" Jika mencintaimu adalah sebuah kegilaan maka aku tidak ingin jadi waras "
Yang Hyu Seok menatap Kim Bo-hyun tajam. Ruangan itu terasa semakin sunyi, seakan waktu berhenti sejenak setelah kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu.
“Lagi pula, Ahyeon mengalami penyakit langka.” Kim Bo-hyun bersandar santai di kursinya, tangannya saling bertaut di atas meja. “Dengan cara persilangan gen itu, meskipun dia harus meninggal, bukankah kita bisa mengambil kesadarannya dan memasukkannya ke dalam otak anaknya dan Jake nantinya? Kau tidak akan kehilangan anakmu, Yang Hyu Seok.”
Seketika, napas Yang Hyu Seok terasa berat. Tangannya mengepal di atas meja, sementara matanya tetap terkunci pada pria di hadapannya. “Apa yang kau katakan… Itu gila, Bo-hyun.”
Kim Bo-hyun tersenyum kecil, seolah gagasan itu adalah hal yang begitu logis. “Gila?” Ia tertawa pelan. “Apa yang lebih gila? Membiarkannya mati tanpa meninggalkan apa pun, atau memberikan kesempatan agar dia tetap hidup dalam bentuk yang lebih sempurna?”
Yang Hyu Seok menggelengkan kepalanya, rahangnya mengeras. “Kesadaran tidak bisa begitu saja dipindahkan. Kau tidak bisa memastikan bahwa yang akan lahir nanti masih Ahyeon.”
“Kesadaran tidak terikat pada tubuh,” Kim Bo-hyun menimpali dengan nada tenang. “Jika kita bisa memindahkannya dengan sempurna, maka dia tetap Ahyeon. Hanya dalam tubuh yang lebih kuat, lebih abadi.”
Yang Hyu Seok mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang mencekik di dalam dadanya. Ia tahu proyek ini telah melampaui batas manusiawi sejak lama, tapi gagasan ini… sesuatu tentangnya terasa terlalu salah.
Namun, di sisi lain, jika itu satu-satunya cara agar Ahyeon tetap ada…
Tidak. Ia menutup matanya sejenak, menenangkan pikirannya.
"Aku tidak bisa… aku tidak akan melakukan itu," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Kim Bo-hyun menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke belakang. “Kau hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan, Hyu Seok.” Ia tersenyum tipis sebelum berdiri. “Pada akhirnya, kau tahu ini adalah satu-satunya jalan.”
Yang Hyu Seok menatap kosong ke depan, pikirannya kacau. Ia ingin menyangkal, ingin berkata bahwa semua ini tidak benar—bahwa ia tidak pernah setuju sejauh ini. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, suara Kim Bo-hyun kembali menggema di ruangan.
“Jangan denial, Yang Hyu Seok.” Nada bicaranya tenang, tapi mengandung tekanan yang kuat. “Kau bahkan sangat setuju dengan proyek ini, bukan? Kau yang mengusulkannya sejak awal. Kau juga sudah lelah menyimpan kekurangan anakmu, mengobatinya diam-diam setiap tahun tanpa Ahyeon tahu. Mau sampai kapan? Sampai dia benar-benar kehilangan seluruh fungsinya?”
Yang Hyu Seok mengepalkan tangannya di atas meja, matanya bergetar menatap pria di hadapannya.
“Bahkan kau yang menciptakan fondasi proyek ini,” lanjut Kim Bo-hyun. “Dan kekayaanmu itu… ingat dari mana asalnya.”
Ruangan sejenak hening. Beberapa orang yang duduk di kursi konferensi saling bertukar pandang, lalu mengangguk pelan, satu per satu menyetujui ucapan Kim Bo-hyun.
“Ayolah, come on,” pria itu menambahkan dengan nada ringan, seakan yang mereka bicarakan bukanlah sesuatu yang melanggar batas kemanusiaan. “Kita tetap pada rencana awal.”
