抖阴社区

Part 2

55 7 1
                                    

Fau belum sempat berkata-kata karena sarafnya mendadak mati rasa saat laki-laki itu berucap, "Kau? Gadis otakku ceroboh itu?!"

Eduardo Lavinski menatap gadis di depannya itu tidak percaya. Pasalnya, gadis kecil yang menabrak bertahun-tahun silam itu, ibarat itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa. Tanpa sadar, lelaki berbaju hijau jantungnya berdebar tidak karuan.

Mata Fau membesar, tak mampu mengerjap. "Jangan bilang ..." Lidahnya kelu sesaat. "Apa kamu bilang?! Otakku? Penggemar anime?" sambar Fau.

Astaga! Kebetulan macam apa ini?

"Memangnya apa lagi sebutannya?" Edo—sebutan akrab Eduardo Lavinski dengan seenak jidat meletakkan cangkir tehnya di atas meja yang sama dengan Fau.

"Eh, mau apa kau?"

Mengabaikan rasa gugup yang mendera, gadis itu berusaha keras memasang tampang garang pada laki-laki yang sialnya menjadi cinta pertamanya itu.

"Mau duduk." Kata lelaki itu tak acuh. Kedua mata tajamnya membuat gadis itu membuang pandangan, tetapi, Fau penasaran. Alhasil gadis itu hanya bisa melongo melihat kelakuan tengil Edo. Sepuluh tahun berlalu dan dia masih, tengil!

"Masih banyak meja kosong, kenapa harus di sini?! Kehadiranmu mengganggu konsentrasiku, tahu?" Fau mencak-mencak.

Tidak menyadari seulas senyum tipis terulas di bibir sang pemilik kedai yang ternyata sedari tadi sudah asik memperhatikan keributan kecil yang terjadi di antara pengunjung kedai kopinya itu.

"Kenapa?" Laki-laki itu menatapnya dengan senyum setengah mengejek. "Ketampananku mengganggu konsentrasimu begitu, eh?"

Sebelum emosi gadis Asia di depannya meledak. Edo buru-buru mengulurkan tangannya. "Eduardo Lavinski."

Fau menatap tangan besar yang terulur itu. Antara ingin menyambut atau mengabaikannya. Masih membiarkan uluran tangannya mengambang di udara, "namamu siapa?"

Fau memilih mengalah dan menyongsong uluran tangan laki-laki asing itu. "Faustineza Adrian."

"Nama yang bagus." Laki-laki itu mengulas senyum tipis. Senyuman yang mampu membuat Fau mengabsen satu persatu penghuni kebun binatang dekat kampus lamanya. "Omong-omong, nama kita sama-sama panjang, ya?" kelakar laki-laki itu.

Fau memutar mata malas. "Untuk apa tampan dan menarik kalau sikapnya menjengkelkan seperti itu?" decihnya dalam hati.

"Fau." Sahutnya singkat. Manik bulatnya kembali menekuri layar laptopnya.

"Fau?" ulang lelaki berkaus biru itu.

Fau mengangguk malas. "Kau?"

"Orang-orang biasa memanggilku Edo. Umm, kenapa nggak dipanggil Adrian?" tanyanya sok polos.

"Adrian nama kakekku," jawabnya singkat. "Udah? Aku mau kerja."

"Oh, semacam Marga?" Edo seperti acuh dengan peringatan gadis itu.

Fau mengangguk.

"Seperti Lavinski, ya?"

"Cerewet!" Fau mengangguk lagi tanpa mau menatap wajah Edo yang tampan itu.

"Ngg—"

"Bisa diam, tidak? Aku sedang mengejar deadline, Tuan Lavinski yang terhormat." ketusnya tanpa sadar.

Idenya hilang sudah, kini dia benar-benar ingin menendang Edo ke kandang singa.

"Kamu manis kalau emosi." Edo mengulas senyum maut yang sesungguhnya membuat Fau ingin menggigit bantal. Berbanding terbalik dengan persona yang ditampakkan Fau, yakni memasang ekspresi ingin muntah.

"Usiamu berapa, sih?" tanya lelaki itu dengan bersedekap, menegakkan punggung yang dia tempel di sandaran sofa.

Rupanya laki-laki itu masih pantang menyerah mengganggu gadis yang terlihat imut saat sedang emosi itu.

Fau menghela nafas panjang sebelum menatap dingin ke arah laki-laki bersurai cokelat keemasan itu. "Kenapa memangnya? Mau membandingkan dengan usiamu yang sudah kepala tiga?" lanjutnya setengah mengejek. Tiba-tiba dia teringat ucapan laki-laki itu sepuluh tahun silam yang mengatainya anak kecil.

"Hei, apa aku terlihat setua itu?" Edo mendengkus jengkel. Lelaki itu mengangkat cangkir tehnya dengan elegan dan menyesap isinya perlahan, membuat Fau diam-diam meliriknya.

Dia tak menampik jika dirinya sedikit terpesona dengan gerakan sederhana yang ditampilkan manusia bernama Eduardo Lavinski itu.

"Terus?"

"Dua puluh lima."

Fau yang baru mau menyesap hot chocolate nya nyaris tersedak. Apa katanya? Baru dua puluh lima? "Serius?"

"Apa aku terlihat berbohong?" Edo menaikkan sebelah alisnya. "Tapi akhir tahun nanti usiaku dua puluh enam. Kau?"

"Tebak." Fau menikmati aliran cokelat hangat yang mengaliri kerongkongannya.

"Dua puluh tiga."

Giliran Edo yang nyaris tersedak. "Apa kau bercanda?"

"Apa aku terlihat bercanda?" Fau menatap malas laki-laki di depannya itu. "Lucu sekali, kita hanya berbeda usia tiga tahun."

Edo menyengir. "Aku kira usiamu saat itu sepuluh tahun."

"Apa katamu? Sepuluh tahun?!" Suara Fau menggema di ruangan kafe yang lebar itu. Beruntung kedai Percy sepi, jadi aksinya tidak mengundang atensi pengunjung yang lain. "Kau bahkan juga masih anak kecil saat itu!"

Edo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Yang benar saja? Usia mereka hanya terpaut selisih tiga tahun. Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan penuturan Fau. "Yah, setidaknya waktu itu usiaku sudah hampir tujuh belas."

"Masih di bawah umur," sahut Fau santai. Kini dia sudah lebih bisa mengendalikan dirinya.

Lelaki itu mengangkat bahu acuh tak acuh sebelum mengucapkan terima kasih pada salah satu pelayan perempuan yang mengantarkan pesanan makanannya. Gadis berambut pirang itu sempat-sempatnya mengedipkan mata genit dan berjalan dengan mengibaskan bokongnya yang sintal menggoda si wajah blasteran itu. Membuat Fau tanpa sadar mendengus jengah.

"Kenapa?" Edo sengaja tidak menahan senyum lebarnya. "Kau cemburu?"

"Dalammimpimu!"

Spring in Bucharest (TERBIT, OPEN PO KEDUA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang