Fajar menyibak kabut tipis yang menyelimuti istana Majapahit. Langit masih bersemu jingga keemasan, dan suara ayam jantan bersahutan dari kejauhan. Angin pagi membawa aroma embun dan bunga-bunga yang masih segar setelah semalaman ditiup angin lembut. Di dalam bangunan pengantin, suasana masih sunyi dan hangat, seolah waktu belum benar-benar bangun.Puspa membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, tapi hatinya ringan. Ia tidak segera bangkit. Hanya berbaring, menatap langit-langit kayu berukir yang dibalut cahaya keemasan dari matahari pagi. Di sampingnya, tubuh Arya masih terlelap, napasnya tenang, wajahnya damai.
Puspa menoleh pelan, menatap lelaki yang kini sah menjadi suaminya. Sosok yang dulu ia kenal sebagai sosok keras dan tak tersentuh, kini ada di sampingnya, begitu nyata dan dekat. Ia mengangkat tangan dan menyentuh pipi Arya dengan ujung jarinya. Lembut, penuh rasa syukur.
"Kangmas..." bisiknya nyaris tak terdengar, seperti sekadar percakapan dengan hati sendiri. "Apa ini semua nyata?"
Arya menggeliat pelan. Kelopak matanya bergerak lalu membuka. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Puspa yang tengah menatapnya. Ia tersenyum, mata masih setengah terpejam.
"Iya... nyata. Kau merasa ini hanya mimpi?"
Puspa mengangguk kecil. "Tapi kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun."
Arya tertawa kecil, suaranya berat tapi hangat. Ia menarik tubuh Puspa mendekat, membiarkannya bersandar di dadanya.
"Mboten mimpi, estriku. Iki nyata. (Bukan mimpi, istriku. Ini nyata.)Dan aku akan menemani kamu menghadapi setiap pagi setelah ini."
Mereka terdiam lagi, tapi bukan karena hening kosong. Ada ketenangan yang mengisi ruang itu, seperti alam pun tengah menyambut hari baru dalam hidup mereka.
Puspa bangkit perlahan dan duduk di tepi dipan. Rambutnya terurai, berantakan dengan manis. Ia menarik kain tipis untuk menyelimuti bahunya, lalu melangkah pelan menuju jendela. Ia membuka kisi-kisi kayu itu, membiarkan cahaya masuk sepenuhnya. Burung-burung kecil beterbangan di kejauhan, dan langit Majapahit membentang luas di hadapannya.
Arya menyusul, memeluknya dari belakang. "Wajahmu seperti embun pagi, Puspa. Membawa ketenangan."
Puspa tersenyum kecil. "Kangmas juga... kayak matahari yang menghangatkan. Tapi... lebih dari itu, Kangmas tuh rumah."
Mereka berpelukan lama di jendela itu, membiarkan angin pagi menyentuh wajah mereka. Dunia seolah berhenti, memberi mereka waktu untuk mengukir kenangan pertama sebagai sepasang suami istri.
Tak lama, ketukan pelan terdengar dari pintu.
"Ampun ngganggu, Raden Arya, Gusti Puspa... (Mohon maaf mengganggu...)" suara pelayan dari luar.
Arya menjawab, "Monggo mlebet."
Seorang dayang masuk membawa baki berisi air hangat, bunga setaman, dan kudapan kecil untuk sarapan ringan. Ia menunduk dalam, lalu meletakkan baki itu di atas meja kecil.
"Titah dari Sang Prabu, panjenengan dipun suwun rawuh wonten kaputren pas surya nginggil. (Perintah dari Sang Raja, kalian diminta hadir di kaputren saat matahari naik.)"
Arya mengangguk. "Sampun. Matur nuwun."
Setelah pelayan keluar, Puspa mendudukkan diri di depan cermin besar bertatahkan ukiran bunga dan burung. Ia mulai menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya masih lelah, tapi ada cahaya baru yang memancar dari sorot matanya.
Arya mendekat, lalu mengambil sisir dari tangannya. "Biar aku saja."
Puspa terkejut sejenak. "Kangmas mau nyisirin rambutku?"
Arya tersenyum. "Mau. Iki bagian saka ngopeni. (Ini bagian dari merawatmu.)"
Tangannya menyisir rambut Puspa dengan pelan dan sabar. Dalam hening itu, Puspa memejamkan mata. Ia merasa seperti anak kecil yang dijaga dengan sepenuh hati. Tidak ada lagi dinding, tidak ada lagi waktu yang membatasi.
