Eliot duduk di tepi tempat tidurnya, napasnya masih memburu setelah pertemuannya yang menyesakkan dengan Leonidas dan Damian. Rasanya seperti dikelilingi dua predator yang siap mencabik-cabiknya kapan saja. Kedua pria itu… mereka tidak mengenal batas.
Dan yang lebih buruknya—mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan dirinya sepenuhnya.
Ia menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan ini. Namun, siapa yang bisa ia hubungi? Kedua pria itu punya pengaruh yang begitu besar. Tidak ada yang bisa membantunya lepas dari mereka.
Pikiran Eliot berkecamuk. Leonidas, dengan aura dingin dan kekuasaan mutlaknya sebagai CEO, bisa menghancurkan hidupnya dalam sekejap. Sementara Damian, di balik wajah lembut dan sikap tenangnya sebagai dokter, menyimpan sisi gelap yang jauh lebih menakutkan.
"Aku harus menjauh dari mereka," bisik Eliot pada dirinya sendiri, meskipun di lubuk hatinya ia tahu betapa mustahilnya hal itu.
Namun, pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar di genggamannya. Nama yang tertera di layar membuat tubuhnya menegang.
Leonidas.
Eliot menggigit bibirnya, jari-jarinya bergerak ragu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengabaikan panggilan itu. Tapi hanya berselang beberapa detik, pesan masuk memenuhi layar.
> Leonidas: Kau mengabaikanku lagi, Sayang?
Leonidas: Aku bisa datang menjemputmu jika kau memaksa.Pikiran Eliot berputar liar. Ia tahu pria itu tidak sedang bercanda. Jika Leonidas mengatakan akan datang, maka ia pasti akan melakukannya—dan Eliot tidak ingin membayangkan konsekuensinya.
Namun, sebelum ia sempat membalas, ponselnya bergetar sekali lagi. Kali ini, sebuah pesan dari Damian.
> Dr. Damian: Eliot, aku ingin melihatmu. Jangan buat aku kehilangan kesabaran.
Tubuh Eliot menegang. Keduanya benar-benar tidak memberi ruang untuk bernapas.
Dengan gemetar, ia mencoba mengabaikan pesan itu. Namun, ketukan keras di pintu apartemennya membuatnya tersentak kaget. Napasnya tercekat di tenggorokannya.
Tidak mungkin.
Mereka datang?
Dengan hati-hati, Eliot berjalan menuju pintu. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia merasa telinganya berdengung. Ia mengintip melalui lubang intip, dan yang dilihatnya membuat darahnya membeku di dalam tubuhnya.
Leonidas.
Pria itu berdiri di sana, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya, wajahnya yang dingin memancarkan otoritas yang tidak bisa ditolak. Dan yang membuatnya semakin buruk—tepat di belakangnya berdiri Damian, dengan tatapan tajam yang penuh klaim.
Mereka datang. Bersama.
Ketukan di pintu semakin keras.
"Buka pintunya, Eliot," suara Leonidas terdengar rendah dan mengancam. "Atau aku akan membukanya sendiri."
Eliot tahu ia tidak punya pilihan. Jika ia membiarkan mereka menunggu lebih lama, keadaan hanya akan semakin memburuk.
Dengan tangan gemetar, ia memutar kenop pintu dan membukanya perlahan.
"Kalian tidak bisa terus meneror hidupku seperti ini," kata Eliot dengan suara yang mencoba terdengar tegas, meskipun ia tahu kedua pria itu bisa melihat kegugupan di matanya.
Leonidas melangkah masuk tanpa diundang, matanya menelusuri Eliot dari kepala hingga kaki seolah menilai apakah ia baik-baik saja. Damian menyusul di belakang, menutup pintu dengan lembut—tapi Eliot bisa merasakan ketegangan yang berdenyut di udara.
"Kau menghindari kami," suara Leonidas terdengar dingin, tapi ada sesuatu yang jauh lebih berbahaya di balik ketenangannya.
"Aku hanya butuh ruang," Eliot membela diri, berusaha memertahankan kendali.
Namun, Damian tidak memberi kesempatan. Ia melangkah lebih dekat, tubuhnya nyaris menempel pada Eliot. "Ruang?" gumamnya, jemarinya terangkat menyentuh garis rahang Eliot dengan lembut—terlalu lembut untuk seseorang yang menyimpan begitu banyak ancaman di balik ketenangannya. "Kami tidak memberimu pilihan untuk menjauh."
Eliot mundur selangkah, tapi Leonidas sudah berada di belakangnya. Pria itu menariknya masuk ke dalam lingkaran kekuasaannya, lengannya yang kuat melingkari pinggang Eliot, memerangkapnya di antara mereka berdua.
"Aku bukan milik kalian," Eliot mencoba melawan, tapi suara itu kehilangan kekuatannya ketika Leonidas memiringkan kepala, menatapnya dengan intensitas yang membakar.
"Kau sudah menjadi milik kami sejak awal, Sayang," desis Leonidas di telinganya. "Dan aku tidak pernah berbagi. Jika aku mengizinkan Damian di sini, itu hanya karena aku tahu kita memiliki tujuan yang sama."
"Kami tidak akan membiarkanmu pergi," Damian menambahkan, suaranya lebih lembut tapi sama mengancamnya. "Dan semakin kau mencoba melawan, semakin kami akan menjeratmu."
Eliot merasakan gelombang ketakutan sekaligus sesuatu yang jauh lebih dalam dari itu mengalir melalui tubuhnya. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat aman dari mereka.
Ia terjebak—sepenuhnya.
Dan bagian yang paling menakutkan?
Mungkin, di suatu tempat di dalam dirinya… ia mulai menerima kenyataan itu.
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
2 Enigma
FanfictionDi hadapannya, terpampang jelas gambar hitam-putih yang bergerak samar-dua bayangan kecil yang nyaris tidak bisa dipercaya oleh akalnya. Dua janin. Di dalam tubuhnya.