Yang Hyu Seok menutup matanya sesaat. Dalam dadanya, ada perang yang begitu hebat. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa ini salah. Tapi di sisi lain… proyek ini memang miliknya. Ia yang membangunnya. Dan sejak awal, bukankah ini memang tujuannya?
Ketika ia membuka matanya lagi, ekspresinya tak lagi ragu. Ada sesuatu yang berubah dalam sorot matanya.
“…Baiklah,” gumamnya. “Kita akan tetap pada rencana awal.”
Kim Bo-hyun tersenyum puas.
Jake terlihat frustrasi dengan kondisi ini. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah meja tanpa benar-benar melihat apa pun. Ia hanya bisa menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.
Ia benar-benar tidak bisa lari dari situasi ini.
Sejak awal, ia tahu bahwa keluarganya bukanlah orang-orang biasa. Bahwa ayahnya, Kim Bo-hyun, adalah pria yang selalu memikirkan kepentingan di atas segalanya bahkan jika itu berarti mengorbankan orang lain. Tapi kini, yang harus dikorbankan bukan orang lain. Itu Ahyeon. Perempuan yang sejak kecil selalu ada di sisinya. Perempuan yang seharusnya ia lindungi, bukan ia serahkan untuk menjadi eksperimen gila ini.
Jake mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan kemarahan yang mendidih di dalam dirinya. Tidak ada yang berpihak padanya di ruangan ini. Semua orang mengangguk setuju dengan ayahnya, seakan-akan ini hanyalah langkah logis berikutnya, seakan-akan Ahyeon bukan manusia yang punya keinginannya sendiri.
Matanya beralih ke Yang Hyu Seok. Pria itu tampak diam, wajahnya sulit ditebak. Tapi keputusan sudah dibuat. Jake bisa melihatnya. Ayah Ahyeon telah memilih.
Sial.
Jake menghela napas sekali lagi, kali ini lebih berat. Ia menekan rasa sesak yang menjalar di dadanya. Tidak peduli seberapa keras ia ingin lari, ia tahu dirinya tidak bisa. Ia terjebak di sini di dalam permainan yang sudah ditentukan sejak awal, dengan nasib yang tidak bisa ia ubah.
Ruangan itu kembali sunyi setelah pernyataan tegas dari Menteri Kesehatan, Lee Jung-an. Semua mata tertuju padanya, tetapi ekspresinya tetap tenang, seakan yang baru saja ia katakan adalah hal yang paling masuk akal di dunia.
"Pernikahan Ahyeon dan Jake harus segera dilaksanakan agar semuanya bisa berjalan sesuai rencana. Tidak perlu menunggu dia lulus, itu hanya membuang-buang waktu," ujarnya dengan nada datar, namun penuh tekanan.
Jake merasakan dadanya semakin sesak. Pernikahan? Dalam situasi seperti ini? Sejak awal, ia tahu ia akan menikahi Ahyeonnitu sudah digariskan oleh keluarga mereka. Tapi bukan seperti ini. Bukan sebagai bagian dari rencana yang mengerikan ini.
Ia melirik ke arah Yang Hyu Seok, mencari reaksi. Pria itu tetap diam, hanya menatap kosong ke arah meja, seolah pikirannya berada di tempat lain. Apakah ini yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar rela menyerahkan Ahyeon demi proyek ini?
Kim Bo-hyun tersenyum tipis, jelas puas dengan keputusan ini. Beberapa orang di dalam ruangan mulai mengangguk setuju, mendukung perintah Menteri Kesehatan tanpa sedikit pun keraguan.
"Kita tidak bisa terus menunda. Setiap waktu yang terbuang hanya memperbesar risiko," lanjut Lee Jung-an. "Semakin cepat mereka menikah, semakin cepat kita bisa memastikan segalanya berjalan sesuai rencana."
Jake mengepalkan tangannya. Napasnya terasa berat. Ia benar-benar tidak punya pilihan, bukan? Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan ini?
Sial.
.
.
