抖阴社区

57.| Dalam Pelukan Ibu

289 19 7
                                        

Udara pagi menyusup perlahan ke sela-sela jendela rumah Senapati, membawa bau tanah basah dan sisa dupa dari malam sebelumnya. Suara kokok ayam terdengar jauh di kejauhan, namun tidak cukup untuk mengusir senyap yang menggantung di dalam rumah. Di kamar tengah, lampu minyak masih menyala redup, menemani dua sosok yang kini menjadi pusat dari segalanya-Puspa dan bayinya.

Puspa duduk bersandar pada bantal-bantal besar, rambut panjangnya dikepang dua, dan matanya masih menyisakan lingkar kehitaman. Ia belum tidur dengan tenang sejak hari itu, sejak tubuhnya menggigil dalam peluh dan dunia mengabur di hadapan mata. Tapi kini, di pelukannya, ada kehidupan kecil yang hangat dan bernapas lembut.

Bayi itu terbungkus kain putih halus, kepalanya menyandar di dada Puspa. Jari-jarinya mungil, menggenggam ujung kain seolah tidak ingin lepas. Dan Puspa, untuk pertama kalinya sejak malam kelam itu, tersenyum tipis. Bukan karena semua baik-baik saja, tapi karena keajaiban itu nyata. Buah cinta mereka telah datang.

Ia membelai kepala anaknya perlahan, seolah setiap sentuhan bisa menghapus luka di dadanya sendiri. Sesekali, ia berbisik lirih, tak lebih keras dari desir angin, seperti seorang ibu yang mencoba menenangkan bayinya, padahal justru ia sendiri yang butuh ditenangkan.

"Nak... maafkan Ibu, kalau Ibu belum bisa memberimu dunia yang utuh. Tapi Ibu akan menjaga kamu, meskipun hati Ibu belum utuh juga..."

Dayang tua masuk perlahan membawa semangkuk air hangat dan sehelai kain bersih. Wajahnya menua oleh waktu, tapi sorot matanya lembut penuh kasih.

"Mbakyu... bayi ini sehat sekali. Matanya cerah, badannya kuat. Panjenengan pun sudah lebih segar dari kemarin."

Puspa mengangguk pelan. "Aku hanya belum tahu bagaimana caranya jadi seorang ibu. semuanya terasa lambat, tapi juga menusuk."

Dayang itu tersenyum. "Menjadi ibu bukan soal tahu caranya, Mbakyu. Tapi tentang mencintai tanpa syarat. Bayi panjenengan sudah tahu panjenengan adalah ibunya. Itu cukup untuk mulai."

Pelan-pelan, Puspa membuka kain selimut yang membungkus bayinya. Ia melihat kaki kecil itu, tangan mungil yang sesekali menggeliat, dan dada kecil yang naik-turun pelan. Ada kehidupan yang tumbuh dari rahimnya, dari cintanya, dari perjalanannya yang ganjil melintasi zaman.

Hari itu, ia belajar memandikan bayi untuk pertama kalinya. Bidan desa menuntunnya dengan sabar. Air hangat dituangkan sedikit demi sedikit ke tubuh si kecil yang meringis tapi tidak menangis. Puspa mencuci tubuh mungil itu dengan hati-hati, seperti memegang helaian mimpi yang rapuh.

"Lembut saja, Mbakyu... tangan panjenengan sudah cukup tenang," ujar sang bidan, memberi semangat.

Setelah dibersihkan, bayi itu dibalut kain baru, dan disusui oleh ibunya di tepi jendela yang terbuka. Cahaya pagi masuk, menyentuh kulit keduanya-ibu dan anak-dalam pendar keemasan yang menenangkan.

Puspa menatap wajah bayinya lama sekali. Ada garis lembut di alisnya, bentuk hidung yang mengingatkannya pada seseorang. Bibir mungil yang sedikit mengerucut saat menyusu, dan mata yang belum terbuka sempurna namun sudah bisa membaca kegundahan ibunya.

"Kamu mirip Kangmas," bisiknya. Suara itu hampir tak terdengar. Hanya bayinya yang mendengar, dan mungkin angin pagi yang lewat sebentar.

Sejak saat itu, hari-hari Puspa dipenuhi oleh rutinitas yang baru menyusui, menimang, menidurkan, mengusap peluh kecil di kening mungil. Ia mulai terbiasa dengan suara tangis dan rengekan lembut. Tangannya mulai terampil mengganti kain dan menenangkan gelisah.

Setiap malam, ia menidurkan bayinya dengan nyanyian lama yang dia pelajari dari para abdi. Suaranya lembut, sedikit bergetar, tapi penuh perasaan

"Tidur, tidur lelap Tidurlah di pangkuan ibu Jika kau menangis, hati ini hancur Jika kau tersenyum, hidup ini anugerah"

Tangis bayi mereda, dan Puspa akan duduk menatap bintang lewat celah atap, bertanya-tanya apakah langit yang sama juga sedang menaungi Kangmas Arya di medan yang jauh. Tapi ia tak lagi menangis seperti dulu. Ia menyimpan tangisnya untuk dirinya sendiri, dan memberi senyum untuk bayi itu.

Kadang, malam terasa sangat panjang. Angin dari luar membawa bau lembab dan bisik-bisik yang tak bisa dipahami. Tapi ketika bayi itu menggeliat dalam tidurnya, mencari pelukan, Puspa segera menyambutnya. Ia belajar bahwa cinta seorang ibu bisa mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan ketidakpastian.

Orang-orang di sekitar mulai menyapa bayi itu dengan berbagai panggilan. Ada yang menyebutnya "Ndara Alit", ada yang memanggilnya "Jabang Bayi", bahkan beberapa petani dari desa menyebutnya "Penerus Arya". Tapi Puspa hanya diam, mengangguk pelan setiap kali ditanya soal nama.

Ia tak menolak, tapi juga tak memberi.

Suatu pagi, Puspa membawa bayinya keluar ke halaman belakang. Di sana, pohon randu menjulang, dan rerumputan tumbuh liar. Ia menggelar tikar dan duduk bersila, membaringkan bayinya di pangkuan.

"Lihat, Nak... di sinilah dulu Ibu sering duduk, menunggu. Menunggu kabar, menunggu waktu, menunggu... Kangmas Arya."

Angin membelai rambutnya. Bayi itu menatap ibunya, seolah paham tiap kata meski belum mengerti maknanya.

"Sekarang, Ibu tidak hanya menunggu. Ibu hidup, bersamamu. Kita berdua... harus kuat, ya?" Wajahnya basah oleh embun yang menetes dari ujung rambut. Atau mungkin itu air mata yang tak sempat jatuh malam sebelumnya.

Ia tak ingin hari-harinya dipenuhi kesedihan. Maka ia isi dengan hal-hal kecil menanam bunga baru di pekarangan, menenun sehelai kain kecil untuk membalut tubuh bayi, belajar membuat ramuan untuk memperbanyak air susu, mendengarkan cerita para abdi.

Tapi di antara semua itu, waktu yang paling ia tunggu adalah saat senja, saat langit berubah warna. Karena ia percaya, di balik warna jingga yang membakar langit, ada harapan yang belum padam. Dan mungkin, hanya mungkin, Kangmas Arya juga sedang menatap langit yang sama di ujung sana.

Dan di pelukannya, bayi itu tertidur dengan tenang. Sebab, meski dunia belum memberi semua jawaban, pelukan ibu adalah rumah pertama yang tak pernah goyah.

Nama boleh belum terucap. Tapi cinta... telah lebih dulu hidup dan menyatu dalam setiap detak napas kecil itu.

Lintang Di Langit Majapahit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang