Renjun POV
Kuarahkan pandanganku ke langit-langit kamar, memikirkan banyak hal yang saat ini tengah bersarang dipikiranku. Satu tangan besar kurasakan memenjara perut rampingku. Ingin menepis, namun takut membuat keributan dan Jisung yang tengah tertidur pulas di tengah-tengah kami merasa terganggu. Cukup beberapa menit lalu, tidurnya terusik karenaku.
Setelah kegaduhan yang kubuat setengah jam yang lalu, kami memutuskan untuk membuang ego kami masing-masing saat Jisung meminta untuk kami berdua menemaninya tidur. Tentu saja satu ranjang, dengan kami mengapit tubuh Jisung. Dan lagi, ayahnya Jisung mencuri kesempatan untuk memelukku. Sungguh, pria itu cocok jika mendapat julukan pencari kesempatan dalam kesempitan.
"Tidurlah. Jangan terlalu banyak berfikir, kau baru saja pulih" Walau hanya berbisik, namun aku bisa mendengar suara seraknya. Kulirik kearahnya dan dia masih memejamkan mata, namun secepat kilat aku membuang muka saat melihat netranya terbuka.
"Aku benar-benar membencimu, Jung!" Umpatku setengah berbisik. Orang bilang rasa benci dan cinta hanya setipis sehelai rambut yang dibelah menjadi tujuh bagian. Dan aku akui sedikit merasa bimbang dengan perasaanku saat ini. Rasa benci masih ada, namun tak bisa kupungkiri jika aku masih mencintainya. Mungkin terlalu cinta hingga saat lelaki itu melukaiku, rasa kecewaku juga terlalu besar.
"Aku juga mencintaimu, ibunya Jisung" Balasnya. Aku berdecih tak suka mendengarnya. Ingin menjahit mulutnya yang selalu berbicara semaunya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
"Brengsek. Kau benar-benar brengsek kau tau!" Ucapku lagi seraya mencubit lengannya dengan cukup kuat. Dan berhasil membuat Jaehyun hyung mengaduh kesakitan, tapi bukannya menarik lengannya, malah lengan itu semakin mengerat dipinggangku.
"Lepaskan tanganmu, Jae!" Mataku mendelik melihat pria itu malah terkekeh seakan meledekku.
"Tidak mau, kau dan Jisung milikku. Aku tak mau melepaskan kalian"
Aku menghela nafas kasar. Jung Jaehyun memang keras kepala, egois, posesif dan tak pernah mau kalah. Dan aku benci saat dia bersikap seperti itu.
"Tapi aku tak nyaman.. lepaskan sialan!" Entah sadar atau tidak, tapi mulutku selalu saja refleks mengucapkan kata-kata kasar untuk Jaehyun hyung.
"Mulutmu, sayang.. Biarkan seperti ini. Aku nyaman" Bisiknya dan kulihat matanya sudah kembali terpejam. Aku terdiam dan menatap wajah yang sialnya memang tampan itu, wajah damainya persis seperti Jaehyun yang kukenal saat awal-awal kita berkencan.
Tepatnya enam tahun lalu. Saat usiaku baru saja menginjak usia enam belas tahun. Dan Jaehyun hyung berusia sembilas belas tahun.
Kami pertama kali bertemu saat keluargaku dan keluarga Jung melakukan pertemuan yang saat itu masih menjalin hubungan kerjasama. Bahkan saat itu ada pembahasan mengenai perjodohan. Namun entah kenapa tak ada kelanjutan mengenai rencana itu. Keluargaku yang tiba-tiba kembali ke China dan keluarga Jung yang bersikap dingin padaku tentu saja membuatku bertanya-tanya.
