"Takdir cinta adalah sebuah konsep yang seringkali diperdebatkan. Apakah cinta benar-benar sebuah takdir yang sudah tertulis, ataukah semata-mata hasil dari pilihan dan usaha manusia? Mungkin keduanya benar adanya. Sebab, takdir cinta mengajarkan ku bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dengan mudah, namun perjuangan yang aku lakukan akan membuahkan hasil yang manis." ~ Lucas Eremias Klanvi
❤︎❤︎❤︎
HAPPY READING
♡♡♡
Sejak tahu bahwa Aurora hamil, Lucas berubah menjadi overprotective husband sejati.
Aurora bahkan nyaris tak bisa menyentuh gelas tanpa Lucas buru-buru mengambilnya terlebih dulu. Pintu kamar? Lucas yang bukakan. Ke kamar mandi? Lucas tuntun dari samping sambil mendampingi pelan-pelan seolah Aurora baru saja menjalani operasi jantung, bukan sekadar hamil tiga minggu.
"Kak Lucas, aku cuma mau cuci tangan di kamar mandi. Bukan ikut lomba lari maraton," protes Aurora sambil tersenyum jengkel karena suaminya terus membuntuti dari belakang.
Lucas menatapnya seolah Aurora adalah vas kristal antik dari abad ke-18. "Tetap saja. Lantai marmer di kamar mandi itu, licin. Kalau kamu terpeleset, aku bisa terkena serangan jantung mendadak."
Aurora mendengus geli. "Kamu yang hamil atau aku sih?"
"Kalau bisa ditukar, aku rela hamil demi kamu," jawab Lucas cepat. "Tapi karena itu biologisnya tidak mungkin, ya aku jaga kamu dua puluh empat jam nonstop. Deal with it," jawab Lucas tanpa ragu.
Aurora tertawa pelan, lalu menepuk pipi suaminya dengan lembut.
"Kamu manis... tapi serius, ini mulai masuk kategori berlebihan."
Lucas mengangkat bahu, tak merasa bersalah sedikit pun. "Aku hanya menjalankan nasihat dokter: jangan sampai kamu kelelahan, stres, atau kekurangan perhatian. Dan aku yakin... perhatian adalah spesialisasiku."
Aurora menggeleng-geleng tak percaya. Tapi di balik semua kehebohan dan sikap lebay suaminya, hatinya diam-diam meleleh seperti cokelat yang disimpan terlalu lama di bawah matahari.
Mungkin memang seperti inilah bentuk cinta saat ditakar dengan rasa takut kehilangan. Sedikit berlebihan, tapi tulus sampai ke akar.
♡♡♡
Pukul 21:05 PM
Aurora sedang duduk di ranjang sambil membaca buku panduan kehamilan yang diberikan oleh Mama Sintya. Di sampingnya, Lucas sibuk dengan sticky note berwarna-warni, menandai halaman-halaman penting.
"Aku baru baca di sini," ucap Lucas sambil menunjukkan satu halaman. "Kalau ibu hamil kekurangan zat besi, bisa lemas dan pingsan. Mulai besok aku akan akan menyuruh Bibi Grace untuk menyiapkan makanan empat sehat lima sempurna. Dan kamu dilarang makan mie instan dulu!"
Aurora membelalakkan mata. "Loh, mie instan kan comfort food-ku."
Lucas memasang wajah tegas. "Tidak ada bantahan. Anak kita jauh lebih penting daripada sebungkus mie instan murahan."
Aurora hanya bisa menatap suaminya dengan wajah setengah sebal setengah gemas. Tapi saat melihat Lucas menempelkan post-it kecil bertuliskan: "Untuk Baby Klanvi 💛" di sudut buku, Aurora terdiam. Hatinya mencair sepenuhnya.
Aurora mendekat, menyandarkan kepala ke bahu Lucas. "Kamu sadar tidak, kamu bisa jadi terlalu banyak bicara sekarang?"
