. Chiquita memang menyukai Ahyeon, terutama setelah melihat perhatian yang berlebih dari dokter itu. Setelah melihat Asa dan Ahyeon berpelukan, Asa merasa Dr. Chiquita pasti sudah sadar bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar teman. Namun, Dr. Chiquita seolah tidak ingin mempersulit keadaan dan memilih untuk tidak menunjukkan perasaan itu secara langsung.
Tapi, Asa tidak bisa diam saja. Dengan tegas, ia menjawab, "Ahyeon akan pulang bersamaku. Dia akan pulang bersama pacarnya, bukan dengan rekan kerja," ujar Asa dengan nada yang penuh keyakinan, meskipun ada perasaan cemas di dalam dirinya.
"Permisi," lanjut Asa, sambil meraih tangan Ahyeon dan menariknya perlahan menjauh dari Dr. Chiquita. Asa merasa perlu meninggalkan situasi itu sebelum ketegangan semakin memuncak. Dengan langkah cepat, mereka akhirnya beranjak dari ruang itu, meninggalkan Dr. Chiquita yang hanya mengamati mereka dari kejauhan, tetap dengan senyum ramah namun jelas ada ketegangan yang tergambar di wajahnya.
Ahyeon terlihat terkejut saat Asa menjawab dengan tegas dan langsung meraih tangannya, tetapi di balik itu, ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Dia tahu, Asa cemburu, dan meskipun itu sedikit mengejutkan, Ahyeon merasa bahagia melihat Asa begitu berani menunjukkan perasaannya.
Ahyeon tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh keberanian Asa, yang biasanya lebih diam dan pendiam dalam situasi seperti ini. "Kau tidak perlu khawatir," kata Ahyeon dengan lembut, mencoba menenangkan Asa, sambil meraih tangannya dengan erat. "Aku hanya ingin pulang bersamamu."
Ahyeon bisa merasakan perubahan dalam sikap Asa, dan meskipun mereka belum banyak bicara, rasa sayang dan kepercayaan mereka semakin kuat.
Sementara Ahyeon dan Asa semakin menjauh, Dr. Chiquita masih berdiri di sana, menatap punggung mereka dengan tatapan yang penuh makna. Setelah beberapa saat, dia membiarkan sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, meskipun ada rasa yang tidak bisa disembunyikan.
"Sekarang dia pacarmu," gumam Dr. Chiquita pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi nanti... akankah begitu?"
Dengan senyuman yang samar, Dr. Chiquita melangkah pergi, seakan sudah tahu bahwa perasaan dan situasi ini belum berakhir begitu saja. Ada sesuatu yang belum selesai, dan meskipun dia tersenyum, matanya menyimpan pertanyaan yang tak terjawab, seiring langkah Asa dan Ahyeon yang semakin jauh.
.
.
.
.
"Kau marah?" Ahyeon akhirnya membuka suara, suaranya terdengar geli, seolah sedang menikmati situasi.
Asa tetap diam, hanya menyalakan mobil tanpa sedikit pun melirik ke arahnya. Rahangnya mengeras, ekspresinya masih sama seperti beberapa menit yang lalu cemberut dan dingin.
Ahyeon tertawa pelan, semakin menyadari bahwa gadis di sebelahnya benar-benar sedang cemburu. Ia sedikit mendekat, lalu dengan nada manja bertanya lagi, "Serius marah? "
Asa akhirnya meliriknya sekilas, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Ahyeon makin gemas, ia mengulurkan tangan, menarik lengan Asa yang sedang menggenggam kemudi. "apa kau cemburu dengan dokter Chiquita?"
Asa menarik napas pelan. "Terserah," gumamnya singkat.
Ahyeon semakin tersenyum lebar. "Benarkah?" tanyanya, suaranya terdengar menggoda.
"Jangan menggodaku, Ahyeon," Asa akhirnya membuka suara lebih jelas, kali ini menoleh ke arahnya dengan tatapan serius.
Ahyeon pura-pura berpikir sebentar. "Tapi menyenangkan melihatmu seperti ini," katanya tanpa malu-malu. "Rasanya... menggemaskan."
Asa menghela napas panjang, lalu tanpa peringatan, ia mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari Ahyeon. "Masih menyenangkan?" tanyanya dengan suara rendah.
Ahyeon membeku. Pipinya langsung terasa panas.
Asa menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya kembali menyandarkan tubuh ke kursi dan menyalakan mesin mobil. "Jangan main-main, Ahyeon. Aku benar-benar tidak suka melihatmu dengan orang lain," katanya sebelum akhirnya melajukan mobil keluar dari parkiran.
Ahyeon masih diam, jantungnya berdegup kencang. Sekarang, siapa yang menang?
Ahyeon menggigit bibirnya pelan, menatap Asa yang fokus mengemudi dengan ekspresi masih sedikit kesal. Ia tahu gadis itu cemburu, dan jujur saja, itu membuatnya merasa sedikit... senang.
"Kami hanya tekan kerja dia atasanku dan aku hanya profesionalitas saja ."
Asa tetap diam, tetapi cengkeramannya di setir sedikit mengendur.
Ahyeon meliriknya sebentar sebelum melanjutkan, "Dia sedikit perhatian karena memang tahu operasi memakan waktu berjam jam dan itu melelahkan. Lagipula, aku tidak pernah tertarik padanya."
Asa mendecak pelan. "Aku tidak peduli," gumamnya, tapi jelas-jelas dia peduli.
Ahyeon tertawa kecil. "Benarkah? Tapi ekspresimu bilang sebaliknya."
Asa meliriknya sekilas dengan tatapan tajam sebelum kembali fokus ke jalan. "Ahyeon."
"Hm?"
"Berhenti menggodaku."
Ahyeon pura-pura berpikir, lalu menyandarkan kepalanya ke jendela sambil berujar pelan, "Baiklah... tapi tetap saja, aku tidak menyangka kau bisa secemburu ini."
Asa menghela napas pelan, lalu tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan kirinya dan mencubit pipi Ahyeon pelan. "Aku tidak cemburu."
Ahyeon terkekeh, tangannya langsung menepis tangan Asa dari wajahnya. "Hei! Itu sakit!"
"Bagus kalau sakit, biar kau berhenti menggodaku," kata Asa datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.
Ahyeon memperhatikannya dengan tatapan puas. "Tapi kau tetap tidak bisa bohong kalau kau memang cemburu, kan?"
Asa mendecak, tidak menjawab.
Ahyeon mendekat sedikit, kali ini suaranya lebih lembut, "Aku hanya ingin kau tahu... aku tidak akan melihat orang lain selain kau."
Asa tidak langsung menjawab, tetapi kali ini, tatapan di matanya mulai melunak. Ia menghela napas sebelum akhirnya menggumam pelan, "Pastikan kau menepati kata-katamu."
Ahyeon tersenyum, lalu tanpa pikir panjang, ia meraih tangan Asa yang berada di tuas persneling dan menggenggamnya erat. "Selalu," katanya pelan.
Asa hanya diam, tetapi genggaman tangannya mengerat, dan kali ini, senyum kecil di wajahnya tidak bisa ia sembunyikan.
.
.
ketika sampai di Depan dan tepat di parkiran apartemen
Begitu mobil berhenti, Ahyeon tidak langsung turun. Tubuhnya terasa begitu berat, kelopak matanya nyaris tertutup sepenuhnya.
Asa menoleh dan mendapati Ahyeon masih duduk diam, bersandar ke kursi dengan napas yang terdengar pelan.
"Kau bisa jalan sendiri?" tanyanya sambil melepas sabuk pengaman.
Ahyeon hanya bergumam kecil, tidak jelas. Kepalanya bahkan sedikit miring, hampir jatuh ke samping. Asa menghela napas pelan sebelum turun dari mobil dan berjalan ke sisi Ahyeon.
Begitu ia membuka pintu, Ahyeon menatapnya dengan mata setengah terbuka. "Aku lelah sekali..." suaranya terdengar kecil dan serak.
Asa menatapnya sejenak sebelum akhirnya berjongkok sedikit, membelakangi Ahyeon. "Naik."
Ahyeon berkedip pelan, masih mencoba memahami maksud Asa. "Apa?"
Asa menoleh sedikit, menggerakkan bahunya. "Kugendong. Kau tidak akan sampai ke kamar kalau seperti ini."
Ahyeon menatap punggung Asa dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku tidak akan menolak," katanya lemah.
Dengan sisa tenaga, Ahyeon melingkarkan tangannya ke leher Asa, dan dalam satu gerakan ringan, Asa mengangkatnya ke punggungnya. Ahyeon menyandarkan kepalanya ke bahu Asa, matanya benar-benar terasa berat.
"Jangan tidur dulu. Kau bisa jatuh," kata Asa sambil melangkah menuju lift.