Saat itu hubunganku dan Jaehyun hyung semakin dekat, aku juga tak tahu bagaimana awal kisahnya hingga Jaehyun hyung tiba-tiba mengungkapkan perasaannya padaku. Aku menerimanya karna aku juga merasa nyaman saat didekatnya. Sangat klise layaknya cerita cinta anak remaja pada umumnya, tak ada cerita menarik yang membekas saat kami memulai hubungan, mungkin itu sebabnya kehidupan rumah tangga kami bak rollercoaster, agar kami memiliki sedikit banyak cerita mengenai hubungan kami yang terlalu datar.
Kupikir terjalinnya hubunganku dan Jaehyun hyung akan membuat keluarga kami senang, namun kenyataannya berbanding terbalik. Aku baru mengetahui jika hubungan keluarga kami memburuk, yang diakibatkan oleh keegoisan keluarga Jung yang tiba-tiba menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan lain yang notabene adalah saingan bisnis keluargaku.
Tapi kami tak menyerah begitu saja dengan hubungan yang baru kami mulai, kami diam-diam tetap berhubungan dengan harapan hubungan keluarga kami akan segera membaik. Namun ternyata salah, sikap keras kepala dan egois Jaehyun hyung ternyata menurun dari keluarganya. Yang berkali-kali melakukan berbagai cara agar hubunganku dan Jaehyun hyung kandas.
Tentu saja dengan banyaknya perjodohan bodoh itu hingga akhirnya Jaehyun hyung harus menikah dengan Taeyong hyung. Tak sampai disitu, entah seberapa benci keluarga Jung padaku, mereka bahkan memberiku berbagai macam ancaman untukku dan bayiku saat pernikahan kami bocor ketelinga mereka.
Bukankah seharusnya keluargaku yang marah karna menjadi pihak yang paling dirugikan atas pembatalan kontrak secara sepihak yang dilakukan keluarga Jung? Tapi keluargaku hanya diam, bahkan saking diamnya sampai mereka tak peduli dengan keadaan putra semata wayang mereka yang hampir kehilangan nyawa ditangan musuh. (Maafin author, karna lupa nempatin posisi keluarga Renjun dari awal cerita)
Yang kuingat hanya ucapan terakhir mereka sebelum kembali ke negara kelahiranku. "Jika kau memilih tinggal, berarti namamu akan terhapus sebagai pewaris perusahaan Huang" Awalnya aku tak menganggap itu serius, tapi ternyata sampai saat ini aku tak pernah mendengar kabar dari keluargaku lagi.
"Jangan melamun. Apa perlu kubuatkan susu untuk membuatmu mengantuk?" Pria itu kembali bersuara. Kupikir dia sudah berakhir dialam mimpi, tapi ternyata dia menyadari jika aku tengah melamun.
"Aku bukan anak kecil" Sahutku kesal.
"Kau tak bisa tidur?"
"Hm"
"Mau ikut aku? Ada yang ingin aku tunjukkan padamu" Ajak Jaehyun hyung. Aku memgernyit bingung menatap wajah yang kini tengah menampilkan senyum tipis dan mata sayunya. Rambut yang memanjang hampir menutupi mata tak mengurangi ketampanannya satu persen pun.
"Ayo" Jaehyun hyung bangkit, mengangkat sedikit kepala Jisung untuk menarik lengan kanannya yang dijadikan bantal oleh Jisung.
Aku menurut, dan mengikuti Jaehyun hyung dibelakang tubuh tegapnya. Berjalan keluar kamar lalu berbelok kearah kanan, berlawanan dengan arah tangga yang berada disebelah kiri. Langkah kakiku terhenti saat Jaehyun hyung berhenti didepan pintu yang baru kusadari keberadaannya.
"Masuklah" titah Jaehyun hyung mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu diikuti olehnya dibelakang.
Aku menganga saat melihat ruangan yang penuh dengan lemari yang menjulang tinggi dengan banyak buku disetiap raknya. Aku tak pernah tahu jika ada ruangan seperti ini dirumah yang sudah kutinggali sebulan ini ditambah beberapa bulan saat mengandung Jisung. Karena sejak kepindahanku kerumah ini, yang ku tuju hanya sebatas kamar, dapur dan ruang tengah. Terlalu malas untuk menyusuri setiap sudut mansion mewah ini.
