Kindy recommended to play song Over and Over Again - cover by Taehyun.
🌸🌸🌸
Yang kami dapat setibanya di kediaman keluarga Kang, tidaklah terlalu menyenangkan. Apalagi saat Ayahnya Taehyun sudah memandang keheranan melihat kedatanganku dan Papa di malam sesuntuk ini—tanpa alasan jelas tentu saja.
"Ada perlu apa, Pak Kim?"
"Putriku ingin—"
"Bukankah kita sudah bicarakan ini? Putraku tidak bisa ditemui siapa pun, Namjoon-ssi. Kukira pertemuan kita hanya sebatas proyek kerjasama saja."
"Soya hanya ingin bicara dengan Taehyun, sebentar saja, Paman," potongku cepat, entah darimana datangnya keberanian itu. Papa langsung menyentuh kedua bahuku.
Tampak Ayah Taehyun memandangku lamat. Mungkin heran juga, bagaimana bisa aku segini bergairah bertemu dengan putranya itu padahal kami belum pernah betulan berkenalan atau terlibat perbincangan meski hanya sebentar.
Aku dan Taehyun tak punya sama sekali.
Hanya ada bukit dan pinggir kebun yang menjadi saksi kebersamaan jarak jauh kami.
Tanpa seutas kalimat pernah disampaikan, tanpa seulas senyuman pernah dilemparkan.
Mungkin hanya aku. Yang memandangi lelaki itu penuh kagum dan tersenyum hanya karena eksistensinya saja. Seolah semuanya sudah cukup untuk memenuhi rindu dan perasaan lega makhluk itu telah terlahir dan hadir di sana—untuk menjadi tempat hatiku berlabuh dan menetap.
Ya. Kurasa aku memang telah jatuh sedalam itu dengan Kang Taehyun.
Buktinya, tak peduli berapa kali pun aku bertanya pada Soobin Kai dan mendapat respon tidak memuaskan, mendapat ledekan dari Bamgyeol, juga sempat mendapat larangan dari Papa pula. Aku masih di sini, berusaha mempertahankan apa yang sudah kuyakini sejak awal.
Aku tidak mau menyesal sekarang. Aku masih bisa bicara dengannya sekarang!
"Maaf. Tapi tidak bisa, anak muda. Kang Taehyun telah menutup diri dari semua orang dan tak satu pun bisa menemuinya lagi. Sebaiknya kau bawa putrimu pulang, Namjoon-ssi," ucap Pak Kang, membalikkan badan hendak masuk ke rumahnya.
"Tunggu!" Ada seorang wanita paruh baya yang kuyakini adalah Ibu Taehyun berlari menyusul ke pintu depan, sebentar melirik ke suaminya lalu menyodorkan sebuah surat ke Papaku. "Taehyunie menulis ini. Ditujukan pada kalian."
"Aish, untuk apa?!" Terlihat Ayah Taehyun cukup kesal melihatnya, namun setelah mendapat cebikan mutlak dari sang istri, pria itu ternyata menyerah juga.
Terang saja, Papa menerima surat itu dengan senang hati. "Terima kasih."
Surat itu dari Kang Taehyun? Ditulis sendiri olehnya? Aku langsung merampas surat dari Papa. Membungkuk dalam pada orang tua Taehyun dan berpamitan cepat. "Terima kasih, Paman! Bibi!" kataku sebelum berlari kencang ke mobil Papa.
Sambil menunggu Papa masuk dan menyetir hingga sampai ke rumah kami, aku hanya terus diam sambil memeluk surat itu di dadaku. Aku tidak berani membukanya dengan cepat. Aku masih mencoba merasakan seakan aku memegang tangan Kang Taehyun melalui surat ini.
Ini bisa saja berisi balasan suratku selama ini, kan? Taehyun membacanya? Artinya dia menghargai suratku?