.
sementara di sisi lain Di dalam ruangan yang remang-remang, dindingnya dipenuhi layar monitor yang menampilkan berbagai rekaman dan dokumen rahasia. Orang-orang bersetelan gelap duduk mengelilingi meja panjang, wajah mereka serius. Di ujung meja, seorang pria paruh baya dengan bekas luka samar di pelipisnya mengetukkan jarinya ke permukaan meja, menuntut perhatian penuh dari semua yang hadir.
"Kim Bo-hyun dan Yang Hyu Seok terlalu percaya diri dengan proyek mereka," katanya dengan nada rendah namun penuh ancaman. "Mereka tidak sadar bahwa satu celah kecil bisa menghancurkan segalanya."
Seorang wanita yang duduk di sampingnya menyilangkan tangan di depan dada. "Dan celah itu adalah Asa," ujarnya, suaranya penuh keyakinan.
Pria itu menyeringai tipis. "Benar. Asa adalah kunci. Dia tidak tahu apa-apa, tapi kehadirannya di lingkaran mereka bisa kita manfaatkan."
Seorang pria lain, yang sebelumnya diam, akhirnya bersuara. "Menculik Asa bukan hal yang sulit, tapi kita perlu memastikan tidak ada celah yang bisa menghubungkan kita dengan ini."
"Sudah kupikirkan," wanita itu menyela. Ia menyentuh layar tablet di hadapannya, menampilkan denah tempat tinggal Asa beserta jadwal kegiatannya. "Asa sering pergi tanpa pengawalan ketat, terutama saat mengunjungi teman-temannya di Paris. Itu bisa menjadi kesempatan kita."
"Kita tidak boleh gegabah," pria paruh baya itu memperingatkan. "Dia anak Kim Bo-hyun. Jika sesuatu terjadi padanya, mereka pasti akan bertindak cepat. Kita harus memastikan mereka tidak bisa menelusuri jejak kita."
"Lalu, bagaimana kita akan melakukannya?" salah satu dari mereka bertanya.
Pria itu menarik napas, lalu menatap semua orang di ruangan dengan tajam. "Kita biarkan Asa sendiri yang datang kepada kita. Kita buat dia tidak punya pilihan selain jatuh ke dalam jebakan kita."
Semua yang ada di ruangan saling berpandangan sebelum perlahan mengangguk. Tidak ada yang meragukan rencana ini. Asa mungkin hanya seorang individu dalam permainan besar ini, tapi jika dimainkan dengan benar, dia bisa menjadi bidak yang menentukan kemenangan mereka.
Pria paruh baya dengan bekas luka di pelipisnya dikenal sebagai Tuan Seomenatap layar di hadapannya. Gambar-gambar Asa,Ahyeon, Jake, Kim Bo-hyun, dan Yang Hyu Seok terpampang di sana. Jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme teratur, sementara semua orang di ruangan menunggu instruksinya.
"Jika kita ingin Asa datang kepada kita, kita harus memberinya alasan untuk membenci mereka," Tuan Seo berbicara pelan, tapi setiap kata mengandung ancaman yang nyata.
Wanita yang sebelumnya berbicara Madam Joo menyeringai kecil. "Dia anak Angkat dari Kim Bo hyun, Tapi bukan berarti dia setia. Aku sudah melihat laporan mengenai hubungannya dengan ayahnya." Ia menyentuh tablet di hadapannya, menampilkan serangkaian catatan. "Asa memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan Kim Bo-hyun. Dia anak yang keras kepala, penuh perasaan, dan tidak suka dikendalikan. Itu kelemahannya."
Seorang pria lain, Park, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Lalu bagaimana kita memanipulasinya?"
Madam Joo tersenyum miring. "Sederhana. Kita hanya perlu memperlihatkan kebenaran tentang ayahnya dan Yang Hyu Seok tentang proyek ini. Tapi, tentu saja, dengan cara yang lebih… tragis."
Tuan Seo menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit penuh ketertarikan. "Jelaskan."
