抖阴社区

Beyond The Edge

By teru_teru_bozu

963K 100K 6.1K

Niar - Gusniar Hayati, 30 tahun, Direktur Operasional PT Saka Buana Patria Bagaimana mungkin seorang Keenan C... More

setelah sekian lama
FAQ
01
02
03
04
05
06
07
08 - a
08-b
09
10
11
12
13-a
13-b
14
15 - a
15 - b
16 - a
17
Bab 18
19
20-a
20 - b
21-a
21-b
22-a
22-b
23
24
25-a
25 - b
Bab 26
27-a
27-b
Bab --
Ebook dan Novel
Special Part : How Do You Feel It!

16 - b

13.7K 2.8K 274
By teru_teru_bozu

Niar merasa hari-hari setelahnya bagai dalam neraka. Keenan memang tidak menemuinya kembali. Karena untuk sementara memang tidak ada alasan sama sekali bagi mereka untuk bertemu.

Aku nggak menghindar! Bantah Niar keras kepala, ketika dia memilih datang lebih pagi demi menghindar bertemu dengan 'jenis manusia tidak diinginkan' yang kemungkinan terjadi.

Aku juga nggak menyesal atas semua yang aku katakan! Persetan dia mau pecat aku karena alasan kurang ajar pada atasan. Aku nggak takut! Emangnya dia Tuhan, yang bisa menentukan rezeki seseorang!

Eh tapi kamu nggak capek apa, berantem mulu sama diri sendiri? Berargumen tak menentu hanya di dalam kepalamu?

"Ndre!"

Andre yang sedang berbicara bersama beberapa karyawan baru, terkejut mendengar panggilan Niar.

"Iya, Mbak? Ada apa?"

"Kamu udah lihat lokasi pabrik yang baru?" tanya Niar. Menanyakan bangunan yang berada agak jauh di luar kota.

"Belum, Mbak. Para driver selalu menolak kalau saya minta antar ke sana."

"Ya udah, kalau gitu biar aku aja yang ke sana."

"Ha?" Andre terbelalak kaget. "Itu jauh banget lho, Mbak? Mbak Niar mau pergi sama siapa? Dan kapan."

"Sendiri. Aku mau ke sana hari ini."

"Aduh Mbak, nyetir ke sana agak rawan, karena jalurnya barengan sama kendaraan besar-besar ...."

"Kamu lupa biasanya kerjaanku di mana? Pabriknya masih di dalam kota, Ndre. Apa yang susah dari itu?"

Andre menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, ya. Mbak Niar kan engineer, biasa masuk-masuk hutan. Maaf, Mbak. Saya lupa. Tapi kalau pergi sekarang apa waktunya nggak mepet, Mbak? Ini Jumat lho, emang terkejar ntar baliknya ke kantor?"

Niar tersenyum. Membenahi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. "Aku ke sana dan nggak balik ke sini lagi. Langsung pulang, ntar," katanya sambil mencangklongkan tas di bahu. "Yuk, ya, semua. Aku duluan!" pamitnya sambil melambai.

Mending dia keluar gedung ini sebelum kepalanya meledak jadi gila. Pria berengsek itu benar-benar telah menjajah otaknya, membuatnya jadi serba salah. Kalau dia tidak bisa mendinginkan pikiran ke lapangan, apa daya, dia hanya punya lokasi pabrik yang bisa didatangi.

Hari Sabtu pagi, setelah gagal membuat janji dengan Yasma, karena cewek itu sedang kena flu berat, akhirnya dengan mengiba-iba Niar menelepon Mbak Ari, memohon untuk ditemani. Untung saja seniornya itu menyanggupi untuk bertemu seketika.

"Syaratnya, kamu bantuin jagain duo bocah ini, ya. Aku udah stress banget ngurusin mereka yang kayak nggak ada berentinya."

"Oke, Mbak. Siap!"

Apa pun lah. Yang penting dia punya teman bicara. Bahkan diketawain Mbak Ari pun Niar rela.

Sayangnya, bukannya tertawa atau ngomel-ngomel seperti biasa, Mbak Ari malah menatapnya dengan pandangan iba. "Kayaknya kamu harus keluar dari rumah itu deh, Dek."

Niar terkejut. "Maksud Mbak Ari? Yang bikin aku nggak nyaman itu di kantor, Mbak. Bukan di rumah."

"Tinggal sendirian nggak bagus buat kamu. Mending kamu cari kos-kosan deh. Yang ada temennya gitu."

"Bukannya itu kemunduran?"

