Kindly recommended to play song The Truth Untold by BTS.
🌸🌸🌸
But, I still want you ....
Ya, aku masih terlalu menginginkannya. Aku tak bisa mengelak lagi.
Dan sepertinya aku mulai paham dengan semua yang sudah kudapat sebelum ini. Semuanya jadi terbuka jelas dan masuk akal.
"Tidak ada, Soya. Tidak ada anak lelaki lainnya di Desa ini, selain kami berdua."
"Kang—apa? Tidak. Aku tidak tahu. Maaf."
"Kami tidak punya pilihan. Ini memang takdirnya, Soya."
"Kita tidak boleh melihatnya lagi kalau tak mau merasakan kepedihan. Berhenti mencari tahu tentangnya dan menghindar segera sebelum terlambat. Mengerti?"
Mungkin penyakit aneh itu membuat semua orang mulai memutuskan mengambil tindakan menganggap Kang Taehyun seolah tidak ada. Menghilangkan keberadaan pemuda itu lebih cepat, tanpa air mata.
Aku sudah mengingatnya sekarang. Aku sempat membacanya di buku perihal Desa terpencil ini sebelum tiba di sini. Katanya air mata kesedihan tak boleh tumpah di sini. Katanya meninggal di usia muda adalah sebuah kutukan.
Memangnya itu kehendak Taehyun untuk sakit dan segera menemui ajalnya? Bukankah setiap orang sudah punya takdirnya?
Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa bahwa semesta itu sangat tidak adil. Baru kali ini aku ingin menentangnya. Dan baru kali ini pula, aku merasa marah.
Mungkin Soobin benar. Seharusnya aku menghindar dari awal dan tidak melibatkan perasaanku untuk rapuh dalam konflik pelik ini. Namun, aku tidak bisa. Sudah terlambat. Aku tak bisa kembali menarik diri.
Ke mana pun kakiku melangkah. Aku hanya ingin tertuju pada Kang Taehyun saja.
Kemarin atau hari ini. Dia tetap takdirku.
"Taehyun!" pekikku saat kembali tiba di kediaman Taehyun. Ayah Taehyun kaget sekali melihatku dan Papa kembali memunculkan wajah seperti tidak jera saja. Saat itulah, aku menepis segala etika untuk menerobos masuk rumah orang, persetan dengan statusku sebagai orang asing, pendatang baru, atau apalah itu. Bagiku Taehyun sudah menjadi temanku. Kemarin, atau pun dua minggu yang lalu. "Kang Taehyun, kau di mana?!"
"Di sana," lirih Ibu Taehyun, menunjuk satu kamar di belakang rumah mereka.
Sempat aku menoleh pada wanita paruh baya yang ternyata juga tengah menangis sepertiku di sana. Agak heran, Ibu Taehyun sama sekali tidak menghalangku masuk seperti suaminya di depan tadi. Tanpa merespon, aku berlari ke arah yang ditunjukkan.
"Taehyun? Taehyun-ah? Kau di mana? Ini aku, Kim Soya! Jawab aku! Kumohon!" ucapku sangat cepat dan beremosi, netraku mengedar ke sekeliling. Rumah sederhana ini cukup membuat bingung dengan lika-liku denah dan sekatnya.
"Kim Soya?"
Aku menoleh ke sumber suara. Ada pintu besi di sana. Dengan lubang petak mirip ventilasi kecil di bagian bawah pintu itu. Aku terbelalak. Tidak mungkin. Taehyun di dalam sana?
"Kang Taehyun?" Aku pun mendekat ragu. Berjongkok di depan pintu itu, menutup mulut terharu. Tadi itu ... suaranya?
Untuk yang pertama kalinya aku mendengarnya.
"Kau seharusnya tidak ke sini." Taehyun berucap, lemah dan pelan.
Aku yang khawatir pun sontak merapatkan diri ke pintu itu. "Kenapa kau dikurung di dalam sana, hah? Bagaimana aku mengeluarkanmu? Pintunya di kunci?!" racauku, panik sendiri memukul-mukul pintu itu.
"Kukira aku sudah menjelaskan semua di surat."
"Kang Taehyun, beritahu aku bagaimana mengeluarkanmu! Apa Ayahmu yang mengurungmu? Apa aku perlu minta Papa mendobrak ini?"
"Kita sebaiknya tidak membuka pintunya. Itu berbahaya. Penyakitnya bisa saja menular." Suara Taehyun terasa dekat. Kurasa dia juga ikut duduk bersandar di lantai dekat pintu ini.