Tapi ada hal lain yang mengalihkan perhatianku. Satu figura foto dengan ukuran bingkai yang cukup besar terpajang ditembok belakang kursi kerja milik Jaehyun hyung. Foto pernikahanku dan Jaehyun hyung yang seingatku dulu kami letakkan dikamar yang saat ini kembali kutempati.
Aku tersenyum kecil melihat potret bahagia kami disana, yang ternyata tak bertahan lama. Janji yang dulu kami ucapkan hanyalah omong kosong didepan Tuhan kami. Ingin menyalahkan Tuhan karna menggariskan takdir yang menyakitkan, namun aku tak memiliki kuasa itu.
"Kenapa aku tak tahu jika ada ruangan seperti ini? Jika tahu akan kuhabiskan seluruh waktuku untuk membaca semua buku disini saat aku hamil Jisung" Ucapku seraya menyusuri tiap lemari, melihat koleksi buku yang berjejer rapih, diurutkan berdasarkan jenis buku.
"Salahmu yang tak mau mengetahui seluk beluk rumah ini" balasnya.
Aku mencebik tak suka "Harusnya kau memberitahuku. Tapi kau malah sibuk dengan istrimu dan membuatku bosan menunggu" Sindirku. Menatap sinis kearahnya.
"Maaf. Aku salah"
Jaehyun hyung membuka laci teratas dimeja kerjanya, mataku tak lepas dari pergerakkan tangannya yang kini sudah mengeluarkan satu album foto. Ingin mendekat, namun egoku masih terlalu tinggi. Tunggu saja sampai..
"Kemarilah" Jaehyun melambai kearahku. Jika bukan karena rasa penasaranku setelah melihat sampul album itu yang terpampang jelas nama Jisung, aku tak akan mendekat.
Tungkaiku bergerak menuju Jaehyun hyung yang sudah duduk dikursi kebesarannya dengan album itu diletakkan dimeja. Aku berdiri didekatnya dan mencari sesuatu untukku duduk.
"Tak ada kursi lain?" Tanyaku saat tak menemukan satupun kursi bahkan sofa diruangan itu. Hanya ada satu kursi yang kini sudah diduduki oleh Jaehyun hyung dengan nyaman.
"Duduk dikursi pribadimu" Jaehyun hyung menarik pinggangku dan membuatku terduduk dipangkuannya. Aku menggeram kesal dan berusaha untuk bangkit namun kekuatanku tak sebanding dengannya dan berakhir dengan aku yang duduk pasrah di 'kursi pribadiku'
Renjun POV End
Jemari lentiknya terus membalik setiap halaman album foto yang penuh dengan potret perkembangan si kecil. Diawali dengan gambar bayi Jisung dengan kulit kemerahan, lalu diikuti dengan potret Jaehyun yang menggendong bayi dihalaman berikutnya. Bibirnya melengkungkan senyum saat melihat lembar demi lembar album foto yang disusun rapih sesuai dengan usia Jisung.
Sedikit rasa penyesalan terselip di relung hatinya, seharusnya dirinya bisa melihat perkembangan sang buah hati secara langsung. Merasa gagal menjadi seorang ibu tentu dirasakannya. Terlebih bayi Jisung yang seharusnya mendapatkan nutrisi pertamanya berupa Asi darinya, malah harus mengkonsumsi susu formula sebagai gantinya.
"Dia sangat mirip denganmu, bahkan banyak yang meragukan jika aku ayah Jisung karna wajah dan sifatku tak menurun padanya" Adu Jaehyun. Lengan kekarnya ia lingkarkan pada perut sang istri, dan menenggelamkan wajahnya dipunggung yang lebih kecil, menghirup aroma tubuh yang sudah lama tak ia rasakan.