"Kemunduran apa? Strata finansial? Siapa bilang? Kamu masih bisa nyewain rumah kamu sama orang lain. Paling nggak dengan ngekos, kamu akan punya teman, Dek. Nggak sendirian. Bisa tinggal rame-rame, punya teman jalan, atau semacam itu lah. Circle di dunia kerjamu nggak sehat. Masa iya kamu juga harus kesepian di lingkungan sosial?"

"Tapi, Mbak. Mana ada sekarang teman cewek sepantaran yang bisa diajakin nongkrong? Mereka rata-rata udah kayak dirimu, Mbak. Sedangkan kalau sama yang lebih muda juga susah. Karena mereka juga lebih seneng bergaul dengan orang sebaya. Bukan sama orang-orang yang lebih tua.

"Mbak ingat kan sama Wury? Dari SBP? Kurang gimana aku baiknya, coba? Aku yang mewawancara dia, menerima dia, melatih sampai jadi pegawai yang bagus. Tapi di belakang, coba apa yang dia bilang soal aku? Tante-tante nyinyir nggak bahagia! Hanya gara-gara aku tegur ketika dia melakukan kesalahan fatal terkait laporan pajak!"

Kalau mengingat hal itu, Niar masih kesal. Meskipun dia berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa setelahnya. Hanya saja sejak itu Niar memilih menjaga jarak dengan perempuan-perempuan lebih muda. Kalau selama ini mereka menerimanya, mungkin karena posisinya yang penting sebagai atasan mereka.

"Tapi gimana pun, Dek, hidup sendiri nggak bagus buat kamu. Mbak bisa bayangin deh, ketika sendirian, kamu akan lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Yang ujung-ujungnya overthinking nggak karuan. Lama-lama kamu bisa jadi hypersensitive, Dek."

"Jadi Mbak Ari anggap apa yang terjadi denganku dan Bos Keenan ini karena aku hypersensitive?" Niar bertanya dengan kesal.

"Bukan sama Bos Keenan, Dek. Tapi sama Yasser!"

"Kok Yasser, sih? Itu orang udah nggak ngaruh kali, Mbak!" protes Niar.

"Siapa bilang? Di kepalamu tuh ya, nama Yasser masih bertengger di posisi pertama. Kamu belum sepenuhnya move on dari pengalamanmu dengan dia. Jadi semua hal kamu ukur pakai parameter hubungan nggak jelasmu itu sama Yasser. Paham, Dek?"

Niar cemberut kesal. "Tapi Keenan emang ngeselin, Mbak. Aku bingung ngadepinnya."

"Cuekin aja, sampai dia nyerah. Gitu aja kok repot. Kamu tuh ya, judesnya udah dapet. Maksimal malah. Masa iya ngadepin pria labil kayak gitu nggak bisa sih? Dan Mbak nggak usah nanya deh, kamu nggak takut dipecat, kan?"

"Nggak dong! Mau pecat mah, hayuk aja! Kemarin aku masuk Cakra tanpa ribut-ribut karena penasaran aja. Kerja di perusahaan kayak gitu gimana rasanya. Padahal kalau aku nolak pun, emang Yasser bisa apa?"

"Awas Dek, jangan kebanyakan sebut nama Yasser. Longgarin itu isi kepalamu, buang Yasser pada tempatnya, biar legaan. Siapa tahu dengan begitu kamu bisa melihat pria lain dengan perspektif berbeda."

"Emang mau lihat Keenan dengan perspektif gimana lagi sih?"

"Bukan Keenan juga kali! Masa iya satu gedung isi ratusan orang, mata kamu lihatnya Keenan doang? Rugi amat!"

Dan Niar masih gondok oleh ucapan seniornya. Meskipun dia tidak menyangkal karena apa yang dikatakan itu ada benarnya juga.

***

Hari Kamis pagi, minggu berikutnya. Tanpa sengaja Niar bertemu Jimmy Cakra yang sedang berbincang dengan seseorang. Orang asing, yang belum pernah dia tahu. Mungkin klien. Jimmy Cakra sebagai Marketing Director pasti memiliki jaringan yang luas.

Merasa ada yang sedang mengamati, Jimmy Cakra menoleh. "Hallo, Miss!" sapanya.

Niar yang bermaksud cepat-cepat menuju ke lift. "Ya?"

"Miss Niar, kan?"

Niar mengangguk. Sopan santun mewajibkannya untuk menghampiri orang yang jabatannya jauh lebih tinggi itu, serta menerima jabatan tangannya. "Apa kabar? Kerasan kan, bekerja di sini? Saya harap Pak Keenan tidak terlalu memaksa Anda untuk bekerja keras. Dia memang workaholic tulen."