Madame Joo menggeser layar, menampilkan rekaman hasil penyadapan dari pertemuan para pemimpin proyek. Suara Kim Bo-hyun terdengar jelas:
"Jika Ahyeon harus dikorbankan, kita akan mendapatkan segalanya kekuasaan, pangkat, dan Ahyeon tidak akan meninggal sia-sia. Anak yang ia lahirkan akan menjadi makhluk sempurna."
Ruangan sejenak hening. Park mengernyit. "Brengsek. Itu… kalau Asa mendengar ini dan fakta yang tidak diketahui Yang Hyu Seok dan Kim bahwa Asa Dan Ahyeon menjalin hubungan"
"Dia akan hancur," potong Madame Joo. "Tapi bukan hanya itu. Kita tidak bisa hanya memberinya kebencian. Kita harus memberinya harapan. Tempat lain. Pilihan lain."
Tuan Seo tersenyum tipis, paham ke mana arah pembicaraan ini. "Kita buat Asa percaya bahwa kita adalah satu-satunya pihak yang bisa menyelamatkan Ahyeon."
"Benar," kata Madame Joo, suaranya semakin bersemangat. "Kita bocorkan informasi ini secara bertahap. Mungkin seseorang yang tidak dikenal mengirim rekaman ini padanya. Atau mungkin kita sebarkan melalui sumber yang ia percayai."
Park menepuk meja. "Bagaimana kalau kita buat dia melihat bukti langsung? Misalnya, insiden yang membahayakan Ahyeon?"
Tuan Seo mengangkat satu alis, lalu tertawa pelan. "Menarik."
"Yang Ku selidiki Asa sangat mencintai Ahyeon ,begitupun sebaliknya, Asa benar-benar peduli pada Ahyeon, dia akan mulai mempertanyakan semuanya," kata Madamel Joo sambil menyilangkan tangan. "Dan saat itu terjadi… kita ada di sana untuk membantunya menemukan ‘jalan keluar’."
Tuan Seo mengangguk puas. "Buat rencana detailnya. Kita tidak akan terburu-buru. Kita akan biarkan dia jatuh sendiri ke dalam permainan ini."
Semua yang ada di ruangan saling berpandangan sebelum tersenyum penuh arti. Asa tidak akan menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil, setiap kebencian yang mulai tumbuh di hatinya, adalah sesuatu yang telah mereka rancang sejak awal.
Tuan Seo menatap layar monitor dengan ekspresi puas. Gambar Asa yang sedang duduk di sebuah kafe, terlihat sibuk dengan ponselnya, terpampang jelas melalui kamera pengintai. Dengan suara rendah, ia berkata, "Setelah dia masuk ke dalam perangkap kita… Asa tidak akan menjadi dirinya yang sekarang."
Madame Joo menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum miring. "Dia memiliki gen istimewa. Jika dikembangkan dengan cara yang tepat… dia bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan."
Park menatap Tuan Seo, ragu. "Bagaimana kita memastikan dia berubah? Kebencian saja tidak cukup untuk membuatnya menjadi psikopat."
Tuan Seo terkekeh pelan. "Tentu saja tidak. Itu sebabnya kita akan membentuknya dengan metode yang lebih efektif"
Madam Joo menekan tombol di tablet, menampilkan serangkaian data tentang rekayasa psikologis. "Kita akan memberikan Asa penderitaan yang cukup untuk menghancurkan sisi manusianya, kita pelan pelan Calalai Ahyeon seolah itu perbuatan KiM dan Yang. Kita buat dia kehilangan kepercayaan, kehilangan empati. Ketika dia tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, saat itulah kita tanamkan doktrin kita."
Park mengangguk perlahan. "Jadi, kita memanipulasi dia secara mental?"
"Bukan hanya itu." Tuan Seo mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kita biarkan dia mengalami tragedi yang cukup besar hingga dia tidak bisa berpikir seperti manusia normal. Kita buat dia membunuh seseorang dengan tangannya sendiri."
Ruangan hening sejenak sebelum Madame Joo terkekeh pelan. "Dan setelah itu, Asa tidak akan pernah bisa kembali menjadi orang yang sama."