🌸🌸🌸
Papa barangkali mengerti dengan tegangnya aku yang berjalan lurus ke kamar dan langsung menutup pintu. Papa tidak menyusul juga. Mungkin tahu kalau ini adalah menit-menit paling berat mengingat aku akan membuka surat Taehyun. Membaca kalimatnya yang berarti kami telah berinteraksi meski hanya melalui tulisan.
Aku masih ingin mengapresiasi diri. Setidaknya aku masih sempat meninggalkan surat untuknya, yang membuatku mendapatkan balasan surat ini.
Perasaanku campur aduk. Bisa saja di dalamnya bukanlah hal-hal baik dan menyenangkan. Bagaimana kalau isinya penolakan dan hal lain yang membuatku terluka?
Ah, rasanya mau cepat kembali ke Seoul saja. Selalu begini. Aku yang suka tiba-tiba merindukan Yeonjun dan Beomyu temanku di Seoul.
"Okay, Kim Soya. Ini saatnya. Ayo baca dan ambil sebuah keputusan," monologku, memandang lurus suratnya. Keputusan apa? "Keputusan apakah aku harus menikahinya atau menyerah saja! Huahahaha!" Aku tergelak dalam tawa jahat, sebelum cepat kembali mengontrol diri dan mengembalikan raut serius. "Oke, cukup main-mainnya."
Ah, aku hanya mengalihkan diri dari perasaan gugup luar biasa.
Baiklah, kita mulai.
Aku membuka lipatan surat itu, mulai membawa sambil menyipit takut.
Halo, Kim Soya! Kuharap surat ini betulan sampai padamu, aku sangat ingin memanggilmu langsung, haha.
Aku menahan napas. Ini benar Taehyun yang menulis? Sempat aku memejam untuk memeluk surat itu, dan lanjut membaca lagi. Ayo, aku bisa!
Suratku akan jauh lebih panjang dari milikmu, maaf kalau ini akan membuang waktumu. Aku hanya akan mengatakan apa yang kurasakan. Terima kasih sudah datang ke bukit untuk melihatku hari itu. Aku mengingatnya. Hari pertama saat kau menemukanku, aku sudah tertangkap. Aku sudah melihatmu lebih dulu, Soya. Kau yang berjalan menyusuri kebun jeruk Ayah dan terpesona dengan pemandangan Desa. Aku hanya pura-pura tidak tahu saat selama berjam-jam kau berdiam di balik bukit untuk melihatku. Aku tidak yakin apa yang sebenarnya kau nikmati, tapi aku senang mengetahui aku tidak sendirian lagi di air terjun itu. Aku senang sekali sewaktu mendapat surat pertama darimu pagi itu.
Air mataku sudah jatuh, membasahi kertasnya. Aku langsung mengusap cepat pipiku. Menarik napas.
Semuanya berubah sejak hari aku harus membatalkan janji pergi dengan teman-temanku, Soobin dan Kai. Ada sebuah fakta mengejutkan, dan kami bertiga harus menerimanya.
Ternyata benar. Soobin Kai pasti pernah mengenal dekat Kang Taehyun!
Aku hanya anak biasa yang tidak akan berumur panjang, Kim Soya. Bahkan aku tak lagi memiliki rambut untuk dapat terlihat seperti pemuda normal. Wig ini sepertinya sangat cocok denganku sehingga membuat yang melihat sama sekali tak terganggu. Aku cukup kaget saat Ayahmu mendadak mendatangi dan mengajakku bicara waktu itu, untunglah aku melakukan dengan baik. Padahal aku masih berharap kau yang datang.
Aku membekap mulutku tidak percaya. Tidak. Tidak seperti ini. Ini tidak adil!