Lucas terkekeh. "Salahkan anak kita. Sejak tahu dia ada, aku jadi Daddy paling cerewet sedunia."
Alis Aurora terangkat. "Daddy? kamu mau dipanggil Daddy?"
Lucas tersenyum malu-malu. "Iya. Biar beda... dan kamu akan di panggil Mommy."
Aurora tersenyum lembut. "Aku suka. Kamu cocok banget dipanggil Daddy... soalnya kamu kan sugar daddy-ku," godanya, membuat Lucas terbahak.
Aurora menatap Lucas dengan tatapan penuh arti. "Aku suka kamu yang seperti gini. Yang khawatir berlebihan. Yang membuat aku merasa seolah aku adalah harta paling berharga."
Lucas menoleh, menatap dalam ke arah istrinya. Ia mengangkat dagu Aurora, lalu mengecup keningnya penuh sayang.
"Kamu memang harta paling berharga, Sayang. Dan anak kita... adalah permata yang akan aku jaga dengan nyawa sekalipun."
Aurora memejamkan matanya perlahan, menarik napas dalam-dalam seolah ingin menyimpan momen ini selamanya. Di kedalaman hatinya, Aurora mengirimkan ucapan terima kasih yang tulus kepada semesta.
Ternyata, hidup memang tak pernah diam di satu titik. Seperti roda yang terus berputar, ia membawa manusia melewati masa-masa terkelam hingga pada akhirnya tiba di cahaya yang terang. Dulu, Aurora pernah berada di titik paling rendah dalam hidupnya—Terjebak dalam lingkaran obsesi beracun, dan luka yang tak kunjung sembuh. Hari-harinya dipenuhi air mata yang seolah tak habis, malam-malamnya dihantui kenangan yang menyakitkan.
Namun, waktu tak pernah berhenti berjalan. Perlahan, luka itu mengering. Langkah yang dulu tertatih kini mulai mantap. Dan hari ini, Aurora berdiri di puncak kehidupannya. Tersenyum di antara kebahagiaan yang dulu hanya ia anggap mimpi. Aurora yang dulu hancur, kini telah bangkit. Ia menemukan cinta, kedamaian, dan harapan.
Kehidupan memang bagai roda. Dan kini, setelah melewati kelamnya kehidupan, Aurora menikmati hangatnya mentari di puncak takdirnya—Sebagai bukti bahwa badai seberat apa pun, pasti akan berlalu.
♡♡♡
Hari-hari berganti seperti lembaran buku harian yang terisi perlahan, namun penuh makna. Waktu tak terasa berjalan, diam-diam mengukir musim baru dalam kehidupan pernikahan mereka. Dan kini, usia kandungan Aurora telah memasuki bulan ketiga.
Tiga bulan yang mungkin terdengar singkat bagi dunia luar, namun bagi Lucas dan Aurora, setiap harinya adalah keajaiban kecil yang tumbuh di antara rutinitas dan tawa ringan di rumah mereka.
Tubuh Aurora mulai berubah perlahan. Perutnya masih terlihat ramping, tapi ada benjolan kecil yang manis saat ia menyentuhnya setiap malam sebelum tidur. Seolah tengah menyapa kehidupan baru yang diam-diam tumbuh di dalam rahimnya. Hormon mulai bermain, membuat emosinya naik-turun, membuatnya menangis hanya karena hal-hal yang sepele, atau mengidam sesuatu yang kadang menguji kesabaran Lucas.
Contohnya seperti sekarang...
Aurora membuka matanya perlahan. Perutnya keroncongan hebat, seperti sedang demo minta diperhatikan. Ia melirik ke arah jam dinding, yang ternyata sudah pukul dua dini hari.
"Astaga..." desisnya lirih. "Tapi laper banget..."