"Aku tidak peduli! Mau tertular atau pun mati bersamamu! Aku ingin memelukmu! Kau mengerti maksudku, kan?! Aku menyesal tidak menghampirimu lebih cepat, Taehyun! Aku harus bagaimana!" Aku menangis lagi, tidak berdaya memukul pintu dari luar. Aku ikut merosot duduk di lantai, menyandar pada pintu itu.
"Kau tidak boleh melihatku. Aku sudah jelek sekarang, hehe."
"Kang Taehyun! Apa kau benar-benar akan pergi?"
"Hm. Jaga dirimu, ya?"
"Tidak mau!" tolakku mentah-mentah. Sangat membenci ucapannya. "Ini tidak masuk akal. Kenapa kau tidak pernah memprotes semuanya, uh? Kenapa diam saja di sana?!"
"Sudah takdirku."
"Kang Taehyun!" Aku membalik badanku yang masih gemetaran. Memasukkan tanganku ke lubang petak pintu itu. "Minta tanganmu ...."
"Soya—"
"Lakukan saja! Aku takkan minta apapun lagi. Aku janji."
Cukup lama aku menunggu dia mau mengulurkan tangannya di sana, membuat jantungku berdegup tak karuan karena takut akan banyak hal.
"Taehyun?"
Taehyun akhirnya mengeluarkan tangannya. Aku pun menggenggamnya erat. Tangannya sangat dingin dan berkeringat. Kenapa orang yang sekarat harus dibiarkan dalam kondisi semenyedihkan ini?
"Aku menitipkan lukisan yang aku maksud pada Ibu. Aku sudah meninggalkan pesan di lukisannya."
"Taehyun-ah," kataku pelan. "Jangan pergi."
"Aku takkan pergi. Aku akan di hatimu terus."
"Aku masih menginginkanmu. Terlalu menginginkanmu."
"Aku juga."
Aku memejam, membiarkan air mata bergulir lebih banyak. "Kau akan selalu menjadi cinta pertama yang paling aku ingat."
"Kau juga."
Aku pun mengusap kedua pipiku. "Yak! Bagaimana bisa? Memang kau ingat bagaimana rupa wajahku?"
"Tentu. Aku melukisnya juga."
"Kau itu! Apa, sih, yang tidak kau lukis?"
"Gambar kita berdua bersama mungkin? Soalnya aku tidak suka melukis diriku sendiri."
Aku mengulum senyum. Bahkan, dari suaranya berbicara saja terdengar merdu, kuyakin kalau dia bernyanyi pasti akan sangat bagus. Aku suka mendengarnya bicara normal tanpa beban. Sekali pun memang benar ini terakhirnya. Sekali pun dia sedang sakit dan sekarat.
"Seharusnya kau membuatnya. Rencananya aku akan memintamu berjanji melukis itu."
"Maaf. Aku tidak bisa. Tidak ada waktu."
Ah, menyebalkan. Kenapa orang itu begitu jujur dan bicara apa adanya? Sungguh, tingkat keinginanku memeluk Taehyun saat ini terus bertambah tak bisa kupungkiri lagi.
"Soya."
"Hmm?"
"Sudah sangat larut." Suaranya memelan, mulai serak. "Kau harus tidur."
Aku menyenderkan kepala ke pintu itu, sungguh ragaku sudah lemas semuanya dan aku memang selelah itu. Aku pun memejam. "Hm. Aku mau tidur di sini saja. Denganmu."
"Oke. Tetap gandeng tanganku dan tidur saja," katanya sangat pelan. "Mau kunyanyikan sedikit lagu?"
"Kumohon," jawabku, apa adanya. Masih memejam aku menunggu nyanyiannya.
"Nan duryoun geol, chorahae, I'm so afraid. Gyeolgugen neodo nal tto tteonaborilkka, tto gamyeoneul sseugo neol mannareo ga ..."
Aku mendengarkan satu bait itu. Sopan sekali suara merdunya yang pelan itu memenuhi indra pendengaranku dan menenangkan. Suara Taehyun memelan, bersamaan dengan diriku yang perlahan terlelap.
"But, I still want you~" Kurasakan Taehyun ikut menyenderkan kepala ke pintu. Berbisik pelan. "Aku juga menginginkanmu."
Aku terlelap dalam kesedihan. Memejam dalam tangisan. Tetapi, aku tetap tidur dalam cinta, bersama semua ungkapan dan bincang yang sudah lama aku damba.
Kendati aku tahu esok hari sudah tak dapat melihatnya lagi. Walau besok sudah tak bisa menggandeng tangan atau mendengar suaranya lagi.
Aku bahagia, setidaknya kami masih sempat membuat kenangan.
We made all memories and have the time to be happier each other.
But, I still want you.