"Bagus. Setidaknya aku tak teringat dirimu saat melihat wajahnya"
"Tapi kau masih akan terus melihat wajahku. Aku tak akan membiarkanmu pergi dari rumah ini" Lengannya mengerat seakan tak mau membiarkan Renjunnya pergi lagi untuk kesekian kalinya.
Renjun risih dengan tingkah Jaehyun yang seolah menganggap hubungan mereka baik-baik saja saat ini. Tidak tahukah lelaki itu jika Renjun sudah menyusun banyak rencana kedepannya, termasuk mengurus perceraiannya dengan Jaehyun. Secepat mungkin si submissiv ingin terbebas dari Jaehyun.
"Aku tetap akan pergi. Dengan Jisung bersamaku" Renjun menutup album foto dan meletakkannya diatas meja. Tangannya bergerak ingin membuka satu laci disamping kirinya, namun bagian itu terkunci.
"Apa yang kau sembunyikan disini?" Tanya yang lebih muda. Jaehyun yang merasa mendapat pertanyaan segera menjauhkan wajahnya dari punggung Renjun dan menatap kearah yang dimaksud oleh Renjun.
"Kau ingin tahu?"
Renjun mengangguk, Jaehyun tersenyum kecil sebelum tangannya merogoh saku di celana pendek yang saat ini digunakannya. Mengeluarkan satu buah kunci yang menyatu dengan kunci pintu ruangan menyerupai perpustakaan pribadi ini.
"Bukalah.."
Renjun menurut, dan menerima kunci dari tangan sang suami. Memilah kunci yang sekiranya pas untuk membuka laci.
'Cklek'
Berhasil. Renjun tersenyum senang saat berhasil membuka laci itu. Namun sepersekian detik dirinya terkejut melihat isi laci yang terkesan berantakan walau hanya terdapat beberapa benda saja.
"Ponselku!!" Teriak Renjun saat mendapat ponsel lamanya disana. Tangannya meraih benda pipih itu kemudian berusaha untuk menyalakannya, namun tak bisa. Setelah ini akan ia sambungkan ke charger agar bisa membuka ponsel lamanya. Karna diponsel itu terdapat nomor keluarganya, yang dibutuhkannya untuk menghubungi keluarga yang sudah sangat ia rindukan. Berniat meminta maaf dan mungkin akan kembali setelah dirinya berpisah dari Jaehyun. Jika keluarganya mau menerimanya kembali.
"Kotak cincin ini?!" Lanjutnya. Dan mengeluarkan satu kotak cincin berwarna hitam.
"Hm. Cincin pernikahanmu. Aku kecewa saat tau kau melepas cincin itu dan meletakkannya dengan sembarang. Beruntung aku melihatnya, jadi bisa kusimpan" Keluh Jaehyun.
"Cincinmu?" Renjun meletakkan kotak cincin diatas meja, setelah itu tangannya meraih tangan kiri Jaehyun. Mengecek keberadaan cincin kawin mereka disana.
"Aku tak pernah melepasnya semenjak kita menikah. Bahkan saat pernikahanku dengan Taeyong, aku menyuruh dia memakaikan cincin di jari tengahku" Jelas Jaehyun.
Renjun terdiam. Teringat saat dirinya berjumpa dengan Jaehyun untuk kedua kalinya, ia selalu melihat cincin yang selalu terpasang dijari manis lelaki itu. Sampai dirinya merasa iri dengan istri Jaehyun karena memiliki suami yang begitu setia.
"Lalu dimana cincin pernikahanmu dengan Taeyong?" Tanya Renjun penasaran.
"Tidak pernah kupakai. Orang akan menganggap jika cincin pernikahan kita adalah cincin pernikahanku dengan Taeyong. Walaupun dari bentuk saja sudah terlihat sangat berbeda. Istriku ini memiliki selera yang unik" Puji Jaehyun diakhir kalimatnya. Karena memang cincin pernikahan mereka memiliki model tak umum bahkan lebih seperti aksesoris pelengkap.
