Rencana Putus Asa Narin
Narin duduk di dalam apartemen yang remang-remang, jarinya mengetuk meja kayu dengan gelisah. Ketegangan di ruangan itu begitu menyesakkan, pikirannya dipenuhi frustrasi. Berita terus menghantamnya tanpa henti—bukti baru ditemukan di tempat kejadian, polisi semakin memperketat pencarian, dan yang lebih buruk lagi, identitas palsunya kini tak berguna. Rencananya hancur di depan matanya sendiri.
"Sial!" geramnya, menghantam meja dengan kepalan tangannya. Dampaknya membuat secangkir kopi instan tumpah ke atas dokumen dan ponsel burner.
Sosok di seberangnya terkekeh. "Kehilangan kesabaran tidak akan membantu, temanku."
Narin melayangkan tatapan tajam ke pria yang telah membantunya menghilang dalam beberapa hari terakhir. Pria itu adalah orang baru, seseorang yang dikenalnya melalui seorang kenalan. Dia dikenal dengan nama Kit.
"Aku tidak punya waktu untuk omong kosongmu, Kit," sembur Narin. "Polisi sudah mengendusku. Identitasku tak lagi berguna. Aku butuh jalan keluar."
Kit menyandarkan tubuhnya dengan santai, menyeringai. "Kalau begitu, dengarkan aku. Aku punya rencana, tapi kau harus mempercayaiku."
Narin menyipitkan mata. "Dan kenapa aku harus percaya padamu?"
Kit mengangkat bahu. "Karena aku satu-satunya pilihanmu."
Setelah hening beberapa saat, Narin mengembuskan napas tajam. "Baiklah. Apa rencananya?"
Senyum Kit semakin melebar. "Kita ciptakan pengalihan, sesuatu yang menarik perhatian polisi dari keberadaanmu. Lalu, saat mereka sibuk, kita keluarkan kau dari Bangkok."
Narin mengangguk pelan, pikirannya berpacu dengan berbagai kemungkinan. Ini langkah berisiko, tapi pada titik ini, dia tidak punya pilihan lain.
Di Kantor Ling
Di ruang rapat, Sam melemparkan sebuah berkas ke atas meja kaca dengan seringai puas. "Kita punya lebih banyak bukti."
Ling mengambil berkas itu dan membolak-balikkan halaman berisi foto-foto. Jejak rem, pecahan lampu mobil, dan—
"Ini... Ini darah," gumam Ling, matanya menyipit.
"Tim forensik sudah mencocokkannya dengan kendaraan Narin," kata Sam. "Mereka sedang mengajukan surat perintah penangkapan resmi. Ini hanya soal waktu sebelum dia tertangkap."
Ling menutup berkas itu, menghela napas. "Bagus. Tapi aku tidak ingin dia hanya membusuk di dalam sel. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya diburu, seperti saat dia memburu Orm."
Sam menyeringai. "Sekarang kau mulai berbicara dengan bahasaku."
Ling mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kita harus menjebaknya. Kita akan menyebarkan informasi palsu—membuatnya berpikir dia punya jalan keluar. Saat dia mengambil umpan, kita akan ada di sana menunggunya."
Sam mengangguk. "Aku suka ide ini."
Ling menyeringai. "Mari kita buat dia menderita."
Perangkap Narin Gagal Total
Malam itu, Narin dan Kit menjalankan rencana mereka. Mereka menciptakan tipuan kepada polisi tentang tersangka lain yang tidak ada hubungannya dengan mereka, mengalihkan perhatian pihak berwenang dari tempat persembunyian mereka. Semuanya berjalan lancar—sampai akhirnya tidak.
Perasaan Narin mulai tidak enak saat dia menyadari sesuatu yang aneh. Sebuah mobil telah mengikuti mereka selama sepuluh menit terakhir. Jemarinya menegang di atas sabuk pengaman.
"Kit..." Suaranya terdengar tegang.
"Aku melihatnya," jawab Kit dengan nada yang terlalu tenang.
Tiba-tiba, lampu depan dari belakang mereka menyala terang, suara sirene meraung. Di depan, sebuah pos pemeriksaan polisi.
"Sial!" desis Narin. "Kita terjebak!"
Kit membelokkan mobil ke gang sempit. "Pegangan erat-erat."
Mereka nyaris berhasil melarikan diri, menyelinap masuk ke dalam parkiran bawah tanah. Dada Narin naik turun, adrenalin mengalir deras.
