Author kasi extra part untuk kalian
Sebagai ucapan maaf dan terimakasih 😁😁
Happy reading guyssssssssss
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
💨
Sejak mimpi buruk itu, Jenna jadi lebih posesif dari biasanya. Dia selalu menempel seperti bayangan ke mana pun Javier pergi. Bahkan saat Javier hanya ingin ke ruang kerja di dalam rumah, Jenna tetap mengikuti dengan alasan "Siapa tahu kamu tiba-tiba teleport ke Jepang dan aku nggak tahu."
Javier yang awalnya bingung dengan perubahan ini akhirnya pasrah. Setiap kali dia hendak keluar rumah, Jenna pasti sudah siap dengan tasnya sendiri. Saat Javier hendak pergi ke kantor, Jenna langsung masuk ke mobil lebih dulu.
"Kamu ngapain ikut ke kantor?" tanya Javier sambil menatap Jenna yang duduk santai di kursi penumpang.
"Ya ikut aja, siapa tahu kamu butuh asisten pribadi," jawab Jenna santai.
"Jennaira, saya kerja, bukan liburan," ujar Javier dengan nada lelah.
"Kerja atau selingkuh?" balas Jenna sambil menatap curiga.
Javier hanya bisa memijat pelipisnya. Sepertinya efek dari mimpi itu akan bertahan lama.
Saat sampai di kantor, Jenna langsung turun dari mobil dengan penuh percaya diri. Dia menggandeng tangan Javier erat, seolah menandakan bahwa laki-laki ini miliknya dan tidak boleh diganggu gugat.
Saat berjalan masuk, tatapan Jenna langsung tertuju pada Dara yang sedang berdiri di lobi. Tanpa basa-basi, dia langsung memberikan tatapan sinis yang membuat Dara mengernyit bingung.
Dara yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menatap Jenna dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Aku salah apa?" batinnya.
Sementara itu, Javier yang menyadari perubahan sikap Jenna hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu persis ini masih efek dari mimpi absurd istrinya.
"Jenna, bisa nggak kamu berhenti menatap orang seperti itu?" bisik Javier sambil menarik lengan Jenna pelan.
Jenna tetap tidak mengalihkan tatapannya dari Dara dan malah menambahkan cibiran kecil sebelum akhirnya berkata, "Jangan sok polos, Dara. Aku waspada sekarang."
Dara semakin bingung. "Apa-apaan sih ini?" pikirnya dalam hati.
Dara yang masih bingung dengan sikap Jenna akhirnya memilih untuk diam dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, rasa penasaran tetap menggelayuti pikirannya.
Sementara itu, Jenna terus menempel pada Javier, bahkan sampai ke ruang kerjanya. Begitu pintu tertutup, Javier langsung memijat pelipisnya dan menatap Jenna yang duduk di sofa kantornya dengan wajah penuh kemenangan.
"Jenna, kamu serius mau terus kayak gini? Kamu tahu Dara nggak salah apa-apa, kan?" Javier mencoba mengingatkan.
Jenna melipat tangannya di dada dan menatap Javier tajam. "Aku nggak mau ambil risiko. Kamu itu laki-laki, Mas. Aku sudah lihat di mimpi kalau kalian... ah, pokoknya aku nggak mau kejadian itu jadi nyata!"
Javier menatap istrinya dengan ekspresi tak percaya. "Jenna, itu cuma mimpi! Kenapa kamu sampai separno ini?"
Jenna mendengus. "Aku hanya waspada. Mana tahu mimpi itu adalah tanda dari semesta."
Javier menghela napas panjang. "Oke, jadi apa rencana kamu sekarang?"
Jenna tersenyum penuh arti. "Aku bakal ngawasin kamu terus, sayang. Aku nggak akan kasih Dara ataupun perempuan-perempuan genit diluar sana kesempatan untuk mendekat ke kamu!"
Javier hanya bisa pasrah. Istrinya memang absurd, tapi dia tetap mencintainya.
Hari itu, Javier hendak menghadiri meeting penting di kantor. Namun, Jenna yang sudah merasa gelisah dan khawatir tidak ingin berpisah, memaksa untuk ikut bersama. Di depan pintu lift, dengan mata berkaca-kaca, Jenna berseru,
"Aku ikut!"
Javier menoleh dengan wajah sedikit cemas, lalu berkata dengan nada berusaha menenangkan, "Jenna, saya cuma meeting. Tidak akan aneh-aneh."
Namun, Jenna tak mau mendengarkan. Dengan air mata yang mengalir, dia dengan tegas menimpali, "Tetap aja aku mau ikut."