"Maksudmu aku aneh?" Tanya Renjun tak suka menanggapi pujian yang lebih seperti ejekan untuknya.
"Aku tidak. Kau unik sayang. Aku jadi teringat saat kau mengajakku berbulan madu ke bulan. Dan mengajakku membayangkan hal-hal random tentang luar angkasa. Otakku terlalu sulit untuk menyeimbangi rasa ingin tahumu"
"Tapi aku suka. Bahkan aku berencana mendaftar untuk berwisata ke Mars dimasa depan. Aku akan mulai menabung untuk itu" Sambung Renjun. Membuat Jaehyun termenung memikirkan rencana masa depan sang istri. (Bayangin wajah ngebug Jaehyun)
"Aku akan mengajak Jisung. Karena sepertinya dia juga menyukai hal-hal seperti itu" Lanjut Renjun antusias. Pikirannya menerawang, membayangkan apa saja yang akan dilakukannya di planet yang menjadi wishlistnya dimasa depan.
"Tapi kau yang membayar untuk Jisung. Aku tak sanggup jika harus menabung untuk dua orang."
Jaehyun menghela nafas pelan. Tak tahu harus menjawab apa. Karena menurutnya sangat tidak masuk akal jika manusia bisa berwisata keluar angkasa, akan sangat berbahaya jika terjadi kesalahan sekecil apapun pada roket ataupun alat bantu pernafasan di luar angkasa.
"Tapi kau harus menabung untuk membayar hutangmu padaku dulu"
Lengkungan dibibir Renjun langsung mendatar saat teringat masalah hutang yang dimilikinya pada Jaehyun. Pemuda huang itu mendadak terdiam. Ia melupakan hal itu.
Dirinya jadi teringat tentang hutang yang merupakan warisan dari ayah yang tak Renjun kenal. Haruskah ia tetap melunasinya sebagai ucapan terima kasih pada pria paruh baya yang telah menolongnya, atau ia akan lepas tangan mengenai hutang itu? Oh ayolah, setelah ingatannya kembali, Renjun rasa ia tak memiliki alasan untuk bertanggung jawab atas hutang milik seseorang yang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayahnya.
Bahkan selama hidupnya bersama pria itu, ia sama sekali tak menerima apapun yang menguntungkan untuknya, tentang biaya perawatannya yang selalu diagung-agungkan lelaki tua pemabuk itu. Renjun sama sekali tak merasa menerimanya.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi setelah kau menghilang"
Jaehyun memutar posisi duduk Renjun agar menghadap kearahnya. Mengangkat dagu si mungil agar mau menatapnya. Renjun menurut, netra hazelnya menyelam kedalam netra sehitam jelaga itu. Membuat dirinya tiba-tiba ingin menangis.
•••Flashback•••
Rasa pusing yang teramat dirasakan oleh pemuda Aries itu. Matanya mengerjap melihat sekelilingnya, pemandangan malam yang cukup mengerikan jika dilihat dari dalam mobil asing yang kini tengah membawanya entah kemana. Hening. Tak ada percakapan diantara dua pria asing yang duduk dibangku depan.
Sakit diperutnya masih terasa. Bau anyir darah memenuhi indra penciumannya. Dan darah kering yang mengotori baju pasien rumah sakit serta tangan pemuda itu membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri. Seperti melihat korban penusukan atau penembakan.
Renjun bangkit dari posisinya yang tidur menyamping disempitnya jok mobil. Duduk dengan tangan kanan menahan agar bekas jahitannya tak kembali terbuka.
Dua orang asing itu belum menyadari, bahkan satu orang yang duduk dibangku samping kemudi sudah tertidur pulas. Mungkin mereka pikir, Renjun sudah sepenuhnya pingsan dan hampir sekarat hingga mereka mengabaikan orang lain yang kini menjadi tawanan mereka.