Padahal tadi malam Aurora sudah makan steak medium well dengan mashed potato dan sup krim jamur, lengkap dengan dessert mousse cokelat yang manis. Tapi sekarang, rasanya semua itu menguap entah ke mana. Yang ada di pikirannya hanya satu: Nasi goreng.
Aurora ingin makan Nasi goreng!
Tanpa banyak pikir, Aurora menggoyangkan bahu Lucas yang sedang tidur di sampingnya. Lelaki itu mengerang pelan.
"Kak... Kak Lucas... Bangun sebentar..."
Lucas membuka sebelah matanya perlahan. "Hmm... ada apa, Sayang?"
"Aku lapar."
Lucas mengerjap. "Lapar? tadi malam kan kamu udah makan banyak?"
"Aku tahu... tapi ini beda. Aku lapar lagi. Aku ingin nasi goreng," ucap Aurora sambil duduk dan mengusap perutnya.
Lucas mendesah. "Sayang... sekarang sudah jam dua pagi. Mana ada yang jual nasi goreng jam segini. Restoran tutup, pedagang kaki lima juga sudah tidur di rumah mereka."
Aurora langsung cemberut. "Tapi aku maunya sekarang. Ini bukan aku doang yang lapar, tapi anak kamu juga."
Lucas memejamkan mata sejenak. "Iya, aku tahu itu anak aku. Kan aku yang buat dia..."
Aurora melipat tangan di dada, menunggu.
Lucas melanjutkan dengan nada pasrah, "Tapi sekarang semua tempat makan tutup, Sayang. Aku juga bukan pesulap yang bisa memunculkan pedagang nasi goreng dari udara."
Aurora mendekat, menatap suaminya dengan mata besar berbinar penuh harap. "Kalau gitu... kamu aja yang masak nasi goreng buat aku."
Lucas langsung terduduk. "A-apa? masak?! aku?! aku tidak salah dengar, Sayang?"
Aurora mengangguk polos. "Iya, masa sih masak nasi goreng aja nggak bisa? kamu cuma perlu masukin nasi, telur, kecap, bumbu... aduk-aduk... selesai deh. Gampang kok."
Lucas menggeleng cepat, ekspresinya seperti orang yang baru saja diminta membongkar bom waktu.
"Sayang... kalau aku yang masak, bisa-bisa kamu keracunan. Aku belum pernah sekalipun masuk dapur sepanjang hidupku. Serius. Bahkan pegang wajan saja aku bingung yang mana gagangnya... gimana kalau aku ke paviliun sekarang, bangunin Bibi Grace, biar dia yang masakin kamu nasi goreng?"
Aurora hanya diam. Tapi matanya... mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibir, lalu memunggungi Lucas, berbaring dengan pelan sambil mengelus perutnya yang membuncit manis, seolah sedang menenangkan bayi di dalam sana.
"Daddy kamu udah nggak sayang lagi sama kita, Nak..." bisiknya lirih, disertai isakan kecil yang pecah dalam hening.
Lucas membeku. Kalimat itu... seperti peluru yang menembus jantungnya tanpa ampun.
Tatapan bersalah mengisi wajahnya. Hatinya diremas-remas. Sial... kenapa Aurora selalu tahu cara membuatnya merasa seperti pria paling kejam dan tak berguna di dunia?
Lucas menghela napas panjang, lalu akhirnya bangkit dari ranjang. "Ya Tuhan, demi cinta dan keturunan ku."
Lucas berjalan keluar kamar, mengenakan kaus oblong dan celana pendek seadanya. Begitu sampai di dapur, ia memandang sekeliling seperti orang tersesat.
"Mana sih itu wajan... atau panci? Sama aja, ya?"
Lucas membuka YouTube di ponselnya, mengetik dengan frustasi: 'cara membuat nasi goreng gampang dan cepat.' Ia menonton dengan wajah serius, seperti tengah belajar membongkar bom waktu.
Beberapa menit kemudian...
CLANG!
BRUKK!
TSSSSS!!