Tuan Seo mengangguk. "Benar. Kita buat Asa merasa bahwa dunia ini penuh dengan kebohongan dan penghianatan. Kita hancurkan kepercayaannya terhadap siapa pun terutama terhadap keluarganya. Saat dia berada di titik paling rendah, kita akan menjadi satu-satunya tempat yang bisa ia andalkan."
Park berpikir sejenak sebelum berkata, "Dan setelah itu, Asa akan menjadi senjata yang sempurna."
"Lebih dari itu," Tuan Seo menyeringai. "Dia akan menjadi monster yang kita ciptakan sendiri. Dengan gen yang ia miliki, kita tidak hanya membentuk seorang psikopat, tapi pembunuh berdarah dingin dengan kecerdasan dan ketahanan yang jauh di atas manusia biasa."
Madam Joo menyilangkan tangan di depan dada, matanya berbinar penuh antusiasme. "Jika Asa bisa kita kendalikan, maka proyek mereka akan hancur dari dalam. Kita buat dia menjadi ancaman terbesar bagi ayahnya sendiri dan Yang Hyu Seok."
Tuan Seo mengetuk meja sekali lagi, ekspresinya menunjukkan kemenangan. "Kita akan membiarkan Asa berpikir bahwa ini semua adalah pilihannya sendiri."
Ruangan kembali sunyi, hanya diisi dengan suara mesin dan detak jam. Semua orang di sana tahu, sekali Asa jatuh ke dalam jebakan mereka, tidak akan ada jalan keluar.
Tuan Seo menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya penuh ketertarikan. Ia menatap Madame Joo dengan intens sebelum akhirnya bertanya, "Kapan rencana kita akan dilaksanakan?"
Madame Joo tersenyum tipis, jari-jarinya bergerak di atas layar tablet sebelum akhirnya menampilkan serangkaian jadwal dan data. "Tidak lama lagi," jawabnya. "Asa sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kebimbangannya terhadap ayahnya. Dia mungkin belum menyadarinya, tapi pikirannya sudah mulai goyah. Kita hanya perlu sedikit dorongan."
Tuan Seo mengangguk pelan. "Jadi, bagaimana eksekusinya?"
Madame Joo menatap semua orang di ruangan sebelum menjelaskan, "Langkah pertama, kita bocorkan rekaman pembicaraan Kim Bo-hyun kepada Asa. Pastikan dia mendapatkannya dari sumber yang tampak netral, seseorang yang bisa dia percaya."
"Dan bagaimana kita memastikan dia mempercayainya?" tanya Park dengan nada skeptis.
Madame Joo terkekeh. "Kita tidak akan memberinya waktu untuk berpikir. Setelah rekaman itu sampai ke tangannya, kita susul dengan insiden kecil yang membahayakan Ahyeon. Sesuatu yang tidak sampai membunuhnya, tapi cukup membuat Asa percaya bahwa proyek ini benar-benar mengancam nyawa Ahyeon."
Tuan Seo mengetukkan jarinya ke meja. "Hmmm… kau yakin itu cukup untuk mendorong Asa ke sisi kita?"
Madame Joo menyeringai. "Asa bukan orang yang mudah percaya, tapi dia orang yang bertindak berdasarkan perasaan. Jika dia mulai berpikir bahwa satu-satunya cara untuk melindungi Ahyeon adalah menghancurkan proyek ini, maka dia sendiri yang akan datang kepada kita."
Tuan Seo menatap layar yang masih menampilkan foto-foto Asa dan Ahyeon. Senyum penuh kemenangan mulai terbentuk di wajahnya. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan dengan sempurna. Kita akan membuat Asa menjadi senjata yang akan menghancurkan ayahnya sendiri."
Madame Joo mengangguk. "Pertunjukan baru saja dimulai."
.
.
.
****
Hari masih siang di hari yang sama jam menunjukan pukul 2 Siang waktu korea
Ahyeon mengerjapkan matanya perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya siang yang merayap masuk melalui celah tirai. Tubuhnya masih terasa lelah, tapi perutnya mulai menuntut perhatian. Ia berniat bangun, ingin pergi ke dapur untuk memasak sesuatu, tetapi sebelum ia sempat mengangkat tubuhnya, Asa dengan cepat menariknya kembali ke tempat tidur.