Mobil yang dikendarai itu beberapa kali melenceng dari jalur yang semestinya. Beberapa kali juga terdengar klakson dari mobil lain saat mobil itu masuk ke jalur yang berlawanan. Renjun yakin jika si pengemudi dalam keadaan mabuk, dilihat dari beberapa botol soju dimobil ini, ditambah dengan bau alkohol yang sesekali tercium diantara bau anyir darah.
Bodoh. Itu yang dipikirkan oleh Renjun tentang dua orang asing yang kini tengah menculiknya. Bagaimana bisa mereka mabuk ditengah pekerjaan mereka. Jika seseorang yang menjadi dalang penculikan ini tahu, mungkin mereka akan menyesal telah membayar mahal untuk ini.
Merasa ada kesempatan untuk dirinya kabur, Renjun segera memikirkan cara agar bisa pergi dari dua orang bodoh ini. Entah kapan mobil ini akan berhenti, jika ia harus menunggu hingga mobil berhenti, maka ia tak memiliki banyak waktu, mengingat kondisi tubuhnya yang sewaktu-waktu bisa saja ambruk.
Renjun melihat kearah luar dan bisa dilihat jika disepanjang perjalanan hanya ada ilalang tanpa pepohonan yang menjulang tinggi, akan sia-sia jika ia membuat sipengemudi membanting setir, jika mobil ini hanya akan terjebak diantara ilalang.
Akan kuberi tahu, jadi si huang berencana akan menarik lengan si pengemudi agar kehilang fokus dan otomatis akan membating setir kearah samping kiri. Pendaratan yang menurutnya strategis adalah sungai. Jika mobil ini masuk kedalam sungai, Renjun akan bersiap membuka pintu mobil dan keluar untuk menyelamatkan diri. Terjun ke sungai dan berenang ketepian. Walaupun kemungkinan selamat akan sangat kecil. Tapi menurutnya tak masalah. Setidaknya ia sudah berusaha, dan tak mati sia-sia ditangan orang yang menjadi dalang penculikan ini.
Dengan nafas yang naik turun dengan kasar, Renjun menahan rasa nyeri yang teramat. Niatnya untuk kabur sudah bulat, mengawasi jalanan depan yang terlihat begitu sepi. Senyum tipis tersungging saat netranya menangkap susunan besi tak jauh dari mobilnya bergerak. Ia yakin jika itu adalah jembatan yang artinya sungai yang akan menjadi tempat pendaratannya sudah ditemukan.
Dengan perlahan, tangan kirinya membuka kunci mobil dari dalam. Setelahnya dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Renjun memajukan tubuhnya hingga berada diantara bangku kedua orang asing itu.
"Ayo mati bersamaku" Ucapnya dengan suara berat. Sipengemudi terkejut dan menatap kearah Renjun, segera pemuda Huang itu menarik dengan keras tangan si pengemudi hingga setir terbanting kearah kiri sesuai rencananya.
Mobil hitam itu langsung berbelok dengan tajam dan menukik ke arah sungai yang tak terhalang apapun. Renjun segera membuka pintu mobil, dan terjun dengan bebas bersama dengan mobil yang mebawa dua orang lain.
Tubuhnya pasrah melayang diketinggian sepuluh meter, senyum tipis tercetak disela-sela tangisnya. Entah hidup atau mati yang sudah menantinya. Renjun hanya berharap Tuhan akan memberinya kesempatan untuk dirinya melihat sang putra dan melupakan kehidupan buruknya dimasa lalu.