"Kangmas... aku mau belajar jadi istri yang baik. Tapi kalau nanti aku aneh... atau terlalu modern... jangan marah, ya."
Arya tertawa pelan. "Kamu sudah jadi yang terbaik untukku. Tak ada aturan pasti. Cukup cinta."
Puspa membalik badan, menatapnya. "Aku cinta Kangmas. Bukan karena Kangmas panglima, bukan karena Majapahit. Tapi karena hatiku milih Kangmas."
Arya menyentuh pipinya. "Dan aku mencintaimu, meskipun kau berasal dari dunia lain."
Mereka akhirnya bersiap untuk berangkat ke kaputren, menemui Sang Raja dan keluarga istana. Puspa mengenakan busana yang lebih sederhana namun tetap anggun, dengan rambut disanggul rapi dan selendang melilit bahu. Arya mengenakan kain tenun dengan warna gelap dan sabuk emas, wajahnya bersinar dalam wibawa baru sebagai pria yang telah menggenapi janji sucinya.
Saat mereka berjalan berdampingan di lorong istana, para pelayan dan pengawal memberi hormat. Namun tatapan mereka bukan sekadar hormat pada bangsawan, tapi pada sepasang kekasih yang telah melalui waktu dan takdir untuk bersatu.
Sesampainya di kaputren, Baginda Hayam Wuruk menyambut mereka dengan senyum bijaksana.
"Kalian tampak seperti sinar pagi yang membawa harapan baru," ujar Baginda. "Majapahit bersyukur memiliki kalian."
Puspa menunduk dalam. Arya membungkuk dengan sikap hormat.
"Paduka, matur nuwun sampun paring pangestu. (Paduka, terima kasih telah memberikan restu.)"
Sang Prabu mendekat dan menggenggam tangan mereka berdua. "Majapahit telah melalui banyak badai. Tapi aku percaya, selama masih ada cinta tulus seperti ini, kerajaan akan tetap berdiri kokoh."
Setelah itu, keluarga kerajaan dan para sesepuh perempuan memberikan nasihat kepada Puspa. Nenek tua dari desa, yang dahulu pertama kali menolong Puspa saat baru datang ke Majapahit, juga hadir.
Ia menghampiri Puspa, matanya berkaca-kaca. "Ndok, kowe saiki wes dadi garwane panglima. Tapi ojo lali, dadi bojo iku ora mung nglayani, nanging ngewangi. (Nak, kamu sekarang sudah jadi istri panglima. Tapi jangan lupa, menjadi istri bukan hanya melayani, tapi juga membantu.)"
Puspa memeluk nenek itu dengan haru. "Nenek nggak pernah aku lupain. Nenek rumah pertamaku di sini."
Nenek tersenyum sambil menepuk punggung Puspa. "Kabeh wong butuh omah. Lan saiki, omahmu ana ing njero atine Arya. (Setiap orang butuh rumah. Dan sekarang, rumahmu ada di dalam hati Arya.)"
Hari itu berjalan dengan lambat namun penuh makna. Setelah seluruh prosesi istana selesai, Puspa dan Arya kembali ke kediaman mereka. Senja menyambut mereka dalam nuansa temaram keemasan.
Puspa duduk di serambi, menyandarkan kepalanya di bahu Arya. Mereka menatap langit bersama. Tak ada yang mereka kejar. Tak ada yang mereka sesali. Dunia boleh berubah. Zaman boleh berganti. Tapi hari itu-hari setelah janji suci mereka-telah menjadi milik mereka selamanya.
"Kangmas... besok kita mulai hidup baru ya."
Arya mengangguk. "Hidup baru. Tapi dengan cinta yang lama."
Dan senja pun menutup hari dengan lembut, seolah semesta berbisik cinta ini telah bertahan, dan akan terus bertahan, selama waktu masih berjalan
---
Aku lagi nulis cerita time travel lain nya tapi ini tahun 1960 an. Tungguin ya cerita ku yang lain. Jangan lupa kasih votenya. Follow akun ku juga dong

KAMU SEDANG MEMBACA
Lintang Di Langit Majapahit [END]
Historical FictionPuspa Anggraini, seorang gadis modern, secara misterius terlempar ke zaman Majapahit di era kejayaan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Tanpa mengetahui bagaimana ia bisa sampai ke sana, Puspa harus bertahan hidup di dunia yang asing baginya, di mana...