"Hm…" Ahyeon hanya menggumam kecil, tetapi genggamannya di bahu Asa sedikit mengerat.
Lift terasa lebih tenang dari biasanya, hanya ada mereka berdua. Ahyeon bisa merasakan hangat tubuh Asa, juga detak jantungnya yang stabil. Itu membuatnya semakin mengantuk.
Begitu pintu lift terbuka, Asa langsung melangkah ke dalam apartemen mereka. Dengan hati-hati, ia membawa Ahyeon ke kamar, lalu menurunkannya ke tempat tidur.
"Aku tidak ingin pindah dari punggungmu," gumam Ahyeon, suaranya terdengar manja dan mengantuk.
Asa terkekeh pelan. "Tapi kau harus tidur di tempat yang benar."
Ahyeon membuka matanya sedikit, menatap Asa yang membetulkan selimutnya. "Tidur di sini?" tanyanya, suaranya terdengar lebih kecil.
Asa diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Tidurlah."
Ahyeon tersenyum kecil sebelum akhirnya benar-benar menutup matanya, sementara Asa duduk di samping ranjang, menatapnya dalam diam.
Asa menghela napas pelan, menatap Ahyeon yang tertidur lelap dengan masih mengenakan pakaian kerja sejak pagi. Wajahnya terlihat begitu lelah, napasnya teratur, dan sesekali tubuhnya bergerak kecil, seolah mencari posisi yang lebih nyaman.
Tanpa banyak berpikir, Asa berdiri dan berjalan ke dapur, mengambil handuk kecil dan merendamnya dengan air hangat. Setelah itu, ia kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap Ahyeon yang masih tertidur pulas.
"Asal kau tahu, aku tidak pernah bisa kehilangan mu," gumamnya pelan, tangannya bergerak hati-hati, mulai membantu membuka kancing baju Ahyeon yang sedikit kusut.
Ahyeon menggeliat kecil, tapi tidak terbangun. Asa menelan ludah, mencoba untuk tetap fokus. Ini bukan pertama kalinya ia membantu Ahyeon saat lelah seperti ini, tapi tetap saja, ada perasaan aneh yang menggelitik di dadanya.
Setelah berhasil melepas bajunya, Asa meraih handuk hangat dan dengan hati-hati mengusap kulit Ahyeon, memastikan tubuhnya bersih dari keringat dan rasa lengket setelah seharian beraktivitas. Tangannya bergerak dengan perlahan, penuh perhatian, memastikan Ahyeon tetap nyaman dalam tidurnya.
Saat tangannya menyentuh pipi Ahyeon, gadis itu mengerjap kecil, lalu bergumam dalam tidurnya. "Asa…"
Asa menghentikan gerakannya sesaat, menatap wajah Ahyeon dengan tatapan lebih lembut. "Aku di sini," jawabnya pelan, meski tahu Ahyeon mungkin tidak benar-benar sadar.
Setelah selesai, Asa mengambil kaus longgar dari lemari dan mengenakannya pada Ahyeon dengan hati-hati. Setelah memastikan semua beres, ia menarik selimut hingga menutupi bahu gadis itu, lalu duduk diam di tepi ranjang, menatapnya untuk beberapa saat.
Tanpa sadar, tangannya terulur, menyelipkan beberapa helai rambut Ahyeon ke belakang telinga. "Tidurlah dengan nyenyak," bisiknya pelan kemudian merebahkan tubuhnya di samping ahyeon.
.
.
.
.
Ahyeon mengerjap pelan, kelopak matanya masih terasa berat saat ia mulai sadar dari tidurnya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai menyentuh kulitnya dengan hangat, menandakan bahwa hari sudah cukup siang.
Saat kepalanya sedikit bergerak, ia baru menyadari sesuatu seseorang ada di sampingnya.
Ia menoleh perlahan, dan tepat di sana, Asa tertidur dengan wajah yang begitu tenang. Nafasnya teratur, dadanya naik turun dalam ritme yang stabil. Mata tajamnya yang biasanya penuh ekspresi kini tertutup rapat, bibirnya sedikit terbuka, rambutnya sedikit berantakan.
Ahyeon menatapnya dalam diam. Ada sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang membuatnya enggan mengalihkan pandangan.
Betapa indahnya...
Ia tidak menyangka bisa melihat sisi Asa yang seperti ini. Selama ini, gadis itu selalu terlihat dingin, tapi saat tidur seperti ini, ia tampak begitu damai, seolah semua hal yang membebaninya menghilang.
