Eliot menatap pintu apartemennya yang kini terasa seperti penjara. Ia duduk di sofa, lututnya terlipat, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dua hari berlalu sejak insiden di kantor Leonidas dan pertemuan tak terduga dengan Damian. Namun, bayangan mereka terus menghantuinya—terutama kata-kata mengancam yang seolah terukir dalam benaknya.
"Kau milik kami."
Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan dan memeriksa layarnya. Nama Leonidas terpampang jelas di sana.
Eliot menelan ludah. Ia tahu jika ia mengabaikannya, konsekuensinya akan jauh lebih buruk. Dengan napas tertahan, ia menggeser layar untuk menerima panggilan itu.
"Ya?" Suaranya terdengar lemah, jauh dari nada percaya diri yang biasa ia tunjukkan di hadapan orang lain.
"Kau di mana?" Suara bariton Leonidas terdengar dingin dan tegas. Tak ada sapaan atau basa-basi, hanya tuntutan murni yang tak memberi ruang untuk penolakan.
"Di apartemen."
"Bagus," gumam Leonidas. "Aku akan menjemputmu. Kita perlu bicara."
Sebelum Eliot bisa membantah, panggilan itu terputus. Ia meremas ponselnya erat, frustrasi bercampur ketakutan memenuhi dadanya. Ia tahu bahwa bicara dengan Leonidas bukanlah sesuatu yang bisa ditawar.
Beberapa menit kemudian, suara bel berbunyi. Eliot mematung di tempatnya, tetapi ia tahu pria itu tidak akan pergi jika ia mengabaikannya. Dengan langkah berat, ia membuka pintu.
Leonidas berdiri di ambang pintu, mengenakan jas hitam yang membentuk siluet dominannya. Tatapan matanya tajam, memperingatkan Eliot bahwa ia tidak berada di sini untuk bermain-main.
"Aku tidak mengundangmu masuk," gumam Eliot, meskipun ia tahu itu sia-sia.
Leonidas tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. "Aku tidak butuh undangan." Dengan sekali langkah besar, ia memasuki apartemen dan menutup pintu di belakangnya.
Eliot mundur perlahan, mencoba menjaga jarak. Namun, Leonidas tidak memberinya kesempatan. Dalam sekejap, pria itu sudah berdiri di hadapannya, menekan punggungnya ke dinding.
"Kau menghindar dariku," tuduh Leonidas, suaranya rendah namun tajam. "Kau pikir aku tidak tahu? Aku bisa mencium rasa takutmu dari jauh, Sayang."
Eliot mencoba mengatur napasnya yang memburu. "Aku bukan milikmu, Leonidas."
Mata Leonidas menyala ganas mendengar penolakan itu. Ia menyentuh dagu Eliot dengan kasar, memaksa lelaki itu menatap langsung ke matanya.
"Ulangi itu," bisiknya, "dan aku akan memastikan kau tahu betapa salahnya perkataanmu."
Eliot menggigit bibir bawahnya, tidak mau menyerah begitu saja. "Aku tidak bisa dikendalikan."
Leonidas terkekeh rendah, suara yang membuat bulu kuduk Eliot meremang. "Kau sudah berada di genggaman kami sejak lama, Sayang. Kau hanya belum menyadarinya."
Sebelum Eliot sempat membalas, suara bel berbunyi lagi. Mereka saling memandang, dan untuk sesaat, sesuatu yang gelap melintas di mata Leonidas. Ia melangkah mundur, memberikan Eliot ruang untuk membuka pintu.
Jantung Eliot berdetak lebih cepat saat ia membuka pintu—dan di sana berdiri Damian. Dengan mantel panjang dan tatapan penuh klaim, dokter itu tampak seperti malaikat maut yang datang untuk mengambil haknya.
"Aku mengganggu?" Tanya Damian, meskipun senyum dinginnya menunjukkan bahwa ia tahu persis apa yang sedang terjadi.
Leonidas melipat tangan di dada, menatap pria yang dianggapnya sebagai gangguan. "Kau selalu tahu kapan harus muncul, Dokter."
Damian mengabaikan sindiran itu dan melangkah masuk, memeriksa Eliot dari kepala hingga kaki seolah memastikan pria itu baik-baik saja. "Kau tidak menjawab pesanku, Eliot."
"Aku tidak perlu menjawab semua pesanmu," Eliot mencoba terdengar tegas, meskipun ia merasa terkepung di antara dua pria ini.
Damian berjalan mendekat, mengangkat tangan untuk menyentuh leher Eliot dengan lembut. "Tapi aku mengkhawatirkanmu." Sentuhannya terasa dingin di kulit Eliot, berbeda dengan panas membakar yang selalu dipancarkan Leonidas.
Leonidas mendengus, tatapannya mengeras. "Lucu sekali. Kau berpura-pura peduli, tapi aku tahu niatmu, Damian."
"Kau juga tidak jauh berbeda," balas Damian dengan nada tajam. "Bedanya, aku tidak memaksa."
"Jangan mengujiku." Leonidas melangkah maju, aura ancaman menyelimuti ruangan. "Karena aku tidak berbagi."
Eliot merasa napasnya tercekat di tenggorokan. Dua pria dominan ini berdiri di depannya, siap saling menghancurkan demi memilikinya. Ia tahu bahwa jika ia tidak segera menghentikan mereka, segalanya bisa berakhir buruk.
"Berhenti," desaknya, mencoba menenangkan ketegangan di antara mereka. "Kalian berdua tidak memiliki hak atas hidupku."
Namun, kata-katanya hanya memperkeruh suasana.
"Kami memiliki hak atasmu, Eliot," ucap Damian, kali ini suaranya lembut namun mematikan. "Karena kau sudah menjadi bagian dari kami, suka atau tidak."
Leonidas menambahkan, "Dan jika kau berpikir bisa memilih di antara kami—kau salah besar. Karena aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambilmu dariku."
Tubuh Eliot bergetar ringan di bawah tatapan penuh obsesi mereka. Ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Tidak ada jalan keluar. Tidak ketika kedua pria ini begitu terobsesi hingga rela menghancurkan dunia hanya untuk memastikan ia tetap berada di sisi mereka.
Dan yang lebih buruk lagi—ia mulai merasa bahwa sebagian dari dirinya tidak lagi ingin lari.
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
2 Enigma
FanfictionDi hadapannya, terpampang jelas gambar hitam-putih yang bergerak samar-dua bayangan kecil yang nyaris tidak bisa dipercaya oleh akalnya. Dua janin. Di dalam tubuhnya.