Edo baru saja menyelesaikan sesi olahraga di penginapannya saat ponselnya berbunyi. Menghela napas, mata besarnya melirik layar gawai yang sebelumnya tergeletak di kasur, satu muncul satu nama, Keneti Balthazar membuatnya mendengkus. Siapa sangka, itu sahabatnya sejak kecil yang kini bertentangan dengannya.
"Jangan lupa misimu." Suara itu langsung menyambar tanpa tedeng eling-eling.
"Aku tidak lupa." Napas lelaki itu masih tersengal. Dadanya semakin berdetak tak menentu begitu teringat misi—yang sangat tidak menyenangkan ini.
"Benarkah? Bagaimana dengan gadis asia yang baru saja kau temui?" tanya sahabat sejak kecilnya ini. Dari nada suaranya seperti ingin tertawa.
Edo berdecih. Seandainya ini tidak berkaitan dengan hutang budinya, dia tidak akan sudi memenuhi permintaan beresiko Keneti Balthazar.
"Sampai kapan kau akan terus mengawasiku, Balthazar?"
"Sampai kau menghabisi nyawa detektif sial itu!" Suaranya berubah menjadi geram.
"Sejak kapan kau memintaku untuk menghabisi nyawanya?" Edo memutar mata malas. "Aku tidak tertarik menjadi pembunuh. Apalagi pembunuh bayaran. Penghasilanku sebagai Arsitek sudah lebih dari cukup."
"Hahaha!" tawanya terdengar dipaksa. "Aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong, kau ini beruntung sekali."
"Untuk?" Edo memutar mata malas dan lupa kalau lawan bicaranya tidak akan bisa melihat ekspresinya saat ini.
Lelaki itu menerawang ke arah jendela saat mendengar ceramah pagi ini. Seseorang yang tanpa sadar memaksanya menjadi tokoh antagonis. Sebenarnya, Edo tidak ingin berurusan dengan hal-hal semacam itu, semua dia lakukan demi adiknya, Aisha dan juga balas budi masa lampau.
Kenyataannya, Keneti Bathazar adalah, orang yang dicintai Aisha. Dan juga orang yang selalu ada untuk Edo di saat-saat terburuk hidupnya bertahun-tahun silam.
"Jangan berlagak bodoh, Lavinski! Faustineza Adrian adalah sepupu dari istri detektif sial itu. Kau benar-benar sesuai dengan pengibaratan 'sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.' Ingat, aku mengawasimu sampai misimu tercapai. Meski kau sengaja tidak mau melaporkan apapun padaku, aku tahu kalau semalam kau mengantar gadismu ke rumah target kita."
Laki-laki bercelana pendek itu mendesah, sambil mengenyakkan badan di sofa yang ada di kamarnya. Kenapa harus kerabat Fau—yang menjadi target incaran mereka? Dari sekian juta populasi manusia di negara ini, harus William Bowell, mantan agen CIA yang sudah membunuh kedua orang tua Keneti?
"Lavinski, aku tahu kau masih di sana!"
"Ya, kau tidak usah khawatir." Ucapnya lirih.
"Baiklah. Kau juga tidak perlu khawatir, aku tidak akan menyakiti gadismu."
"Aku akan membunuhmu sampai kau berani seincipun menyentuh Faustineza." Suaranya menggeram, menekan setiap kata. Memperingatkan lawan bicaranya yang berada jauh di Amerika. Walau begitu, Edo cukup mengerti, bahwa Keneti bisa melakukan apa pun. "Dia tak ada urusan apa pun dengan ini."
"Santai. Aku bisa pastikan itu. Ah, ya satu lagi ...."
"Apa?" Laki-laki itu mengetatkan rahangnya.
"Kau tidak ingin dibenci olehnya kan setelah misi kita berhasil?"
"Pertanyaan retorik bodoh. Menurutmu?" Inilah yang ditakutkan oleh Edo. Bagaimana jika Fau mengetahui kalau dirinya berniat mencelakai kakak sepupu iparnya?
"Rahasiakan hal ini darinya. Aku akan memastikan kau tidak terlibat seandainya ada sesuatu terjadi."
"Tentu saja."
Lalu sambungan telepon terputus sepihak. Edo, memandang nelangsa ponsel hitam itu. hatinya bimbang.
Rambut keemasannya diremas, menyalurkan kekesalan dan juga dilema. Dalam hati, Edo, tidak ingin melanjutkan misi yang diberikan Keneti. William seorang mualaf, jalan hidupnya sudah berbeda—lelaki mantan agen rahasia itu sudah bertobat. Tepat satu tahun sebelum menikahi Rucita Adrian, anak salah satu pengusaha juga tokoh politik berpengaruh di Indonesia, lelaki itu memeluk Islam.
Namun, di sisi lain, Edo tidak ingin mempertaruhkan hati Aisha—yang untuk Keneti. Balthazar berjanji akan belajar mencintai adik Edo, jika berhasil membawa pembunuh orang tuanya ke hadapan Keneti.
Kehilangan kedua orang tua saat usia remaja dan ketiga adiknya masih kecil, hati Keneti bukan saja perih tetapi peristiwa traumatis itu memantapkan keinginan untuk membalaskan dendam kepada William. Edo mengerti itu, tetapi siapa sangka, orang yang diincar adalah sepupu dari gadis yang dia suka selama bertahun-tahun.
Putra sulung keluarga Balthazar itu sejujurnya adalah orang tulus yang pernah Edo kenal. Dia menjadi sosok seperti yang dikenalnya saat ini karena berusaha bertahan dari kejamnya hidup. Hidup yang terlampau keras telah menempanya menjadi pria berdarah dingin dan sedikit tak berhati.
Setelah beberapa saat berkutat dengan kedilematisannya, Edo memilih bangkit dari sofa dan bersiap. Setengah jam lagi pukul sembilan. Dia tidak ingin melewatkan kesan yang baik pada keluarga Bowell, demi Fau.
Demi gadis ceroboh yang ditemuinya sepuluh tahun yang lalu di Kinokuniya, Sydney. Demi gadis komik yang kini membuat jantungnya berdebar setiap kali mengingat wajah cantik nan dinginnya.
Anak sulung keluarga Lavinski itu tahu apa yang harus dilakukannya. Langkah apa yang harus dia ambil beserta resiko yang mengikutinya. Apapun yang terjadi nantinya, dia takkan mundur. Ada tiga hati yang harus dijaga olehnya, dan menurut Edo, itu adalah amanah.
"Tuhan pasti akan mengutukku untuk sesuatu yang kurencanakan pada William Bowell, tapi aku siap. Aku siap dengan konsekuensinya," lirihnya sembari mengepalkan tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)
RomanceFaustineza Adrian tidak bisa melupakan pertemuan pertamanya dengan sosok laki-laki asing yang ditemuinya di Kinokuniya, sepuluh tahun silam. Laki-laki tengil yang menjadi cinta pertama Fau yang kala itu masih berusia tiga belas tahun. Eduardo Lavins...