Ahyeon tersenyum kecil, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan, menyentuh perlahan helai rambut Asa yang jatuh ke dahinya.
"Asa…" panggilnya pelan, hanya sekadar ingin mendengar suaranya.
Asa bergumam kecil, tubuhnya bergerak sedikit, tetapi masih belum benar-benar bangun.
Ahyeon kembali tersenyum, lalu menatap wajah Asa lebih lama. Namun, saat ia melirik jam di meja, matanya langsung melebar.
"Pukul 11?!"
Dalam sekejap, Ahyeon langsung sadar. Hari ini adalah hari pertama Asa magang di rumah sakit sebagai ahli IT, dan mereka sama sekali tidak menyadarinya!
Tanpa pikir panjang, Ahyeon langsung mengguncang bahu Asa dengan panik. "Asa! Bangun!"
Asa hanya mengerang pelan, tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun.
Ahyeon mendecak, lalu kali ini mencubit pipinya pelan. "Bangun! Kau sudah terlambat!"
Asa akhirnya mengerjap, matanya terbuka setengah, masih belum sepenuhnya sadar. "Hn...? Apa...?"
Ahyeon menunjuk jam dengan ekspresi serius. "Hari pertama magangmu! Sudah jam 11 siang!"
Aku sudah meminta izin," kata Asa . "Kuberitahu mereka kalau aku sedang sakit, jadi aku akan mulai magang besok."
Ahyeon mengangkat alisnya. "Sakit?" ulangnya dengan nada penuh skeptis.
Asa mengangguk tanpa ragu. "Ya."
Asa tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan, membuatnya terkejut sejenak.
"Eh, apa yang kau lakukan?" tanya Ahyeon, mencoba menatap wajah Asa, tetapi gadis itu hanya menggumam pelan, matanya sudah setengah tertutup karena mengantuk.
"Tidur lagi," jawab Asa singkat, suaranya serak karena kantuk. Ia mengeratkan pelukannya, menyandarkan kepalanya di bahu Ahyeon, seolah tidak mau melepaskannya.
Ahyeon menghela napas, tapi alih-alih menolak, ia justru tersenyum kecil dan membiarkan Asa tetap seperti itu. Ia bisa merasakan napas gadis itu yang mulai teratur, tanda bahwa Asa benar-benar ingin tidur.
"Apa kau benar-benar mengantuk atau hanya ingin menjadikanku bantal?" gumam Ahyeon pelan, tangannya tanpa sadar mengusap punggung Asa dengan lembut.
Asa tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeser kepalanya sedikit, mencari posisi yang lebih nyaman sebelum berkata, "Keduanya."
Ahyeon mendecak pelan, tapi tidak bisa menahan tawa kecilnya. "Dasar bocah manja."
Asa hanya bergumam pelan, tidak membantah. Dalam beberapa menit, napasnya semakin stabil, dan Ahyeon tahu asa itu benar-benar sudah tertidur
Ahyeon menatap wajah Asa yang terlelap, matanya melembut. Rasanya aneh melihat Asa setenang ini tanpa sikap dingin, tanpa tatapan tajam, hanya seseorang yang kelelahan dan ingin beristirahat.
"Selamat tidur," bisiknya pelan sebelum akhirnya ikut menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, membiarkan dirinya ikut larut dalam kantuk yang tiba-tiba datang.
.
.
.
.
sementara di tempat lain Siang itu, rumah keluarga Jake dan Asa terlihat lebih ramai dari biasanya. Para tamu berdatangan satu per satu, mulai dari pejabat, pengusaha ternama, hingga beberapa profesor yang memiliki pengaruh besar di dunia akademik dan bisnis.
Di ruang utama, ayah Jake dan Asa, seorang pengusaha properti ternama, menyambut para tamunya dengan senyum penuh wibawa. Ibu mereka juga terlihat anggun, berbincang dengan beberapa tamu penting, menunjukkan keahlian sosialnya yang luar biasa.
Jake, yang baru saja turun dari lantai atas, mengamati suasana dengan mata tajam. Ia mengenakan setelan kasual namun tetap berkelas, mencerminkan statusnya sebagai anak dari keluarga berpengaruh. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang ia kenal dengan baik.
Di sisi lain, beberapa profesor dari universitas bergengsi terlihat berbincang dengan ayahnya, membahas perkembangan bisnis dan investasi yang melibatkan dunia akademik.
"Acara apa lagi kali ini?" gumam Jake pelan sambil mengambil segelas minuman dari pelayan yang berlalu.
