"Tapi, Mbak. Mana ada sekarang teman cewek sepantaran yang bisa diajakin nongkrong? Mereka rata-rata udah kayak dirimu, Mbak. Sedangkan kalau sama yang lebih muda juga susah. Karena mereka juga lebih seneng bergaul dengan orang sebaya. Bukan sama orang-orang yang lebih tua.
"Mbak ingat kan sama Wury? Dari SBP? Kurang gimana aku baiknya, coba? Aku yang mewawancara dia, menerima dia, melatih sampai jadi pegawai yang bagus. Tapi di belakang, coba apa yang dia bilang soal aku? Tante-tante nyinyir nggak bahagia! Hanya gara-gara aku tegur ketika dia melakukan kesalahan fatal terkait laporan pajak!"
Kalau mengingat hal itu, Niar masih kesal. Meskipun dia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa setelahnya. Hanya saja sejak itu Niar memilih menjaga jarak dengan perempuan-perempuan lebih muda. Kalau selama ini mereka menerimanya, mungkin karena posisinya yang penting sebagai atasan mereka.
"Tapi gimana pun, Dek, hidup sendiri nggak bagus buat kamu. Mbak bisa bayangin deh, ketika sendirian, kamu akan lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Yang ujung-ujungnya overthinking nggak karuan. Lama-lama kamu bisa jadi hypersensitive, Dek."
"Jadi Mbak Ari anggap apa yang terjadi denganku dan Bos Keenan ini karena aku hypersensitive?" Niar bertanya dengan kesal.
"Bukan sama Bos Keenan, Dek. Tapi sama Yasser!"
"Kok Yasser, sih? Itu orang udah nggak ngaruh kali, Mbak!" protes Niar.
"Siapa bilang? Di kepalamu tuh ya, nama Yasser masih bertengger di posisi pertama. Kamu belum sepenuhnya move on dari pengalamanmu dengan dia. Jadi semua hal kamu ukur pakai parameter hubungan nggak jelasmu itu sama Yasser. Paham, Dek?"
Niar cemberut kesal. "Tapi Keenan emang ngeselin, Mbak. Aku bingung ngadepinnya."
"Cuekin aja, sampai dia nyerah. Gitu aja kok repot. Kamu tuh ya, judesnya udah dapet. Maksimal malah. Masa iya ngadepin pria labil kayak gitu nggak bisa sih? Dan Mbak nggak usah nanya deh, kamu nggak takut dipecat, kan?"
"Nggak dong! Mau pecat mah, hayuk aja! Kemarin aku masuk Cakra tanpa ribut-ribut karena penasaran aja. Kerja di perusahaan kayak gitu gimana rasanya. Padahal kalau aku nolak pun, emang Yasser bisa apa?"
"Awas Dek, jangan kebanyakan sebut nama Yasser. Longgarin itu isi kepalamu, buang Yasser pada tempatnya, biar legaan. Siapa tahu dengan begitu kamu bisa melihat pria lain dengan perspektif berbeda."
"Emang mau lihat Keenan dengan perspektif gimana lagi sih?"
"Bukan Keenan juga kali! Masa iya satu gedung isi ratusan orang, mata kamu lihatnya Keenan doang? Rugi amat!"
Dan Niar masih gondok oleh ucapan seniornya. Meskipun dia tidak menyangkal karena apa yang dikatakan itu ada benarnya juga.
***
Hari Kamis pagi, minggu berikutnya. Tanpa sengaja Niar bertemu Jimmy Cakra yang sedang berbincang dengan seseorang. Orang asing, yang belum pernah dia tahu. Mungkin klien. Jimmy Cakra sebagai Marketing Director pasti memiliki jaringan yang luas.
Merasa ada yang sedang mengamati, Jimmy Cakra menoleh. "Hallo, Miss!" sapanya.
Niar yang bermaksud cepat-cepat menuju ke lift. "Ya?"
"Miss Niar, kan?"
Niar mengangguk. Sopan santun mewajibkannya untuk menghampiri orang yang jabatannya jauh lebih tinggi itu, serta menerima jabatan tangannya. "Apa kabar? Kerasan kan, bekerja di sini? Saya harap Pak Keenan tidak terlalu memaksa Anda untuk bekerja keras. Dia memang workaholic tulen."
Setelah berbasa-basi sejenak, Niar pun berlalu. Tetapi sesuatu mengganjal di pikirannya, membuatnya tidak berhenti menduga apa yang salah dari sosok sepupu Keenan tersebut. Dia ingat istri yang dibawa pria itu pada saat pesta. Yang menurut istri Pak Rusdi adalah putri salah satu pengusaha kelas atas juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond The Edge
ChickLitNiar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan Cakra salah dalam membuat keputusan? Kalau bisa berkolaborasi, buat apa-apa harus ekspansi? Bukankah itu tindakan bodoh yang menyia-nyiakan s...
16 - b
Mulai dari awal