•••Flashback END•••
Jaehyun membawa tubuh kecil itu kedalam pelukannya. Tangannya menepuk pelan punggung sempit milik sang istri, sesekali isakan kecil masih terdengar. Lelaki Jung itu bisa merasakan bagaimana ketakutan yang dialami oleh yang lebih muda. Dalam keadaan yang lemah, harus berjuang seorang diri melawan
"Maaf karena aku tidak ada disaat kau mengalami semua itu" Jaehyun berucap. Rasa penyesalan melingkupinya, sempat menyalahkan sang istri yang dengan ceroboh membawa kabur Jisung. Namun nyatanya ia hanyalah orang bodoh yang tak tahu apapun mengenai hal buruk apa saja yang menimpa Renjun.
Renjun menarik tubuhnya, mata sembabnya menatap lurus kearah Jaehyun. "Tapi aku harus berterima kasih pada Taeyong-ssi. Berkat dia aku masih bisa bertemu dengan Jisung"
"Hm. Nanti kita berkunjung ya, dengan Jisung"
Renjun mengangguk setuju. Tangannya melingkar dileher sang suami, kembali memeluk tubuh tegap yang selalu di idam-idamkan oleh banyak wanita diluar sana itu dengan erat. Nyaman. Renjun tak munafik, jika dirinya merasa nyaman dengan posisi mereka saat ini. Menyandarkan kepalanya pada pundak kokoh Jaehyun.
"Lalu bagaimana selanjutnya, ceritakan semuanya sampai disaat kita bertemu lagi" Pinta Jaehyun.
"Hm? Aku terbangun di rumah sakit dan aku tak mengingat apapun. Disana ada lelaki tua yang mengaku sebagai ayahku. Awalnya aku bingung dan hampir tak percaya, tapi karena tak ada yang bisa kuingat, jadi aku percaya padanya dan tinggal bersamanya" Jelas Renjun. Berusaha mengingat kejadian pasca dirinya mengalami kecelakaan.
"Tapi namamu tetap sama. Apa lelaki tua itu mata-mata?" Tanya Jaehyun terheran. Karena nama bahkan marganya sama persis dengan Renjun asli.
"Kau tak lupa jika sebelum terjadi kecelakaan aku adalah pasien rumah sakit yang harus memakai gelang identitas? Saat aku terbangun, gelang itu masih melingkar disana, walau sedikit terkoyak"
"Lalu kuliahmu? Darimana kau mendapat berkas-berkas untuk pendaftaran?"
"Entah. Hanya itu yang tak bisa kutemukan jawabannya. Lelaki tua itu tiba-tiba datang kepadaku dengan amplop yang berisi surat pemberitahuan penerimaan mahasiswa baru"
"Lalu?" Tanya Jaehyun lagi, seperti anak kecil yang ingin mengetahui banyak hal, penasaran dengan keseluruhan cerita yang dilewati Renjun disaat terpisah darinya.
"Haechan sudah menceritakan semuanya padamu!" Renjun menarik diri. Menatap tajam kearah Jaehyun. Sungguh, suasana hati rubah kecil ini tengah naik turun. Satu waktu ingin bermanja pada Jaehyun, namun dilain waktu merasa muak melihat tingkah sang suami.
"Aku juga ada pertanyaan untukmu! Kenapa kau meninggalkan Jisung sendirian di keramaian? Aku tak akan pernah memaafkanmu jika hal buruk terjadi pada Jisung saat itu!" Cerca Renjun. Saat ingat pertama kalinya dirinya bertemu dengan Jisung di tempat yang rawan penculikan anak. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Renjun meremang.
"Jadi kau sudah memaafkanku sekarang?"
'Plak'
Satu pukulan manis mendarat pelan didada bidang Jaehyun. Bukannya merasa kesakitan, lelaki itu malah tertawa terbahak melihat wajah kesal Renjun.
"Haha.. maaf. Aku tak sengaja meninggalkannya. Saat event berlangsung, aku tengah makan bersama Jisung didekat tempat acara, namun tiba-tiba ada clien yang datang, jadi aku meninggalkannya disana. Karena kupikir, pemilik restoran itu akan menjaga Jisung karena kita sudah cukup akrab, namun ternyata aku kecolongan dan saat kembali Jisung sudah tak ada"
"Pegawaimu di acara event tak ada yang mengenal Jisung?"
