✨ Happy Reading ✨
---------
Lavera baru saja turun dari ojek online saat suara knalpot bising langsung mengganggu pendengaran nya. Belum sempat dia menoleh, motor besar berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya—gaya ngeremnya khas banget. Brutal.
“Lo kenapa nggak nunggu gue jemput?”
Cowok bertubuh tinggi itu turun dari motor dengan gaya petantang-petenteng. Lengan kaus hitamnya menggulung, memamerkan tato tribal yang menjalar dari bahu hingga pergelangan tangan.
Suaranya terdengar galak, tapi mata tajamnya langsung melembut begitu bertemu tatapan Lavera.
Lavera hanya tertawa kecil. “Gue cuma mau beli roti sebentar, Justin. Gue gak enak ngeganggu lo.”
Justin mendengus kesal. Dia membuka helmnya kasar, rambutnya yang sedikit gondrong acak-acakan tapi tetap terlihat keren.
“Gue bilang kan, kemana-mana kabarin gue. Lo pikir gue gak khawatir?”
Lavera tersenyum pelan. “Lo terlalu berlebihan.”
Justin menatapnya dalam, lalu dengan tanpa aba-aba, dia meraih tangan Lavera dan menariknya ke arah motor.
“Naik. Gue anter balik ke rumah.”
“Tapi roti gue—”
“Udah gue beli. Tadi pas lo update story di minimarket, gue langsung beli di tempat biasa. Gue hafal apa yang lo suka,” katanya santai, menyodorkan kantong roti ke tangannya.
Lavera terdiam. Justin selalu begitu—clingy, perhatian, dan hafal semua hal kecil tentang dirinya.
Siang itu, kampus seperti biasa: panas, ramai, dan penuh drama. Tapi Lavera dan Justin seolah punya dunia sendiri.
Mereka duduk di bangku belakang taman kampus, tempat yang paling sering mereka tempati berdua.
Beberapa mahasiswa hanya melirik sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Tidak berani terlalu lama melihat Lavera. Lantaran ada Justin.
Justin Udah kayak penjaga gerbang
neraka kalau udah urusan cewek satu ini.
Justin mencolek pipi Lavera. “Lo udah makan belum?”
“Udah.”
“Makan apa?”
“Nasi goreng.”
“Sendirian?”
“Enggak. Sama Raisa.”
“Cowoknya ikut?”
Lavera melotot pelan. “Justin, lo tanya gue atau interogasi gue sih?”
Justin terkekeh, lalu merentangkan tangannya dan menarik Lavera masuk ke pelukannya.
“Ya siapa tahu gue harus ngasih peringatan lagi ke cowok kampus ini. Biar gak ada yang nyentuh lo sembarangan.”
“Lo tuh gila, tau gak?”
“Tapi gilanya buat lo,” jawab Justin santai sembari menyandarkan dagunya di atas kepala Lavera.
Justin, cowok brutal yang suka gebuk orang kalau emosi, bisa jadi selembut kapas kalau urusannya udah Lavera.
Mulai dari nganterin belanja bulanan, jadi alarm bangun pagi, sampai nemenin ngerjain tugas tengah malam, Justin tidak pernah absen.
“Gue heran,” gumam Lavera tiba-tiba.
Justin menatapnya. “Apa?”
“Lo gak capek jadi bodyguard gue tiap hari?”
Justin mengangkat satu alisnya. “Gue gak ngerasa jadi bodyguard. Gue ngerasa jadi pemilik.”
Lavera membulatkan mata dan melepaskan pelukan mereka. “Pemilik?”
Justin mendekat, suaranya pelan tapi tajam menusuk. “Lo milik gue. Cuma belum gue kunci.”
Yang menjadi pertanyaan nya,emang ada temenan modelan kayak gini?
--------
Semua orang tahu, Lavera dan Justin itu kayak gula dan kopi—berbeda tapi gak bisa dipisahin. Ke mana-mana bareng, nongkrong bareng, bahkan ngerjain tugas pun harus duduk sebelahan.
Bukan karena Justin gak bisa hidup tanpa Lavera, tapi karena dia memang tidak mau.
