抖阴社区

10.| Rumah untuk puspa

590 36 0
                                        

Mentari senja mulai meredup saat Arya dan Puspa akhirnya tiba di depan rumah sederhana yang telah dipersiapkan untuk mereka. Bangunan kecil dari kayu itu tampak tenang di tengah ladang luas yang seolah memisahkan mereka dari dunia luar. Rumah itu tidak besar, hanya memiliki satu pintu utama dan jendela kecil yang kini tertutup rapat. Meski sederhana, halaman depannya bersih dan rapi. Beberapa tanaman liar tumbuh di sudut, memberi kesan alami.

“Ini tempatnya,” ujar Arya singkat sambil menatap rumah tersebut.

Puspa memperhatikan dengan seksama. Meski ia terbiasa dengan kemewahan di masa depan, ia tidak bisa menahan kekaguman terhadap kehangatan dan kesederhanaan rumah itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tenang.

“Sepertinya... nyaman,” Puspa berkata dengan lembut, mencoba menutupi rasa asingnya terhadap lingkungan ini.

Arya menatap Puspa sekilas, lalu melangkah maju untuk membuka pintu. “Mari masuk. Kita harus memastikan semuanya siap.”

Puspa mengikutinya perlahan. Begitu pintu terbuka, aroma kayu yang khas langsung menyambut. Bagian dalam rumah itu jauh lebih sederhana daripada yang ia bayangkan. Hanya ada satu ruangan besar yang dibagi menjadi beberapa area dengan perabotan minimal. Sebuah tikar tergelar di lantai, sementara meja kayu kecil berdiri di sudut ruangan.

Arya menunjuk ke sebuah pintu di sisi kanan. “Di sana ada ruang tambahan untuk beristirahat. Kau bisa menggunakannya.”

Puspa mengangguk. “Terima kasih... ini lebih dari cukup.”

Arya duduk di kursi kayu sederhana di dekat meja dan mengambil sebungkus bekal yang dibawanya sejak pagi. Ia membukanya perlahan, menawarkan makanan itu kepada Puspa. “Kita makan dulu sebelum beristirahat.”

Puspa mengambilnya dengan senyuman kecil. Meski ia tahu Arya tidak banyak bicara, perhatian kecil seperti ini membuatnya merasa dihargai. Mereka makan dalam keheningan, hanya ditemani suara serangga malam yang mulai terdengar dari luar.

Setelah selesai, Puspa berdiri dan melihat sekeliling.

“Aku ingin membersihkan diri. Apa ada tempat khusus untuk mandi?” tanyanya, merasa canggung mengingat tempat ini berbeda jauh dari apa yang biasa ia gunakan.

Arya menunjuk ke luar, ke arah sebuah sumur kecil di sisi rumah.

“Di sana ada sumur dan tempat bilas. Airnya dingin, jadi bersiaplah.”

Puspa terdiam sejenak, menatap ke arah yang ditunjukkan Arya. Ia tidak menyangka harus mandi di tempat terbuka seperti itu, tetapi ia tahu tidak ada pilihan lain. “Baiklah,” katanya dengan nada ragu.

Arya berdiri, mengambil lentera dari meja, dan menyerahkannya kepada Puspa. “Bawa ini. Malam di sini gelap.”

Puspa menerima lentera itu sambil menatap Arya. “Kau tidak akan... mengintip, kan?” tanyanya dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit kekhawatiran di dalamnya.

Arya menghela napas pelan. “Aku tidak punya waktu untuk hal bodoh seperti itu. Cepatlah.”

Puspa terkekeh kecil, lalu melangkah keluar dengan lentera di tangannya. Ia berjalan menuju sumur, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana sekitar yang gelap dan dingin. Suara gemericik air dari sumur itu terdengar menenangkan, meski udara dingin mulai menusuk kulitnya.

Setelah memastikan sekitarnya aman, Puspa mulai membersihkan diri dengan cepat. Ia tidak bisa menahan perasaan canggung dan sedikit takut berada di tempat terbuka seperti ini, tetapi ia mencoba menenangkan diri.