Salah satu asisten pribadi jake, yang berdiri di dekatnya, terkekeh kecil. "Seperti biasa, pertemuan bisnis yang dikemas sebagai jamuan makan siang keluarga."
Jake menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan sebelum melangkah menuju ruang pertemuan. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat akan dipanggil ke sana, apalagi dengan begitu banyak tamu penting yang hadir.
Begitu ia masuk, matanya langsung menangkap sosok ayahnya, Kim Bo Hyun, yang duduk dengan ekspresi tenang namun penuh wibawa. Di sebelahnya, Yang Hyu Seok ayah Ahyeon juga hadir, duduk dengan postur tegap seperti biasa.
"Jake, duduklah," ujar Bo Hyun, nada suaranya terdengar santai tapi tetap mengandung otoritas.
Jake melangkah mendekat, lalu duduk di kursi kosong yang sudah disiapkan. Ia bisa merasakan tatapan beberapa tamu lain yang seolah menilainya dari ujung kepala sampai kaki, tetapi ia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang.
Jake menggenggam gelas minumannya sedikit lebih erat saat mendengar ucapan ayahnya. Matanya tetap tenang, bibirnya masih melengkung dalam senyum tipis, tetapi dalam hatinya, ia merasa sedikit terganggu.
“Bagaimana kau dan Ahyeon? Sudah ada kemajuan?” suara Kim Bo Hyun terdengar ringan, tetapi maknanya jelas.
Beberapa tamu yang duduk di sekitar mereka mulai tersenyum tipis, tertarik dengan percakapan ini. Jake bisa merasakan tatapan mereka menunggu jawabannya.
“Aku rasa kita semua di sini sudah tidak sabar untuk menantikan pernikahan kalian,” lanjut Bo Hyun. “Ingat, Jake. Kau dan Ahyeon adalah masa depan kita semua di sini.”
Jake menegakkan punggungnya sedikit, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaksukaannya pada perkataan itu. Kata-kata ayahnya terasa terlalu penuh kepentingan, seolah dirinya dan Ahyeon hanyalah bagian dari permainan besar yang mereka atur.
Namun, seperti biasa, Jake tahu bagaimana harus bermain dalam situasi seperti ini. Ia tidak bisa menunjukkan keberatannya terlalu jelas.
Dengan senyum tipis, ia mengangkat gelasnya dan berkata santai, “Aku dan Ahyeon baik-baik saja.
Jake menahan napas sejenak, matanya menatap lurus ke arah ayahnya, Kim Bo Hyun, yang berbicara dengan nada tegas namun tenang, seolah ini hanyalah keputusan bisnis biasa.
“Semua sudah diatur, Jake. Kau hanya perlu memastikan Ahyeon mau menikah denganmu. Setelah itu, kalian memiliki anak , kau harus ingat tujuan kita semua,” suara Bo Hyun terdengar dalam dan penuh otoritas.
Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Beberapa tamu lain hanya mendengarkan tanpa ikut campur, tetapi jelas bahwa mereka memahami inti dari pembicaraan ini.
Jake mengangkat alis, masih berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap santai. “Dan tujuan itu… adalah?” tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Kim Bo Hyun tersenyum tipis, tatapannya tajam. “Gen dari Ahyeon dan kau dibutuhkan untuk proyek ini. Kau tahu itu.”
Jake merasakan sesuatu dalam dirinya menegang. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar tentang ‘proyek’ yang sering disebut-sebut oleh ayahnya dan beberapa orang dalam lingkaran keluarga mereka. Tetapi sekarang, semuanya terdengar jauh lebih jelas seolah perannya dan peran Ahyeon telah diputuskan sejak awal.
Ia melirik sekilas ke arah Yang Hyu Seok, ayah Ahyeon, yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Tidak ada tanda-tanda protes dari pria itu, ia pun setuju dengan rencana ini karena semua berawal memang dari dia.
Yang Hyu Seok akhirnya angkat bicara, suaranya tetap tenang namun tegas, memberikan keseimbangan dalam diskusi yang mulai terasa menekan.
“Jake benar. Jangan terburu-buru,” katanya, melirik sekilas ke arah Kim Bo Hyun sebelum kembali menatap Jake. “Aku tahu Ahyeon. Dia tidak akan menolak jika aku yang memintanya. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah putriku.”
Jake mengamati pria itu dengan saksama. Berbeda dengan ayahnya yang selalu berbicara dengan nada penuh kendali, Yang Hyu Seok tampak lebih… diplomatis.
