•
•
[ 47. HCE - ALT + SPACEBAR ]
Dengan bersandar di dekat tembok jendela kamarnya, duduk di atas kursi sembari memainkan gitar dan bersenandung kecil, itulah kebahagiaan kecil yang bisa membuat Samuel merasa bahagia dengan caranya sendiri. Tidak perlu merepotkan orang lain, bila dirinya sendiri bisa menemukan kebahagiaannya sendiri dan menikmati dunianya itu.
Lagu favorite nya yang selalu ia nyanyikan dan dengarkan setiap kali me time. Ghost, ciptaan Justin Bieber. Lirik favoritnya sangat berarti karena selalu teringat oleh seseorang. Benar, gadis mungil yang dahulu di bangku SMP sempat membuat Samuel tertarik. Namun, mereka harus berpisah, Samuel pun berakhir gagal karena tidak pernah berani untuk menyatakan perasaannya itu.
"I want you to know,
"That if I can't be close to you...
"I'll settle for the ghost of you.
"I miss you more than life... "
Dengan suara merdu yang sedikit serak dan berat itu, suara Samuel terdengar sangat nyaman saat masuk di telinga siapa pun yang mendengarnya.
Tiba-tiba saja pintu dibuka kasar oleh sang ibu, membuat Samuel seketika terkejut. "WAH! KAMU INI BENER-BENER YA, SAM! UDAH MAMI BIARIN BELI BANYAK BUKU MATA PELAJARAN DI TOKO, SEKARANG KAMU MALAH SANTAI-SANTAI MAINAN GITAR!? MAU JADI APA KAMU DI MASA DEPAN KALAU HOBINYA MAIN GITAR TERUS?! BELAJAR! NGGAK ADA WAKTU SANTAI BUAT KAMU! LIHAT, KEMARIN TEMEN KAMU HAMPIR GESER POSISI KAMU DI RANGKING SATU TUH!
"BISA-BISANYA KAMU MALAH SANTAI BEGINI! SINI GITAR KAMU, MAU MAMI PATAHIN!"
"JANGAN, MAMI!" Samuel berseru langsung berdiri dan mengumpati gitarnya di belakang punggung.
"MAKANYA BELAJAR! BUAT APA KAMU MAMI LAHIRIN KALAU NGGAK BISA JADI ANAK YANG BERPRESTASI, HAH?!" Ibunya terus mengomel.
Samuel tertunduk murung dengan perasaan yang tercampur amarah dan sakit hati. Marah karena sang ibu menghina hobinya bermain gitar, dan sakit hati karena kata-kata menyakitkan itu keluar dari ibu yang melahirkannya sedari masih bayi.
Nyatanya, yang pintar akan selalu dihargai, batin Samuel tertunduk murung.
"KALAU ORANG TUA LAGI NGOMONG DIJAWAB! JANGAN DIEM AJA!" tegur ibu Samuel.
"Maaf, Mi, El bakal segera belajar." Samuel dengan berat hati harus menuruti suruhan sang ibu. Mau bagaimana pun sikap dia pada Samuel, Samuel tetap akan menganggap dia adalah seorang ibu yang telah berusaha payah melahirkannya.
Ibu Samuel pun menutup pintu kamar Samuel dengan kencang sampai membuat pemuda itu tersentak.
Melihat sikap sang ibu kepadanya seperti itu, membuat Samuel menghela nafas panjang yang terasa mengganjal di dada.
Semuanya selalu begini. Selalu berada di putaran ini, di mana pun gua berada. Terkadang gua bertanya, apa di dunia ini semua orang tua selalu mementingkan prestasi? Ternyata masih ada orang tua yang sangat mementingkan ego daripada prestasi. Ah.. lelah. Sebenarnya, apa mami pernah pikirin perasaan gua?
Kalau papi selalu sibuk kerja, mami terus begini, siapa yang harus gua jadikan rumah untuk tempat bersandar?
Kalimat tersebut terus terulang dipikiran Samuel. Sesungguhnya, ia sangat membutuhkan sosok yang bisa membuatnya tenang dan nyaman hidup di dunia ini. Dia ingin membuktikan pada orang tuanya, bahwa ia adalah manusia biasa yang butuh kasih sayang dari mereka, bukan robot yang terus belajar dan mengerjakan soal-soal sekolah demi mendapatkan banyak penghargaan.
Kapan pun itu, sampai kapan pun, Samuel menginginkan seseorang yang dapat mengerti perasaan kecilnya itu.
"Oh? Lo nangis? Oke, nangislah. Gue selalu ada di sini, buat lo."
Takdir memang tidak bisa ditebak. Permintaan Samuel yang sangat ia besar-besarkan sampai saat ini, mungkin sudah saatnya sekarang dikabulkan, lewat sosok gadis cantik yang sedang memeluknya sekarang. Walau tampang dan cara bicaranya ketus, entah mengapa hati Samuel berkata dia memiliki hati yang lembut.