"Tetap di sini," suara Asa terdengar serak, masih berat dengan kantuk.
Ahyeon menoleh, menatap Asa yang masih berbaring di sampingnya. "Aku lapar," ujarnya pelan, matanya sedikit menyipit karena kantuk yang belum sepenuhnya hilang.
Asa tidak menjawab langsung. Ia hanya menarik selimut lebih tinggi, merengkuh Ahyeon ke dalam pelukannya. "Jangan pergi, aku akan memerankan makanan" katanya lagi, kali ini lebih lirih.
Ahyeon menghela napas kecil. Ia bisa merasakan betapa erat Asa memeluknya, seakan tidak ingin membiarkannya pergi barang sejenak. Ia tidak bisa melihat ekspresi Asa dengan jelas, tapi ia tahu ada sesuatu di balik permintaan sederhana itu.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya lembut.
Asa terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Aku hanya ingin kau tetap di sini."
Ahyeon tersenyum kecil, merasakan betapa erat Asa memeluknya, seolah tidak ingin ia bergerak sedikit pun. Suara Asa terdengar serak, masih berat dengan kantuk, saat ia berbisik, "Aku akan memesan makanan, kau tidak perlu memasak apa pun."
Ahyeon menghela napas pelan, tangannya mengusap punggung Asa dengan lembut. "Aku bisa memasak sebentar saja, tidak akan lama," katanya pelan, mencoba menenangkan Asa yang masih menahan tubuhnya.
Asa menggeleng kecil tanpa membuka mata. "Tidak perlu. Tetap di sini." Tangannya mengeratkan pelukannya, wajahnya sedikit tenggelam di leher Ahyeon.
Ahyeon bisa merasakan kehangatan napas Asa di kulitnya, membuatnya tidak tega untuk memaksa bangkit. Ia tahu kejadian kemarin masih membekas di benak Asa. Meskipun ia tidak mengatakan secara langsung, Ahyeon bisa merasakan kegelisahannya ketakutan yang Asa coba sembunyikan.
"Aku tidak akan kemana-mana," bisik Ahyeon akhirnya, menyerah pada keinginan Asa.
Asa menggumam pelan sebagai jawaban, seakan memastikan Ahyeon benar-benar tidak akan pergi. Tangannya tetap melingkar di pinggang Ahyeon, tidak memberi celah sedikit pun.
Waktu terasa berjalan lebih lambat di dalam ruangan itu. Di luar sana, bahaya masih mengintai mereka tanpa mereka sadari. Tapi untuk sekarang, dalam kehangatan pelukan ini, mereka memilih untuk mengabaikan dunia sejenak.
Di dalam apartemen kecil itu, waktu seakan berhenti. Asa dan Ahyeon berbaring dalam kehangatan satu sama lain, jauh dari kekacauan dunia luar. Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada pertengkaran yang mengganggu kedamaian yang telah mereka bangun. Mereka memahami satu sama lain dengan begitu baik, seolah dunia hanya terdiri dari mereka berdua.
Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang lebih besar kenyataan yang tidak mereka ketahui. Di luar sana, ada rencana-rencana yang telah disusun dengan matang, rencana yang menjadikan mereka bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan.
Mereka diawasi. Setiap gerakan mereka, setiap kata yang mereka ucapkan, setiap pilihan yang mereka buat semuanya sudah dalam kendali orang-orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari yang mereka sadari.
Asa mungkin sudah mulai mencurigai sesuatu. Beberapa waktu lalu, ia menemukan sebuah file rahasia dokumen yang mengungkapkan sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, isi file itu masih terlalu samar, terlalu banyak celah yang belum terisi. Asa masih mempertanyakan kebenarannya, apakah itu hanya kebetulan atau benar-benar menyimpan kebenaran yang akan mengubah hidupnya.