Justin, cowok bertato yang terkenal galak, jutek, dan gampang ngamuk itu, bisa berubah selembut kapas cuma kalau udah nyentuh Lavera. Gak peduli orang lain ngomong apa, selama Lavera senyum, dunia Justin baik-baik aja.
“Lalaa, sini duduk deket gue. Jauh banget sih,” gumam Justin sewaktu mereka lagi duduk di bangku taman kampus.
Padahal jarak mereka cuma setengah meter.
“Justin, duduk aja sih. Gak usah manja.”
Justin mendengus, lalu geser mendekat dengan gaya santainya yang sok cool. Tangan kanan nya yang penuh tato bersandar di belakang kursi Lavera, hampir melingkari bahunya.
“Gue bukan manja. Gue kangen. Tadi lo seharian sibuk banget sih,” gumam Justin pelan, nyaris hanya terdengar Lavera.
Lavera tertawa kecil. “Justin, lo liat gue tiap hari.”
“Liat doang beda sama bisa peluk, La.”
Lavera terdiam sejenak. Bukan karena malu, tapi karena hatinya sesak.
Bukan sekali dua kali Justin bilang seperti itu. Bukan sekali dua kali dia nunjukin rasa sukanya secara terang-terangan.
Tapi Lavera tidak pernah merespon lebih dari senyuman. Dan bukan karena dia gak suka...
Tapi karena hatinya sudah terikat pada seseorang.
Seseorang yang akan jadi suaminya dalam hitungan bulan.
Dan orang itu bukan Justin.
Dia tahu harusnya dia jujur. Tapi setiap kali Justin menatapnya dengan mata teduhnya yang penuh harap, lidah Lavera kaku. Dia takut kehilangan satu-satunya orang yang selalu ada buat dia.
“Gue gak bisa ngomong sekarang...” bisik Lavera dalam hati, menunduk menatap ujung sepatunya.
“Lo kenapa?” tanya Justin tiba-tiba, matanya menajam.
Lavera menggeleng cepat. “Enggak kok. Gue cuma capek aja.”
Justin langsung berdiri. “Yuk pulang. Gue anter. Gak bisa liat lo kecapekan begini.”
Tanpa menunggu jawaban, dia sudah mengambil tas Lavera dan menarik tangannya lembut.
Semua yang lewat bisa liat, cowok sangar itu berubah 180 derajat kalau udah urusan sama satu nama: Lavera.
Justin posesif, iya. Clingy, parah. Tapi buat Lavera, dia selalu jadi rumah. Meski sekarang... rumah itu bukan tempat yang bisa Lavera tinggali lama-lama.
Di perjalanan pulang, Justin sempat-sempatnya menyuapi Lavera cilok yang mereka beli di pinggir jalan.
Lavera tersenyum tipis. Wajah Justin yang terlihat galak itu berubah jadi anak kecil kalau udah urusan dia.
“Lo gak pernah capek ya, Justin?” tanya Lavera tiba-tiba.
“Capek gimana?”
“Sayang sama gue.”
Justin menoleh. Matanya menyipit, agak terkejut.
“Gue gak bakal pernah capek. Lo tuh... orang pertama yang bikin gue percaya sama rasa nyaman. Lo mikir apa sih, La?”
Lavera menggeleng. “Gak apa-apa...”
Tapi Justin bukan orang yang gampang dibohongin.
"Lavera,” katanya serius. “Kalau lo punya sesuatu yang disembunyiin, gue harap... lo percaya sama gue. Apapun itu.”
Lavera ingin bilang sekarang.
Ingin bilang bahwa cincin pertunangannya udah dia simpan di laci meja kamar.
Ingin bilang bahwa sebentar lagi keluarganya akan mengumumkan tanggal lamaran. Ingin bilang bahwa dia bukan milik siapa pun lagi... termasuk Justin.
Tapi...
Dia menunduk. Lagi-lagi memilih diam.
Karena kehilangan Justin.. rasanya lebih mengerikan dari apa pun di dunia ini.
Haloo AmiiZone!!!🙌
Jangan lupa selalu vote dan komen, karena itu semua berharga banget bagi aku 🎀
Love buat semua AmiiZone yang udah baca sampai akhir!💞