Penyakit ini belum diketahui spesifikasinya, sejenis kanker, katanya menular, katanya tidak juga. Tapi melihat dari sistem imunitasku yang kian memburuk dari hari ke hari, dan kemoterapi yang tidak membuat perubahan, membuat keluargaku akhirnya menyerah. Aku divonis berakhir hari ini. Ayah kemudian menjauhi dan membenciku karena penyakit aneh ini, dia juga menyampaikan pada Soobin dan Kai kabar buruk ini dan mereka menjauhiku untuk waktu yang lama, hingga saat ini. Katanya, aku tak layak menjalin hubungan baik dengan siapa pun jika akan pergi semuda ini. Katanya itu tidak sopan dan menentang budaya kesetiaan di Desa ini. Aku tak bisa berbuat banyak saat Ayah memindahkanku ke kamar belakang dan menyulap tempat itu jadi ruangan seni. Ayah hanya membiarkanku keluar setiap hari untuk mendapat hangatnya matahari pagi dan mengumpulkan lebih banyak lukisan. Aku ingin melukis saja sampai akhir.
Aku menggeleng, spontan tegak. Ini tak boleh terjadi. Dengan pelupuk mata penuh air mata aku mencoba memaksa diri menyelesaikan hingga paragraf terakhir.
Mungkin kau melewatkannya, Kim Soya. Aku akan berakhir malam ini. Maaf aku tidak bisa keluar lagi saat pagi karena alasan ini. Aku akan pergi sendirian tanpa ucapan selamat tinggal. Terima kasih sempat singgah di hidupku.
Aku hanya orang yang numpang lewat untukmu. Tetap ingat aku, ya. Aku melukis bunga Azalea sangat indah, itu rencananya akan menjadi hadiah untukmu. Minta pada Ibu ketika aku sudah pergi nanti, ya.
Salam,
Kang Taehyun.
"KANG TAEHYUN!" tangisku tumpah lebih parah. Aku pun berlari kuat ke luar kamar, lurus ke luar rumah, dan terus berlari bermaksud mau berlari sampai rumah Taehyun.
Aku bahkan sudah mengabaikan panggilan Papa. "Soya! Mau ke mana semalam ini?! Kim Soya!"
Di luar, aku malah harus bertabrakan dengan Soobin yang tampaknya ingin menghampiriku. "Soya? Kenapa?" tanyanya kepalang cemas saat melihat kondisiku, dia memegang kedua bahuku menahan tubuhku yang nyaris saja terhuyung setelah menabraknya.
"Minggir!" pekikku, berontak darinya. "Kau yang kenapa?! Kenapa kau lakukan ini padanya, hah? Kenapa kau tak cerita padaku soal apa yang terjadi pada Kang Taehyun, hah?!"
"Kau ... sudah tahu?"
"Lepaskan aku!"
"Kita tidak bisa, Soya. Semua sudah terjadi!"
"Lepaskan aku! Aku harus menemuinya!"
"Soya! Tidak bisa! Kau akan merasakannya. Kepedihan kehilangan dia!"
"Aku sudah merasakannya sekarang!" bentakku sekuat tenaga. "Kau kira untuk apa aku menangis begini, hah? Taehyun sudah menceritakan padaku semuanya dan aku tak bisa biarkan dia berakhir sendirian begitu!"
"Soya, kau harus mendengarkan!"
"Kau yang harus mendengarkan, Soobin!" Aku berucap di sela-sela isakan, menatap tajam padanya, emosiku memuncak. "Siapa lagi yang lebih buruk dari seorang yang meninggalkan temannya yang sakit sendirian. Tidakkah cukup dia tersiksa oleh raganya? Dan sekarang? Perasaannya? Apa kau tidak pernah bayangkan di posisinya? Hah? Soobin, jawab aku!"
Pegangan Soobin melemas, tampak dia kebingungan harus merespon apa.
"Persetan soal budaya kesetiaan, atau adat Desa apa pun itu! Taehyun membutuhkan kita. Orang-orang yang harusnya setia di dekatnya dan mendukungnya sampai akhir. Bukannya pengecut yang diam saja saat tahu temannya dikurung tidak adil dan sendirian seperti ini!"
Tin! Tin!
Papaku mengklakson. Mobilnya berhenti di dekat kami. "Naiklah! Ayo. Lakukan apa yang harus dilakukan!" seru Papaku. Aku pun reflek masuk tanpa memedulikan Soobin yang masih syok karena ucapanku.
"Cepat jalan, Pa!"