Dapur mendadak seperti zona perang. Nasi berceceran, telur sempat pecah di lantai, dan entah kenapa wajan sempat nyaris terbakar gara-gara Lucas salah menyalakan kompor. Tapi Lucas tak menyerah. Ia aduk nasi, campur bumbu instan yang ia temukan di lemari dapur, tambahkan kecap, dan... selesai.
Di piring, terbentuk satu porsi nasi goreng dengan telur orak-arik, bentuknya... tak terlalu buruk. Asapnya masih mengepul.
Beberapa menit kemudian...
Aurora masih memunggungi tempat tidur, mencoba tidur lagi meski perutnya protes. Tapi saat pintu kamar terbuka dan aroma nasi goreng menguar... matanya langsung terbuka.
Lucas muncul dengan nampan di tangan, lengkap dengan sendok dan segelas air putih. Wajahnya kucel, rambut acak-acakan, dan kausnya ada noda kecap.
Padahal, Lucas adalah seorang CEO yang disegani di kalangan para pebisnis. Dingin, tegas, dan nyaris tak tersentuh. Tapi malam ini, ia berdiri di dapur dengan celemek kusut dan wajah lelah, memasak seperti duda malang yang baru ditinggal pergi istrinya.
Dan semua ini Lucas lakukan... hanya demi Aurora.
"Nasi goreng darurat... ala suami tercinta," ucapnya pelan.
Aurora menoleh, menatap Lucas dengan pandangan terharu. "Kamu beneran masak?"
Lucas mendengus lelah. "Kalau bukan untuk kamu dan anak kita, aku tidak akan mau perang sama dapur tadi. Serius, itu lebih menegangkan dari rapat direksi."
Aurora duduk, menerima piringnya. Setelah suapan pertama masuk ke mulut...
"...ini enak," bisiknya.
Lucas ternganga. "Serius?"
Aurora mengangguk, sambil terus mengunyah dengan senyum bahagia. "Mungkin karena aku kelaparan. Atau mungkin karena dimasakin sama suami aku."
Lucas tersenyum kecil, lalu duduk di samping istrinya. "Kalau kamu setiap malam ngidam, aku bisa jadi chef dadakan setiap hari, Sayang."
Aurora menyuap lagi, lalu bersandar di bahu Lucas. "Tapi jangan protes lagi ya? kalau aku minta dibikinin sesuatu tengah malam..."
Lucas mendecak. "Terserah kamu, yang penting jangan minta nasi goreng pakai truffle dan lobster hidup, tengah malam juga. Kalau itu, aku akan pingsan duluan."
Aurora tertawa kecil mendengar itu. Lucas mencium puncak kepala istrinya dengan sayang. Ia menatap Aurora dengan mata yang penuh cinta dan kebahagiaan tak terhingga. Hatinya berdebar-debar. Rasa syukur dan harapan membanjiri jiwa nya.
Dulu, Lucas pernah kehilangan arah, tersesat dalam obsesi yang membungkam hatinya. Namun, perlahan, sebuah cahaya lembut hadir dalam hidupnya—Sebuah cinta yang tulus dan penuh pengertian. Cinta itu membimbingnya, menuntun setiap langkahnya keluar dari bayang-bayang kelam.
Kini, Lucas berdiri di hadapan kebahagiaan sejati, bukan sekadar kebahagiaan yang fana, tapi kedamaian yang mengalir dari hati yang terpaut pada cinta sejati. Dengan cinta sebagai pelita, Lucas melangkah pasti menuju hari-hari penuh harapan dan kehangatan.
- To be continued -
❤︎❤︎❤︎
Gemes bngt ga sih pasutri ini? 😋🤏
Bener-bener definisi habis gelap terbitlah terang!
Eits!!! Tapi jangan terlalu bahagia dulu pren hehe😈
❤︎❤︎❤︎
Spam "Next Queen" Here 🥂
see u💋