Sementara itu, Arya tetap berada di dalam rumah, memastikan keadaan sekitar tetap aman. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh risiko, tetapi ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga Puspa.

Ketika Puspa kembali, wajahnya sedikit memerah karena dinginnya air sumur tadi.

“Airnya benar-benar dingin,” katanya sambil menggosok kedua lengannya untuk menghangatkan tubuh.

Arya hanya mengangguk. “Istirahatlah. Besok kita punya banyak hal yang harus dilakukan.”

Puspa menatap Arya sejenak sebelum masuk ke ruang istirahatnya. Meski pria itu dingin dan tidak banyak bicara, ia mulai menyadari bahwa ada sisi lain dari Arya yang membuatnya merasa nyaman.

Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka berdua mempersiapkan diri untuk tantangan berikutnya. Di rumah sederhana itu, mereka menemukan sedikit kedamaian di tengah kekacauan yang terus membayangi mereka.

Setelah beres-beres, malam itu suasana rumah sederhana itu begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik dan gelegak api dari tungku yang diletakkan Arya di sudut ruangan. Puspa, yang duduk di dekat pintu, merasa canggung dengan situasi ini. Arya yang biasanya banyak memberi perintah kini lebih diam, hanya sibuk mengasah senjatanya di atas sebatang batu kecil.

“Aku tidur di mana?” tanya Puspa akhirnya, memecah keheningan.

Arya menoleh, meletakkan senjata di sampingnya. “Di sana.” Ia menunjuk sudut ruangan tempat sebuah tikar sudah digelar. Di dekatnya terdapat bantal kecil dan selimut tipis.

Puspa menatap tikar itu dengan ragu. “Cuma itu? Tidak ada kasur?”

Arya mendesah. “Ini rumah persembunyian, bukan istana. Kau tidur saja di situ. Aku berjaga di depan.”

“Aku tidak bisa tidur kalau alasnya keras,” Puspa mengeluh, meskipun ia tahu Arya tidak akan peduli.

“Cobalah untuk terbiasa. Kita tidak tahu berapa lama akan berada di sini.”

Puspa mendengus pelan, tetapi ia tidak membantah lagi. Dengan enggan, ia berjalan ke tikar itu dan duduk sambil melipat kakinya. Ia mengamati Arya yang kini sibuk memeriksa gulungan kertas di tangannya, seolah ada sesuatu yang penting di dalamnya.

“Kau serius akan tinggal di sini lama?” tanya Puspa lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Arya mengangguk tanpa menoleh. “Setidaknya sampai keadaan aman. Kau juga harus menjaga peranmu. Kalau ada yang mencurigai kita, semua rencana ini bisa berantakan.”

Puspa terdiam. Perannya sebagai wanita hamil memang sudah membuatnya merasa aneh, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain ikut alur Arya. “Bagaimana kalau ada yang datang ke sini dan bertanya-tanya?”

Arya menatapnya tajam. “Kau diam saja. Biar aku yang menjawab. Dan kau harus ingat, jangan melakukan apa pun yang bisa menarik perhatian.”

“Tapi aku bosan,” balas Puspa sambil memeluk lututnya. “Aku tidak bisa hanya duduk-duduk di sini tanpa melakukan apa pun.”

“Bosan itu lebih baik daripada mati,” jawab Arya singkat.

Puspa menatapnya dengan kesal, tetapi ia tidak bisa membantah. Ia hanya bisa menarik napas panjang, lalu berbaring di tikar. Selimut tipis itu tidak cukup hangat untuk melawan udara dingin malam, tetapi ia mencoba untuk tidur.

Namun, Puspa tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Di luar, Arya tetap berjaga, tatapannya fokus ke kegelapan ladang di depan rumah, sementara di dalam dirinya ada banyak hal yang ia pikirkan—terutama tentang bagaimana menjaga Puspa tetap aman.

Lintang Di Langit Majapahit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang