Sydney, 29 Juni 2010.
"Faustineza Adrian!" seru mamanya, "berhati-hatilah, jangan berlari!"
Gadis berusia tiga belas tahun itu tak acuh, begitu semangat setelah menemukan manga yang dia cari. Langkahnya seperti melompat menelusuri pelataran toko buku terbesar di Sydney. Meski kedua tangannya menampung tumpukan manga yang menggunung.
Cuaca panas, sepertinya tak membuat gadis berambut sebahu itu berhenti. Tentu saja, mengabaikan peringatan mama dan papanya untuk berhati-hati. Dia berpikir, suasana toko buku lengang, tidak ada masalah bukan, sekadar berkeliling sambil berlari.
Bruk!
Gadis berambut sebahu itu membeku, tumpukan manga—yang tadi dia pegang berpindah tempat, berserakan di tanah. Mulut kecilnya hampir mengumpat kata kasar. Namun urung dilakukan, manganya lebih penting. Cepat-cepat menjatuhkan dengkul untuk memunguti komik favoritnya itu.
Faustineza, menyadari ketika memunguti manganya, seseorang berdiri di hadapannya. Alih-alih menyalahkan diri sendiri karena menabraknya, dia memilih menyalahkan laki-laki—yang sedang berdiri itu. "Apa kau tidak punya mata?" pekiknya tanpa menoleh, masih berjongkok, berusaha memunguti komiknya yang berserakan di bawah kaki seseorang.
Orang itu tetap diam, tak bergeming. Tubuhnya yang jangkung membuat gadis itu mendongak untuk mencari wajahnya.
"Apa kau tuli?" tanyanya dengan nada kesal. Nihil jawaban. Dadanya semakin bergejolak. Dia mendengkus."Apa aku sedang berbicara dengan tembok?" sentaknya tak sabar. Dan masih tidak ada respon membuat gadis itu merasa gemas. "Apa kau tidak mau membantuku?!" lanjutnya kesal masih tanpa menoleh. Bibirnya dimajukan seperti mirip Donald Duck.
Gadis—yang masih berusia tiga belas tahun itu, bahkan tidak tahu siapa yang sudah ditabraknya. Hanya melihat bayangan tubuh—yang tampaknya tinggi menjulang di tanah.
Terdengar helaan napas. "Dasar gadis ceroboh!" Lelaki itu bersedekap, Fau memutar bola mata.
Bagi gadis tiga belas tahun, nan lugu, suara dalam—dan berat seperti itu, membuat dadanya menderap.
Tanpa diduga, lelaki yang ditabraknya, ikut berjongkok dan mulai membantu memunguti komik yang berserakan. Kuduknya pun merinding.
"Lain kali, hati-hati," ucapnya datar. Tangan lelaki itu sigap memunguti manga yang berserakan, menaruhnya di tumpukan yang ada di dada gadis itu.
Gadis berambut cokelat itu sekuat tenaga berdiri, sambil membawa tumpukan manga yang sudah dia bereskan. Dadanya masih bergemuruh mendengar suara dalam cowok itu.
Lalu, sebuah kesalahan terjadi menemukan sepasang mata cokelat tua milik laki-laki asing yang kini tengah menatapnya lekat.
Tanpa sadar, gadis mungil itu menelan ludah. Selama tiga belas tahun hidup, dirinya belum pernah melihat laki-laki dengan jenis ketampanan seperti ini.
"Kenapa?" Cowok itu mengangkat alisnya, pongah.
"Apa?" sahutnya linglung. Sial, pesonanya benar-benar membuatnya tidak berkutik. Bahkan mengalahkan pesona lelaki jepang yang menjadi cosplay anime favoritnya!
"Terpesona denganku, eh?" Laki-laki itu mengulas senyuman miring. "Yah, kuakui aku memang tampan," dia terlihat sedikit menegakan dagu."Tapi....,"
"Tapi?" Fau mengulang ucapan cowok tinggi itu sembari menahan napas.
"Aku bukan pedofil!" lanjutnya jenaka. Senyuman miring terulas di bibirnya.
Sadar baru saja dipermainkan, gadis berkaus cokelat itu berseru galak. "Apa kau bilang?!"
"Kau imut, tapi aku tidak tertarik dengan gadis kecil," sahutnya santai, sambil bersedekap, seolah apa yang dikatakannya hanyalah angin lalu.
Faustineza menatap garang ke arah laki-laki asing yang kini sudah beranjak dari posisinya. "Siapa yang kau bilang gadis kecil?!"
"Siapa lagi?"
Faustineza, berusaha keras menenangkan emosinya. Tidak memperlihatkan kemarahannya di tempat umum, terlebih di negeri orang bisa-bisa mempermalukan dirinya sendiri.
Cowok—yang menurut pandangan Fau tampan itu, masih menatapnya dengan tatapan bertanya saat Faustineza mendengkus. Kemudian memutar badan, memilih pergi dengan perasaan kesal yang membuncah di dada."Dasar lelaki sial!" umpatnya dalam hati.
Namun, gadis—yang masih tergolong bocah itu, mengingat tatapan setajam elang dengan mata cokelatnya. Juga, suara dalam nan berat yang selalu mengalun dalam hidupnya semenjak pertemuan pertama—yang tak disengaja itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)
RomanceFaustineza Adrian tidak bisa melupakan pertemuan pertamanya dengan sosok laki-laki asing yang ditemuinya di Kinokuniya, sepuluh tahun silam. Laki-laki tengil yang menjadi cinta pertama Fau yang kala itu masih berusia tiga belas tahun. Eduardo Lavins...