“Aku tidak ingin terlalu memaksanya,” lanjutnya. “Itulah sebabnya aku selalu meminta agar kau, Jake, membuatnya jatuh cinta.”
Suasana di ruangan sedikit mencair, tetapi tekanan dari percakapan ini masih terasa jelas.
“Jika dia jatuh cinta padamu,” lanjut Yang Hyu Seok, “maka semua yang dia jalani akan terasa lebih mudah, dan dia bisa bahagia. Pada akhirnya, misi kita juga akan tercapai, tanpa perlu ada paksaan.”
Jake mendengarkan dengan saksama, lalu mengangguk pelan. Setidaknya, masih ada batas yang dijaga.
“Tapi,” Yang Hyu Seok menambahkan, tatapannya tajam, “aku tidak keberatan jika ini memakan waktu lebih lama. Selama kau tetap berada di jalur yang benar.”
Jake menyesap minumannya, berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis.
“Aku mengerti,” katanya pelan. “Tapi kita lihat saja… apakah Ahyeon benar-benar bisa jatuh cinta padaku?”
Ruangan kembali sunyi sejenak, sebelum akhirnya Bo Hyun tertawa kecil, melirik putranya dengan tatapan penuh arti.
“Kau cukup menarik, Jake. Jangan merendahkan diri sendiri,” katanya santai.
Jake hanya tersenyum simpul, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang ‘membuat Ahyeon jatuh cinta’. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan dua orang ini adalah permainan yang telah mereka atur jauh sebelum ia atau Ahyeon menyadarinya.
Ruangan yang tadinya mulai sedikit lebih santai kembali hening ketika seorang profesor yang duduk di sisi kanan meja mengalihkan perhatian kepada Kim Bo Hyun.
“Lalu, bagaimana dengan putrimu, Asa?” tanyanya dengan nada penuh minat. “Apa kau sudah ada rencana untuknya seperti Jake? Aku rasa genetikanya juga sangat bagus ketika kuteliti.”
Jake yang sedang menyesap minumannya hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera menoleh ke arah profesor tersebut, lalu melirik ke ayahnya untuk melihat bagaimana reaksinya.
Kim Bo Hyun mengangkat alis tipisnya, tetapi tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Ia meletakkan gelasnya dengan perlahan, lalu mengusap jemarinya sebelum berbicara. “Asa… adalah kasus yang berbeda,” katanya santai, tetapi dengan nada penuh makna.
Profesor itu tersenyum kecil. “Maksudmu?”
Bo Hyun menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tidak seperti Jake, Asa bukan tipe yang bisa diarahkan begitu saja. Dia punya pemikirannya sendiri, dan dia tidak segan untuk menentang jika merasa sesuatu tidak sesuai dengan prinsipnya.”
Beberapa tamu mengangguk, beberapa bahkan tersenyum kecil. Bukan rahasia bahwa Asa memang lebih sulit dikendalikan dibandingkan Jake, yang meskipun cerdas dan mandiri, tetap lebih terbiasa mengikuti aturan keluarga.
“Tapi kau pasti punya rencana untuknya, bukan?” tanya profesor itu lagi, tampak tidak ingin melewatkan pembahasan ini.
Bo Hyun tersenyum tipis. “Tentu saja. Aku selalu punya rencana.”
Jake yang sejak tadi hanya mendengarkan akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih datar dari biasanya. “Dan rencana itu… seperti apa?”
Ayahnya melirik ke arahnya sejenak, lalu menatap kembali profesor tersebut. “Untuk saat ini, Asa masih memiliki kebebasannya sendiri. Aku tidak ingin mengaturnya terlalu jauh… setidaknya belum.”
Yang Hyu Seok, yang duduk di seberang mereka, akhirnya ikut bersuara. “Asa memang berbeda dari Jake, tapi justru itu yang membuatnya menarik. Jika kau memiliki rencana untuknya, kau harus memilih pendekatan yang tepat.”
Bo Hyun tersenyum kecil. “Aku tahu. Itu sebabnya aku tidak terburu-buru.”
Profesor itu tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Menarik. Kalau begitu, aku menunggu bagaimana perkembangannya.”
Jake menghela napas pelan, lalu kembali menyesap minumannya. Ia tahu betul bahwa di balik kata-kata santai ayahnya, pasti ada sesuatu yang telah dipersiapkan. Asa mungkin belum menyadari, tapi cepat atau lambat, ia juga akan masuk dalam permainan ini.
Bersambung