Javier menghela napas lelah, mengetahui betul bahwa hormon ibu hamil membuat perasaan Jenna semakin sensitif. Mamanya pernah mengingatkan bahwa dalam keadaan seperti ini, emosi bisa mudah tersulut.
Meski begitu, Javier mencoba memberikan pengertian dengan lembut, "Baiklah, tapi nanti jangan sampai kamu ikut mengganggu rapat, ya?"
Jenna hanya mengangguk sambil menahan air matanya, berharap kehadirannya bisa membuatnya merasa aman dan terus memantau Javier, tanpa harus membuat situasi menjadi canggung. Dengan berat hati, Javier pun mengizinkan Jenna ikut, menyadari bahwa dalam keadaan seperti ini, perasaan Jenna adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya.
Di ruang rapat, suasana yang awalnya serius berubah menjadi sedikit canggung. Para peserta rapat, yang sebagian besar adalah petinggi perusahaan, saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung. Mereka tidak pernah melihat istri pemilik perusahaan ikut serta dalam rapat sebelumnya.
Jenna duduk di sebelah Javier dengan wajah datar, namun matanya mengawasi setiap gerak-gerik suaminya. Salah satu direksi akhirnya memberanikan diri bertanya dengan hati-hati,
"Pak Javier, apakah Ibu Jenna akan ikut serta dalam pembahasan rapat hari ini?"
Javier yang sudah menduga pertanyaan ini hanya menghela napas dan melirik Jenna yang langsung menatapnya dengan tajam. Dengan sedikit tersenyum kaku, Javier menjawab,
"Iya, istri saya hanya ingin menemani saya hari ini."
Para peserta rapat hanya mengangguk-angguk, meskipun mereka tetap merasa heran. Sementara itu, Jenna duduk dengan tenang, sesekali melirik ke arah Dara yang juga berada di dalam ruangan. Tatapan Jenna yang tajam membuat Dara semakin merasa tidak nyaman, padahal dia sendiri tidak tahu apa kesalahannya.
Javier berusaha fokus pada jalannya rapat, tapi sesekali dia melirik Jenna yang masih dengan ekspresi dinginnya. Dalam hati, Javier hanya bisa pasrah dan berharap semuanya berjalan lancar tanpa ada drama tambahan.
Setelah rapat selesai, satu per satu peserta rapat mulai keluar dari ruangan dengan ekspresi lega. Beberapa petinggi perusahaan berbincang ringan sambil berjalan keluar, sementara Javier tetap duduk sebentar untuk merapikan dokumennya.
Jenna masih di tempatnya, menatap Dara dengan pandangan penuh arti. Dara, yang merasa tidak nyaman sejak awal, memilih untuk cepat-cepat keluar dari ruangan. Namun, sebelum dia sempat melewati pintu, Jenna tiba-tiba memanggilnya.
"Dara," suara Jenna terdengar dingin, membuat langkah Dara terhenti.
Dimas, yang berada tak jauh dari mereka, ikut menoleh, menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul. Javier, yang sejak tadi menahan diri, langsung menatap Jenna dengan perasaan was-was.
Dara menoleh perlahan, "Iya, Bu Jenna?" Dara memanggil Jenna dengan sebutan Bu Jenna karena ini masih dilingkungan kantor, dan juga dia sedang berada didepan boss nya. Kalau diluar kantor beda lagi.
Jenna berdiri dari kursinya, menyilangkan tangan di dada, lalu melangkah mendekati Dara. Dia tersenyum tipis, namun matanya tajam.
"Kamu tau, saya mimpi buruk tentang kamu dan javier?" tanya Jenna, suaranya terdengar santai tapi menusuk.
Dara mengerutkan kening, bingung, "Mimpi buruk?"
Jenna mendekat, hampir berbisik, "Iya. Mimpi di mana kamu dan Javier selingkuh di belakangku."
Dara membelalakkan mata, terkejut sekaligus bingung. "Jenn,gila kamu itu kan cuma mimpi—"
"Benar. Cuma mimpi," potong Jenna cepat. "Tapi tetap aja, sekarang aku jadi parno. Jadi mulai sekarang, kamu jangan deket-deket suamiku. Dan ya tetap panggil aku Bu Jenna, inget aku itu istri atasan mu" ucap Jenna sambil mengibaskan rambutnya dan berjalan keluar ruangan.
Javier langsung menepuk dahinya, merasa pusing dengan keabsurdan istrinya ini. Dimas, yang sejak tadi berusaha menahan tawa, akhirnya memilih mundur perlahan sebelum ikut terseret dalam drama ini.