Pada awalnya, memang Samuel dengan gadis itu kerap bertengkar dan adu mulut. Akan tetapi, semua berubah dengan cepat. Tanpa mengetahui masa lalu masing-masing, perlahan mereka semakin dekat sampai menjadi sepasang kekasih.
Mata Samuel begitu berkaca-kaca karena mengingat-ingat masa lalu saat di mana ia sangat berharap permintaannya untuk didatangkan sosok yang bisa mengerti perasaannya dikabulkan.
Dengan nada bicara yang bergemetar, Samuel berucap, "Ta, gua bukan orang baik. Gua mohon, jauhin gua ya?"
Tata melepas pelukannya dengan cepat. "Maksud lo apaan?" nada Tata seolah tidak terima dengan perkataan Samuel kepadanya dengan sorot mata sinis.
Samuel menghela nafas berat. "Semuanya harus sempurna. Gua harus jadi orang genius. Semuanya harus rapih. Lo nggak boleh ikut campur," gumam Samuel menggerutu.
Trauma itu nyata dan akan terus membekas sampai kapan pun. Bahkan trauma bisa memiliki dampak yang sangat besar kepada mental, hati dan pikiran si penderita. Hanya dengan beberapa patah kata dari seseorang, beribu hati bisa tergores dan tercabik-cabik.
Tata melengos sembari memutar bola matanya malas. "Heh, sekali lagi lo bersikap kayak gini, gue bakal tabok pipi lo!" pungkas Tata sembari meninggalkan Samuel.
➖🔰➖
Tatkala semua murid tengah berada di kelas masing-masing, mereka membahas mengenai soal-soal yang kemarin keluar saat ujian. Yang nilainya dibawah 80-90 ( C ) akan dianggap harus melakukan remedial. Sementara yang nilainya 90-95 ( B ) dan di atas 95 ( A+ )
Disaat suasana begitu tenang sembari mendengarkan penjelasan Bu Zian di papan tulis, seorang siswi di kelas XI-A bangkit untuk membuang sampah dari laci mejanya ke tempat sampah kecil di dekat pintu kelas.
Bu Zian tetap menerangkan, meski salah satu muridnya tengah berjalan menuju tong sampah. Penjelasan Bu Zian spontan terhenti ketika siswi itu menjerit dengan wajah syok.
"Ada apa, Nak?!" Bu Zian bertanya sembari menatap siswi itu yang sangat syok ketika melihat isi di dalam tong sampah.
"B-Bu Zian... Di-di dalam tong sampahnya ada...----Uegh!" belum selesai berbicara, siswi itu sudah terlanjur bangkit sembari berlari keluar kelas menuju toilet karena saking tidak tahan ingin muntah.
"H-HEI! KAMU! TUNGGU DULU!" Bu Zian berusaha membuat siswi itu berhenti, namun siswi tersebut terlanjur berlari keluar kelas menuju toilet.
Tentu itu membuat tanda tanya besar pada Bu Zian, terutama anggota HCE yang berada di kelas XI-A ini.
Dengan gerakan cepat, Dion bangkit dari kursinya menuju ke arah tempat sampah itu. Pergerakan Dion membuat semua siswa-siswi di kelas ini menjadi penasaran. Akan tetapi, anggota HCE lainnya spontan menghentikan pergerakan yang lain untuk mendekati tong sampah itu.
"Apaan sih? Gue juga mau liat!" seru seorang siswa pada Evan yang berdiri menghalangi jalan siswa-siswi lainnya menuju tempat sampah.
"Tutup mulut lo, dasar cecunguk sia*an!" Evan dengan ketus dan wajah garang maju membuat siswa-siswi kelas XI-A biasa spontan mundur karena takut melihat ekspresi wajah Evan seperti itu.
Langit berjalan santai melewati Evan yang tengah emosian itu. Evan sontak menarik lengan Langit dengan kasar, membuat pemuda itu kini saling berhadapan.
"Apa? Lo mau larang gua mendekat? Heh, gua anggota HCE, Van. Dan gua juga bukan boneka lo yang bisa lo atur seenaknya!" tekan Langit.
Dion yang masih menatap isi dalam tong sampah itu membuat Tata dan Samuel menjadi penasaran.
"Ada apa, Di?" tanya Samuel sembari mendekat untuk melihat sesuatu dalam tong sampah tersebut.
Pantas saja siswi tadi langsung ingin muntah dan berlari keluar untuk ke toilet. Tata yang melihatnya saja sontak mual sembari menutup mulutnya dengan bulu kuduk yang merinding seusai melihat isinya. Bagaimana tidak? Bayangkan jika kamu melihat sepasang dua sebuah bola mata manusia dengan darah yang masih segar. Bola mata itu, seperti baru saja dilepas dari mata pemiliknya, kemudian di buang di tempat ini bersama darahnya.