"Tidak ada, mereka tak pernah bertemu Jisung langsung dan juga SPG kami sewa dari luar" Lanjutnya.
Renjun mengangguk paham. Setidaknya saat itu Jisung bertemu dengannya, dan malah membuat garis takdir diantara mereka kembali menyatu. Benang merah yang mengikat keduanya benar-benar kuat, hingga sejauh apa salah satu dari keduanya pergi, mereka akan tetap bisa kembali.
"Renjun, maafkan aku, hm? Maaf untuk waktu yang tak pernah kusisihkan untumu. Maaf karena mengabaikan kebahagianmu untuk kebahagiaan orang lain. Aku tahu kata maaf tak akan pernah cukup untuk semua kesakitan yang kau alami. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi seseorang yang bisa kau andalkan. Kumohon jangan lagi pergi. Tetap bersamaku dan Jisung disini. Memulai semuanya dari awal, membenahi semua yang harus dibenahi. Aku mencintaimu, Jung Renjun." Ujar Jaehyun.
Kabut tipis menyelimuti netranya, sungguh dirinya berharap si pemuda manis akan mau memaafkannya. Terlepas dari kesalahannya yang bisa membuat siapapun membenci dirinya.
Renjun bungkam. Haruskah kesakitan yang dirasakannya berbulan-bulan, akan dimaafkan hanya dalam waktu semalam? Tapi jika ditelisik kembali, kesalahan Jaehyun tak terlalu fatal. Suaminya hanya bodoh karena mau saja dijadikan boneka oleh keluarganya. Jadi lelaki kok ga tegas. Itu yang dipikirkan oleh Renjun.
Lelaki maret itu menghela nafas pelan sebelum bangkit dari pangkuan sang suami. Jaehyun menatap pergerakan Renjun dengan raut sedih. Istrinya mungkin tak akan memaafkannya. Mungkin Renjun butuh waktu sendiri, dan Jaehyun akan membiarkannya namun tidak untuk pergi lagi.
Renjun berdiri didepan Jaehyun dengan meja yang menjadi sekat diantara keduanya.
"Jika ingin kumaafkan, tangkap aku sekarang. Wlee" Ejek Renjun sebelum berlari meninggalkan Jaehyun yang saat ini tengah menunjukkan wajah cengo, dan setelah tersadar langsung bangkit namun rasa kebas dikedua pahanya membuatnya kembali terduduk.
"YA!! JUNG RENJUN!! KAKIKU TAK BISA BERGERAK KARENA TUBUHMU YANG BERAT!!" Teriak Jaehyun.
"KAU BILANG AKU GENDUT?! JANGAN BERHARAP AKU MEMAAFKANMU, JUNG BODOH!!" Ucap Renjun dengan setengah badan muncul dari balik tembok. Dan setelahnya si submissif pergi dengan menghentakkan kaki meninggalkan sang dominan yang hanya duduk pasrah di kursinya dengan wajah kusut sekusut baju yang belum disetrika.
TBC
Renjun mau jadi kaya Lesti, yang mau maafin suaminya demi anak. Wkwk..
BTW maaf agak lama buat Update, karna you know lah, nungguin kabar Renjun yang ga ikut ke London. Dan malam ini makin mengsedih liat postingan dreamies lagi jalan-jalan. 😣
Udahlah mau positif thinking aja Renjun, Jaehyun selalu nemenin Renjun dan MaHae yang always ngehibur Renjun. Wkwkwk 😀
BTW (lagi) menurut kalian cerita ini bagus ga sih? Apa malah aneh? Klo ada keanehan mengenai alur, kalian bisa komen biar aku perbaiki..
Thankyouu buat yang udah mau baca.
See you di chapter selanjutnyaa.. 🌼