Niar menghabiskan malam itu dengan melamun seperti orang sinting. Ternyata sekian lama tidak terlibat asmara sekali pun dengan seorang pria, membuat sensornya sepeka ini. Over sensitif malah. Ya ampun, sentuhan ringan kayak gitu aja kenapa bisa bikin aku merona seperti orang gila? Untung aku sudah melewati fase perempuan merana yang sehari-hari mempertanyakan nasib kepada cermin. Pikir Niar dengan sedih. Teringat bagaimana dulu dia berdiri berjam-jam di depan cermin hanya untuk menyakiti diri sendiri dengan pertanyaan, kenapa aku nggak menarik sama sekali?
Sungguh proses yang tidak mudah untuk menemukan kepercayaan diri seperti sekarang ini. Menerima keadaan apa adanya. Meyakini bahwa dia baik-baik saja. Tidak ada masalah dengan wajahnya yang memang susah tersenyum, tidak bersahabat dengan kamera, dan membuat banyak orang merasa terintimidasi. Bukankah hal itu yang menjadi senjata utama dalam pekerjaannya? Membuatny tidak mudah dipermainkan orang. Sekaligus menjaganya dari berbagai hal negatif lain.
Saat ini sumber kebahagiaannya memang baru sebatas capaian dalam pekerjaannya, dan memiliki kualitas finansial yang baik karena bisa mencukupi diri sendiri tanpa merepotkan orang lain. Tetapi kenapa orang tidak terkesan pada kelebihan itu dan memilih fokus mengomentari kekurangan terbesarnya? Yaitu menjomlo hingga di usia kepala tiga.
Setelah semalaman susah tidur dengan kepala penuh berbagai pikiran, di hari Minggu pagi, Niar bangun dengan perasaan frustasi. Dalam kondisi mental yang serapuh ini, adalah ide buruk untuk menghadiri acara kumpul-kumpul bersama teman-temannya. Teman-teman kuliah yang kebetulan tinggal di wilayah ini.
Jadwal pertemuan hari ini juga ditentukan dengan susah payah. Melalui serangkaian penundaan karena berbagai hal, terutama kompromi waktu dan kesibukan. Sampai akhirnya diputuskan, apa pun kondisinya, acara hari ini harus jadi. Dan Niar juga harus menerima berbagai kalimat yang sudah sangat familier baginya seperti : "Niar mah single, pasti bisa datang," dan "Bisa dong dibantu reservasi tempat. Kan kamu nggak perlu rempong urusan anak dan suami?"
Sayangnya, mereka adalah teman-teman kuliah, yang mengenal Niar ketika masih menjadi gadis culun dan lugu, yang sehari-hari menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas atau ikut organisasi sana-sini. Bukan untuk gaul bersama kelompok-kelompok mahasiswa lain yang memiliki komunitas lebih bergaya darinya. Bersama mereka, Niar seperti kembali ke masa lalu. Hanya sanggup mengamati jalannya pembicaraan, tanpa memiliki keinginan untuk menyampaikan pendapatnya sendiri.
Setengah hati, Niar berangkat menuju ke venue acara tiga puluh menit lebih awal dari teman-temannya yang lain. Karena dia perlu memastikan reservasi yang telah dibuat sebelumnya, terproses seperti janji yang sudah disepakati. Sayangnya, setelah memastikan segala sesuatu sudah oke, hingga pukul sebelas siang, tidak satu pun teman-temannya muncul di tempat. Membuatnya duduk sendirian seperti orang kurang kerjaan.
Ya Tuhan! Setua ini kenapa dia masih bego juga sih? Merasa tertipu dengan teman-temannya. Dengan kesal Niar membuka tutup layar ponselnya. Dan terkejut ketika tiba-tiba Keenan menghubunginya.
"Kamu sakit lagi?" tanya Niar spontan di detik pertama terhubung.
"Niar, kenapa kamu senang sekali kalau aku sakit?" tanya Keenan terdengar kesal.
Niar tersenyum tanpa sengaja. Dalam kondisi nganggur nggak jelas seperti ini, menjadi babysitter Keenan kayaknya lebih menarik deh. "Sorry."
"Kamu serius nih, ketika mengatakan akan ada acara bersama teman-teman kamu?"
Nada mengejek dalam suara Keenan terdengar seperti hiburan di telinga Niar. "Begitulah. Harusnya sih jam sebelas aku ada acara sama teman-teman kuliah. Tetapi sampai jam segini mereka belum nongol."
"Dan kamu sedang menunggu sendirian?"
"Emang sama siapa lagi sih?" Niar sudah bener-bener tak peduli kalau dia terkesan sangat menyedihkan di depan Keenan. Toh, pria itu sudah melihat sisi memalukan dari dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Edge
ChickLitNiar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan Cakra salah dalam membuat keputusan? Kalau bisa berkolaborasi, buat apa-apa harus ekspansi? Bukankah itu tindakan bodoh yang menyia-nyiakan s...