抖阴社区

16 - b

13.6K 2.8K 274
                                    

Niar merasa hari-hari setelahnya bagai dalam neraka. Keenan memang tidak menemuinya kembali. Karena untuk sementara memang tidak ada alasan sama sekali bagi mereka untuk bertemu.

Aku nggak menghindar! Bantah Niar keras kepala, ketika dia memilih datang lebih pagi demi menghindar bertemu dengan 'jenis manusia tidak diinginkan' yang kemungkinan terjadi.

Aku juga nggak menyesal atas semua yang aku katakan! Persetan dia mau pecat aku karena alasan kurang ajar pada atasan. Aku nggak takut! Emangnya dia Tuhan, yang bisa menentukan rezeki seseorang!

Eh tapi kamu nggak capek apa, berantem mulu sama diri sendiri? Berargumen tak menentu hanya di dalam kepalamu?

"Ndre!"

Andre yang sedang berbicara bersama beberapa karyawan baru, terkejut mendengar panggilan Niar.

"Iya, Mbak? Ada apa?"

"Kamu udah lihat lokasi pabrik yang baru?" tanya Niar. Menanyakan bangunan yang berada agak jauh di luar kota.

"Belum, Mbak. Para driver selalu menolak kalau saya minta antar ke sana."

"Ya udah, kalau gitu biar aku aja yang ke sana."

"Ha?" Andre terbelalak kaget. "Itu jauh banget lho, Mbak? Mbak Niar mau pergi sama siapa? Dan kapan."

"Sendiri. Aku mau ke sana hari ini."

"Aduh Mbak, nyetir ke sana agak rawan, karena jalurnya barengan sama kendaraan besar-besar ...."

"Kamu lupa biasanya kerjaanku di mana? Pabriknya masih di dalam kota, Ndre. Apa yang susah dari itu?"

Andre menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, ya. Mbak Niar kan engineer, biasa masuk-masuk hutan. Maaf, Mbak. Saya lupa. Tapi kalau pergi sekarang apa waktunya nggak mepet, Mbak? Ini Jumat lho, emang terkejar ntar baliknya ke kantor?"

Niar tersenyum. Membenahi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. "Aku ke sana dan nggak balik ke sini lagi. Langsung pulang, ntar," katanya sambil mencangklongkan tas di bahu. "Yuk, ya, semua. Aku duluan!" pamitnya sambil melambai.

Mending dia keluar gedung ini sebelum kepalanya meledak jadi gila. Pria berengsek itu benar-benar telah menjajah otaknya, membuatnya jadi serba salah. Kalau dia tidak bisa mendinginkan pikiran ke lapangan, apa daya, dia hanya punya lokasi pabrik yang bisa didatangi.

Hari Sabtu pagi, setelah gagal membuat janji dengan Yasma, karena cewek itu sedang kena flu berat, akhirnya dengan mengiba-iba Niar menelepon Mbak Ari, memohon untuk ditemani. Untung saja seniornya itu menyanggupi untuk bertemu seketika.

"Syaratnya, kamu bantuin jagain duo bocah ini, ya. Aku udah stress banget ngurusin mereka yang kayak nggak ada berentinya."

"Oke, Mbak. Siap!"

Apa pun lah. Yang penting dia punya teman bicara. Bahkan diketawain Mbak Ari pun Niar rela.

Sayangnya, bukannya tertawa atau ngomel-ngomel seperti biasa, Mbak Ari malah menatapnya dengan pandangan iba. "Kayaknya kamu harus keluar dari rumah itu deh, Dek."

Niar terkejut. "Maksud Mbak Ari? Yang bikin aku nggak nyaman itu di kantor, Mbak. Bukan di rumah."

"Tinggal sendirian nggak bagus buat kamu. Mending kamu cari kos-kosan deh. Yang ada temennya gitu."

"Bukannya itu kemunduran?"

"Kemunduran apa? Strata finansial? Siapa bilang? Kamu masih bisa nyewain rumah kamu sama orang lain. Paling nggak dengan ngekos, kamu akan punya teman, Dek. Nggak sendirian. Bisa tinggal rame-rame, punya teman jalan, atau semacam itu lah. Circle di dunia kerjamu nggak sehat. Masa iya kamu juga harus kesepian di lingkungan sosial?"

Beyond The EdgeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang