Mobil yang dikendarai Edo sudah menjauhi kediaman William, tetapi, Fau masih bersungut. Ketenangan di kabin mobil tidak mengubah kepalanya menjadi dingin.
"Mau sampai kapan kau marah-marah seperti itu, Faustineza Adrian?" Edo tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya melihat wajah suram Fau karena insiden kecil dengan Will. Matanya sesekali melirik ke gadis yang duduk di sampingnya, lalu menatap jalanan lagi. Jemarinya tanpa sadar mencengkeram erat kemudi.
"Will benar-benar menjengkelkan. Seandainya si tiang listrik itu bukan suami Rucita, aku sudah menendang bokongnya ke Sungai Amazon!"
Laki-laki berjaket parka itu tertawa. Menurutnya, sikap Fau yang demikian membuat gadis itu semakin menarik di matanya. "Will hanya ingin melindungimu, Fau. Aku bisa memahami itu." Edo menatap gadis bersweater itu sekilas, sambil bergumam dalam hati, "Aku pun akan melakukan hal yang sama jika ada laki-laki yang mendekati Aisha."
"Bela saja terus!" Wajah tirus Fau masih tertekuk, membuang pandangan ke arah jendela. Mengamati jalanan yang terlewat dengan rasa kesal yang masih membuncah di dadanya.
"Sudahlah, lupakan Will. Kita masih punya waktu ...," Edo melirik jam. "Kurang lebih sebelas jam untuk jalan-jalan."
Fau menoleh sekilas ke arah Edo dan terdiam. Benar juga. Daripada kesal berlarut-larut, lebih baik dia memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi ada kesempatan.
"Kamu mau ke mana?"
"Terserah!" Fau mengulas senyum lebar. "Aku ingin menikmati musim semi di Bukares sekaligus mencari inspirasi untuk novel baruku."
"Umm, sebenarnya, aku sudah membuat daftar. Tapi kau bisa menggantinya sesukamu kalau mau." Edo menyodorkan block notes berwarna hitam dari laci dashboard.
"Sebenarnya ...." Fau menggigit bibir, sedikit bimbang ingin menyuarakan suara hatinya. "Aku ingin mengunjungi kastil drakula. Tapi Will dan Rucita selalu melarang pergi ke sana sendirian sementara mereka berdua selalu sibuk dengan pekerjaan."
Edo menoleh sekilas sebelum kembali fokus mengemudi. "Oh, jadi kau mau kita ke sana?"
"Kalau kau tak berkeberatan. Ya." Fau menurunkan alis, memberi wajah memohon.
"Hahaha. Baiklah, kita masih punya banyak hari kan untuk mengunjungi daftar itu?"
Fau tidak bisa menyembunyikan rona merah yang menjalar di pipi seputih pualamnya. "Kita? Apakah dia masih berencana mengajakku pergi lagi?" Pikirnya dalam hati.
Seolah mengerti isi pikiran gadis itu, Edo menambahkan. "Aku masih punya waktu tujuh hari di Bukares." Pandangannya kembali menatap jalanan, sambil berguman, "tujuh hari sebelum Will menghilang." Lalu, menghilangkan gelisahnya, dia lempar lagi pandangannya ke gadis manis itu. "Tidak ada salahnya bukan kita menghabiskan waktu bersama disini sebagai turis? Toh, kita kan memang turis."
Renault yang dikendarai laki-laki itu masih membelah jalanan kota Bukares yang lengang dan teratur di pagi hari.
"Baiklah." Fau mengulas senyum tulus. "Aku masih punya waktu sampai musim semi usai."
"Wow, bukankah itu masih lama?"
"Yah, kurang lebih tiga minggu lagi. Aku bosan di rumah dan sebenarnya juga bosan di rumah Will tapi apa mau dikata, mereka berdua benar-benar posesif padaku."
"Tentu saja. Musuh Will banyak." Gumam Edo dalam hati, lalu tersenyum miris. Dia yakin, tidak hanya Keneti yang mengincar William Bowell mengingat segala hal yang telah dilakukan pria itu di masa lalu. Hal itu pastinya akan berdampak pada keamanan keluarganya.
"Mereka menyayangimu. Sudah, jangan mulai lagi. Kau harus bisa membangun suasana hati yang bagus hari ini karena kita akan ke kastil drakula sekarang!"
Tanpa diduga, Eduardo Lavinski memanuver mobilnya dengan gerakan cepat dan mengambil jalan yang berlawanan arah sebelum mengemudikan mobilnya dengan cepat.
"Kau gila!" Fau tergelak sembari mencengkeram seatbeltnya erat-erat. "Aku nyaris jantungan tadi."
"Aku jauh lebih jantungan melihatmu mencekal kerah Will yang nyaris setinggi pintu penginapanku." Kelakarnya tanpa menoleh.
Tawa gadis berambut serupa karamel itu meledak. "Bukan masalah. Aku pemegang sabuk hitam karate."
"Benarkah?" Edo lantas menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya terkejut. "Aku merasa memiliki lawan tandingan seandainya kau bukan seorang perempuan."
"Hey jangan pernah meremehkanku, Tuan Lavinski!" Fau menatap laki-laki yang tengah mengemudi di sampingnya tidak terima. "Memangnya kenapa kalau aku perempuan?"
"Hahaha!" Lelaki bermata cokelat gelap itu tertawa saat Fau memukulinya dengan tenaga yang tidak seberapa. "Aku pemegang sabuk hitam judo. Memangnya kau ingin kubanting?" Tawanya masih berderai, "lagipula, aku tidak mungkin tega membantingmu."
"Tak masalah." Sahutnya berapi-api. "Kau bisa membantingku, kalau bisa."
Tangan lelaki itu memindahkan persneling, sambil melirik. "Benarkah?" manik laki-laki itu berkilat. "Bagaimana jika aku membantingmu di kasur saja?"
"Apa kau bilang?!" suara Fau melengking, mengambang di kabin mobil.
"Bukankah lebih enak jika dibanting di kasur?" Edo menyeringai saat melihat gadis itu melotot.
"Mesum!"
Edo adalah orang yang menarik. Meskipun tengil dan terkadang cenderung jaim tetapi selalu bisa membuat Fau tertawa lepas. Rasanya sayang jika dilewatkan hanya terdiam, kebanyakan mereka banyak berbicara.
Sesekali gadis itu melirik ke arah laki-laki itu dan mengabaikan pemandangan kota yang sebenarnya sayang untuk dilewatkan. Sudut wajah Edo yang tampan dari samping membuat Fau berkali-kali berusaha menahan senyum.
Manusia mana pun bersedia membunuh siapa pun demi melihat keindahan sepanjang jalan yang dihiasi bangunan gotik dan hal-hal antik yang memuaskan pandangan siapapun. Kecuali Fau, pikirannya terlanjur melanglang buana, berimajinasi teentang laki-laki yang berada di balik kemudi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)
RomanceFaustineza Adrian tidak bisa melupakan pertemuan pertamanya dengan sosok laki-laki asing yang ditemuinya di Kinokuniya, sepuluh tahun silam. Laki-laki tengil yang menjadi cinta pertama Fau yang kala itu masih berusia tiga belas tahun. Eduardo Lavins...