Jenna yang sadar kalau Javier tidak ikut keluar juga, langsung masuk lagi kedalam dan menyeret Javier keluar ruangan tersebut.
Dara, yang semakin bingung, hanya bisa mengangguk pelan. "Baik, Bu Jenna," jawabnya, meskipun dalam hati dia masih tidak mengerti kenapa harus ikut kena dampak dari mimpi aneh istrinya bosnya sekaligus sahabat nya itu.
Setelah semua orang keluar, Javier menarik napas panjang sebelum menggenggam tangan Jenna dan membawanya masuk ke dalam ruang pribadinya di kantor. Dia mengunci pintu, memastikan tidak ada yang mengganggu, lalu menarik Jenna ke dalam pelukannya.
"Jenna, kamu kenapa sampai begini?" suaranya lembut, penuh kekhawatiran.
Jenna diam, membenamkan wajahnya di dada Javier. Dia masih kesal, meskipun sadar kalau itu semua hanya mimpi. "Aku nggak tahu... tapi rasanya nyata banget, Mas. Aku sampai bisa ngerasain sakitnya."
Javier mengusap punggung Jenna dengan lembut. "Sayang, itu cuma mimpi. Saya nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Saya cinta sama kamu."
"Tapi kalau itu kejadian beneran gimana?" Jenna masih belum puas.
Javier menarik wajah Jenna agar menatapnya. "Dengar baik-baik. Saya nggak akan nyakitin kamu seperti itu. Apalagi sekarang kamu lagi hamil. Saya lebih takut kehilangan kamu dan anak kita dan juga aurora daripada hal lain di dunia ini."
Jenna menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang sudah menggenang lagi di matanya. "Tapi aku tetap nggak suka kalau kamu deket-deket Dara."
Javier menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Oke, kalau itu bisa bikin kamu tenang, saya bakal jaga jarak dari Dara. Tapi kamu juga harus janji buat nggak terlalu stress sama hal-hal yang nggak nyata, ya? Saya nggak mau kamu kecapekan apalagi stress gara-gara mikirin hal yang nggak terjadi."
Jenna mendengus kecil, masih kesal tapi juga tersentuh. "Jadi, aku boleh nuntut kamu kasih sebagian saham perusahaan buat aku?"
Javier terkekeh dan mencubit pelan hidung Jenna. "Dasar matre! Kamu itu udah punya segalanya, termasuk hati dan hidup saya."
Jenna akhirnya tersenyum malul, lalu kembali memeluk Javier erat. "Pokoknya kamu jangan macem-macem, ya?"
Javier mengeratkan pelukannya, mengecup kening istrinya dengan penuh kasih. "Nggak akan, sayang. Saya cuma milik kamu."
Javier menghela napas, masih memeluk Jenna erat. "Sayang, sekarang kamu sudah lebih tenang?"
Jenna mendengus kecil. "Lumayan."
Javier tersenyum, lalu mengusap lembut pipi istrinya. "Kalau gitu, saya punya satu permintaan. Bisa nggak kamu berbaikan sama Dara?"
Mendengar itu, Jenna langsung menatap Javier dengan tatapan tak percaya. "Kamu serius?"
Javier mengangguk. "Sayang, itu cuma mimpi. Dara nggak salah apa-apa. Dia tetap sahabat kamu. Kasihan kalau dia sampai bingung gara-gara kamu tiba-tiba bersikap dingin."
Jenna mengerucutkan bibirnya, masih enggan. "Tapi aku masih sebel."
Javier menahan tawa, lalu menangkup wajah Jenna dengan kedua tangannya. "Sebelnya sama aku aja, jangan sama Dara ataupun yang lain. Dia nggak tahu apa-apa."
Jenna menghela napas panjang. "Ya udah, aku bakal coba."
"Good girl," ujar Javier sambil mengecup kening Jenna dan bibir jenna.
Jenna mendelik. "Tapi aku nggak janji bakal langsung baik-baik aja."
Javier tertawa pelan. "Pelan-pelan aja, yang penting kamu coba."
Jenna akhirnya mengangguk kecil. Dalam hatinya, dia tahu Javier benar. Ini semua cuma mimpi, bunga tidurnya saja. Tidak seharusnya dia membawa emosinya ke dunia nyata. Apalagi sampai memusuhi orang lain yang tidak tau apa-apa.
Dan dengan sedikit berat hati, dia pun memutuskan untuk memperbaiki hubungannya dengan Dara.