Evan menyeringai licik. "Ngit, perbuatan kali ini, ulah lo kan?"
"Hah? Kenapa harus gua yang lo tuduh?!" Langit mendorong kedua bahu Evan karena tidak terima jika dirinya dituduh.
"Woi Pengkhianat," Evan memanggilnya, spontan Dion pun menoleh, padahal Evan tidak menyebutkan namanya.
"Sadar diri lo rupanya," lirih Evan sembari tertawa kecil. "Di situ, ada bekas ikatan kabel ‘kan?" tanya Evan.
Dion lantas bergegas memeriksa. Aneh, mengapa yang dikatakan Evan benar-benar ada?
"Iya," Dion menjawab.
"See? Gua yakin kali ini ulah lo, Ngit. Yang pertama lo lakukan adalah congkel mata seseorang. Adanya kabel di sana, karena lo menggunakan kabel pada alat lacak kesayangan lo itu buat mengikat dua mata itu di dalam sebuah tas atau saku agar nggak jatuh. Dengan begitu, tugas lo saat itu cuma buang di dalam tong sampah itu dengan kabelnya sampai ada seseorang yang menemukannya." Evan dengan lantang dan berani menjelaskan ilustrasi si pelaku.
Evan tertawa kecil sembari berjalan mendekati Langit. "Kali ini kemenangan berpihak sama gua, Ngit," bisik Evan di telinga Langit.
"Enggak," sela Dion. Pemuda itu lantas berjalan tanpa ekspresi menuju Evan. "Yang justru harus dicurigai itu bukan Langit, tapi itu lo, Evan."
Evan tertawa kecil sembari melengos. "Emang susah ya, kalau udah benci mau gimana pun tetap nggak akan pernah mau menerima apa pun lagi."
"Lo pikir gua sudi kasih lo kepercayaan? Jangan harap!" tekan Dion dengan nada dingin dan wajah datarnya.
"Aish. HARUSNYA GUE YANG BILANG GITU, ANJING!" Evan terbawa emosi sampai menyeret Dion, membuat pemuda itu tersungkur di lantai sampai beberapa bangku dan meja tergeser ke belakang.
"Bangsat, lo siapa sih?! Kenapa lo mau celakain Dion?" Arga maju dan berhadapan langsung dengan Evan.
"Heh, lo udah bukan anggota HCE. Jadi, yang sekarang sedang terjadi menyangkut HCE UDAH BUKAN URUSAN LO!"
"Apa? HCE? HCE itu apa?" tanya Arga kebingungan.
Evan berdecak kesal. "Lo emang udah dikeluarin dari HCE, tapi nggak usah pura-pura nggak kenal HCE juga, bego!"
"Gue beneran nggak tau! Lo siapa aja gue nggak tau!" ucap Arga. "Intinya, kalau lo berani nyakitin sahabat gue, lo harus berhadapan sama gue!"
"Oh? Gitu?" Evan dengan tampang tengilnya bertanya.
Bugh!
Tinjuan Evan berhasil mengenai pipi Arga, sampai membuat pemuda itu tersungkur. Nahasnya, sekarang Arga menjadi pingsan sebab kepalanya terbentuk tepi meja. Mungkin jika itu tidak terjadi, sekarang Arga bisa berkelahi dengan Evan dan mengalahkannya.
Arga meringis sakit sebelum kesadarannya pun hilang. Rian cepat-cepat bergegas, untuk menyeret sahabatnya dari pertikaian.
Evan tertawa. "PENGECUT LO! BUAT APA LO BELAIN ANAK PEMULUNG INI, HAH?! SOK-SOK-AN MAU BERTINGKAH BESTFRIEND. KECILIN GAYA LO, BEGO!"
Dion yang mendengar perkataan Evan mengenai dirinya sebagai 'anak pemulung' pun menjadi membelalak terkejut. Sampai sekarang, belum ada yang mengetahui pekerjaan ayahnya itu.
Evan beralih menatap Dion dengan pandangan remeh, "heh anak pemulung, gue udah liat video yang waktu itu sempat trending di medsos. Itu lo kan? Anak pemulung yang marah-marah di depan kantor polisi karena ingin melaporkan kasus kematian siswi Maheswari itu? Kasian banget sih lo. Asal lo tau, sebenarnya kasusnya ditutupin sama sekolah ini. Nggak ada pihak berwajib yang tau. Penyidik yang waktu itu pernah datang dan memeriksa TKP di sini, mereka semua itu palsu."
[ Bersambung ]
➖🔰➖
See you next episode!
•••