Ahyeon tidak tahu. Ia tidak menyadari bahwa kehidupan damai yang mereka jalani bisa runtuh kapan saja. Asa pun belum memberitahunya mungkin karena ia sendiri belum sepenuhnya yakin, atau mungkin karena ia takut.
Dan di luar sana, seseorang sedang mengawasi. Menunggu. Memastikan bahwa Asa dan Ahyeon tetap berjalan di jalur yang telah mereka rencanakan.
.
.
.
Siang itu, suasana rumah sakit tampak sibuk seperti biasa. Namun, sesuatu yang tidak biasa terjadi ketika seorang wanita tiba-tiba muncul di lorong rumah sakit, mengenakan jas putih dokter dengan ekspresi yang tampak ramah namun penuh misteri. Namanya Minji, dan dia baru saja kembali ke Korea setelah lama menempuh studi di luar negeri.
Minji melangkah dengan langkah pasti, mata tajamnya mengamati setiap detail yang ada di sekitarnya. Begitu sampai di ruang kerja Chiquta, dia tersenyum, seolah tak ada yang istimewa. "Chiquta, lama tidak bertemu!" sapanya dengan nada ceria.
Chiquta yang sedang sibuk dengan dokumen di meja kerjanya terkejut, tapi juga merasa lega melihat wajah lama itu. "Minji! Aku tidak tahu kau kembali ke Korea." Suasana terasa hangat, namun ada yang terasa aneh. Minji memandang sekeliling sejenak, tampak mengamati ruangan dan orang-orang yang lalu lalang di luar.
Chiquta tahu Minji adalah anak dari Tuan Seo, rival utama Yang Hyu Seok, ayah Ahyeon. Namun, yang lebih mengejutkan adalah bahwa Minji tidak hanya datang untuk berkunjung, dia ada di sini dengan misi tertentu. Dia adalah bagian dari sindikat yang dipimpin oleh Tuan Seo dan Madam Jo, yang memiliki kepentingan besar terhadap proyek yang melibatkan Ahyeon dan keluarga Asa.
Minji melihat Chiquta sebagai kesempatan besar untuk mendekati Ahyeon, karena Chiquta adalah teman lama yang bisa menjadi jembatan untuk menyusup lebih dalam ke dalam dunia Ahyeon. Minji tahu betul bahwa hubungan mereka akan memberikan keuntungan besar bagi sindikat yang dipimpin ayahnya. Ahyeon adalah kunci untuk mencapai tujuan lebih besar, dan Minji tidak akan melewatkan kesempatan ini.
Di sisi lain, Chiquta yang merasa sangat akrab dengan Minji tidak menyadari bahwa dia sebenarnya adalah bagian dari rencana jahat yang lebih besar. Sejak mereka kuliah bersama, Minji selalu tampak penuh dengan rahasia. Chiquta mengenalnya sebagai teman baik yang selalu bisa diandalkan. Tapi kini, dengan kehadiran Minji yang tiba-tiba, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal, meskipun dia tidak bisa menentukannya.
Minji pun dengan hati-hati mulai menyusun langkahnya. Setiap kata yang diucapkannya penuh perhitungan, membuat Chiquta semakin merasa nyaman. Minji tidak hanya tertarik untuk mendekati Chiquta, tetapi juga mulai mencari celah untuk bisa lebih dekat dengan Ahyeon, untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya, dan yang terpenting untuk mengontrol langkah Ahyeon ke arah yang lebih menguntungkan bagi sindikat mereka.
Tak ada yang tahu bahwa di balik pertemuan yang tampak biasa ini, Chiquta dan Minji sudah berada di jalur yang sangat berbahaya. Mereka berada di dua sisi yang berbeda dari permainan yang melibatkan kehidupan Ahyeon dan Asa, tanpa menyadari bahwa mereka sedang dikejar oleh takdir yang lebih besar, yang berhubungan dengan pengaruh Tuan Seo dan Madam Jo.
Bersambung
jangan lupa follow, vote happy Reading