"Apa tadi itu?" bentaknya.
Kit menyeringai. "Santai. Aku bilang, aku yang mengurus ini."
Narin tidak yakin lagi.
Ulang Tahun yang Terlupakan
Keesokan harinya, setelah rapat panjang di kantor, Sam meregangkan tangannya dan bersandar santai di meja Ling. "Baiklah, ayo pergi."
Ling mengangkat wajah dari laptopnya, bingung. "Pergi ke mana?"
Sam menatapnya dengan kaget. "Kau serius? Ling, hari ini ulang tahunnya Orm."
Ling membeku. "Tunggu... Apa?"
Sam mengerang dan menepuk dahinya. "Kau. Benar-benar. Payah."
Wajah Ling memucat. Dia benar-benar lupa. Ulang tahun tunangannya sendiri. Orm selalu mengingat ulang tahunnya, sejak mereka masih kecil, dan dia...
Rasa bersalah merayap di hatinya.
Sam menyilangkan tangan. "Jangan cuma duduk di sana. Ayo pergi sekarang sebelum Orm tahu kalau kau pelupa."
Ling menghela napas. "Baiklah. Ayo."
Kejutan Ulang Tahun
Ling dan Sam tiba di kafe Orm. Begitu mereka melangkah masuk, mata Ling melebar terkejut.
Orang tuanya, Dao, Chloe, Tan, bahkan beberapa staf kantornya sudah berkumpul mengelilingi kue ulang tahun. Semua orang... kecuali Ling... tahu tentang ulang tahun Orm.
Orm menoleh, tersenyum saat melihat Ling. "Kamu datang."
Rasa bersalah Ling semakin dalam. "Tentu saja."
Semua orang bersorak saat mereka memotong kue dan merayakan bersama. Suasana hangat dipenuhi tawa, tapi Ling tetap merasa kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa semua orang tahu kecuali dia?
Ling manyun. "Jadi... semua orang tahu kecuali aku?"
Sam menyeringai. "Yup."
Orm terkekeh. "Jangan cemberut, cintaku. Ini hanya tanggal biasa."
Ling menyilangkan tangan. "Tetap saja, aku seharusnya tahu. Kita berjanji untuk berbagi segalanya."
Orm menangkup wajah Ling dengan lembut. "Aku sungguh minta maaf, sayang. Jangan marah, ya?"
Ling menghela napas, menikmati sentuhan Orm. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku lupa ulang tahunmu."
Orm tersenyum. "Tapi kau ada di sini sekarang, dan itu yang paling penting."
Hati Ling menghangat. Mereka berjalan pulang sambil tertawa, jemari mereka saling bertautan. Tak peduli apapun, Orm selalu membuatnya merasa cukup.
Di Kediaman Keluarga Kwong
Setelah tiba, Ling menuju ke kamar Orm dan mengetuk sebelum masuk, membawa kotak hadiah yang dibungkus rapi.
Orm menoleh, terkejut. "Ling?"
Ling menyeringai. "Kejutan."
Mata Orm berbinar. "Oh wow. Terima kasih, Ling. Bisa kubuka sekarang?"
"Tentu."
Orm dengan semangat membuka kado itu. Begitu melihat isinya, dia tertawa. Chloe menggonggong kegirangan, mengira itu mainan untuknya.
Wajah Ling langsung memucat.
Orm mengangkat sikat gigi berbentuk kelinci. "Ini lucu, Ling. Terima kasih."
Seluruh wajah Ling memerah karena malu. "Selamat malam!" serunya sebelum buru-buru keluar dari kamar.
Orm menatap kepergiannya, menggeleng dengan senyum. "Ling yang konyol."
Sementara itu, di kamarnya sendiri, Ling mengerang. Serius, Nicha? Sikat gigi kelinci?! Dia mencatat di kepalanya untuk memarahi sekretarisnya besok pagi dan membeli hadiah yang layak untuk Orm. Ya ampun... itu sungguh memalukan.
**Author notes: Tenang ya teman².. cerita ini sudah dekat dengan akhir.. jadi aku bakal update pelan².. mungkin 2 chapter per hari mulai hari ini. Dan aku lagi dalam proses terjemahin cerita 'LingOrm' yang lainnya - If Only ke Bahasa Indonesia.. Terima kasih atas dukungannya. Stay tuned!! 🥰