Setelah berbasa-basi sejenak, Niar pun berlalu. Tetapi sesuatu mengganjal di pikirannya, membuatnya tidak berhenti menduga apa yang salah dari sosok sepupu Keenan tersebut. Dia ingat istri yang dibawa pria itu pada saat pesta. Yang menurut istri Pak Rusdi adalah putri salah satu pengusaha kelas atas juga.

Hingga akhirnya Niar menyadari satu detail penting yang hilang dalam rencana besar Keenan. Yaitu tidak melibatkan orang yang paling berkuasa di bidang pemasaran ini. Keenan boleh saja mengundang manajer pemasaran yang andal dalam rencananya. Profesional yang teruji dengan banyak brand yang telah dibesarkannya. Tetapi selama dia belum bisa menaklukkan Jimmy Cakra, bisa-bisa rencananya gagal dan berantakan.

Karena Jimmy Cakra, meskipun posisinya masih di bawah kendali direktur utama, namun dia juga pewaris perusahaan ini. Jabatan bukan halangan bagi orang-orang seperti ini. Darah yang mereka bawa dari leluhurnya telah memberi mereka kekuasaan untuk memiliki hak veto. Sekali Jimmy Cakra menggunakan hak itu untuk mencegah apa yang dilakukan oleh Keenan, maka buyarlah semuanya. Kecuali proses IPO bisa dilakukan secepatnya. Sebelum kakek mereka meninggal. Dengan catatan Keenan mendapat dukungan penuh dari Jacob Cakra.

Pikiran itu memenuhi kepalanya hingga sore.

"Mbak Niar, Bu Tania bertanya, apakah nanti lembur?" tanya Novi.

Niar menggeleng. "Lembur sih nggak. Tapi aku pulang agak maleman deh. Menghindari macet parah. Kenapa?"

Novi mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Cuma nanya aja kali."

Bah! Emang Tania perlu apa sampai ngecek jadwalnya? Dipandanginya tumpukan pekerjaan di hadapannya dengan perasaan bosan. Pekerjaan tersebut baru benar-benar menantang kalau sudah dipastikan program berjalan. Bila Cakra Grup telah sukses melakukan penjualan saham pertamanya, investor masuk bawa duit, dan semua modal diputar untuk aktivitas produksi. Termasuk bangunan-bangunan baru yang direncanakan.

Tetapi selama hal itu belum jalan, Niar bisa dilanda kebosanan akut dalam periode menunggu.

Mungkin ini saat yang tepat untuk menghubungi teman-teman lama. Niar sudah memikirkan beberapa peluang yang bisa dikerjakannya. Apalagi dia juga masih berkomunikasi dengan orang-orang dari proyek-proyek yang pernah dia kerjakan.

Dunia ini luas, Mbak Bro! Nggak hanya terbatas SBP dan Cakra Grup semata!

Suara ketukan di pintu kantornya membuat Niar mengangkat kepala. Semua stafnya sudah pulang beberapa waktu yang lalu. Meninggalkannya sendiri di belakang mejanya.

"Masuk!" teriaknya.

Kepala Keenan muncul dari pintu yang terbuka. Dan kenapa ya Niar kok tidak heran sama sekali. Jauh dari dasar hatinya dia tahu, suatu saat pria ini akan mendatanginya. Untuk memberi penjelasan. Meskipun dia tak tahu penjelasan soal apa.

"Selamat petang, Pak," sapa Niar formal.

Keenan mengangguk. "Tania bilang kamu pulang lebih lambat."

"Iya. Menghindari macet."

Keenan duduk di depan Niar. "Niar, aku mau minta maaf."

"Untuk?" Niar mengerutkan kening.

"Semuanya. Segala hal yang berhubungan dengan bajingan dan berengsek things. Aku tahu, kamu nggak layak mendapatkan perlakuan seperti itu."

"Tidak ada seorang perempuan pun yang layak diperlakukan begitu, Pak," Niar mengoreksi.

"Benar."

"Termasuk Tania," lanjut Niar.

Keenan mengangguk. "Termasuk Tania," katanya membenarkan. "Tania adalah urusan pertama yang aku luruskan. Mungkin kamu benar. Aku sedang sangat hectic, sehingga melalaikan detail-detail kecil yang mungkin sangat merugikan orang lain. Termasuk Tania."

"Dan untuk apa Pak Keenan mengatakan hal ini kepada saya?"

"Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kamu telah mengingatkanku. Meskipun caramu mengingatkan ... hm ... "

"Ucapan terima kasih diterima."

Keduanya sama-sama terdiam. Niar mengamati pria itu baik-baik. Dan tanda-tanda stress Keenan semakin terlihat. Pria itu terlihat lelah.

"Niar, sejujurnya, aku takut."

Suara Keenan yang cukup pelan membuat Niar hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri.

"Bisa dibilang apa yang aku lakukan ini adalah sebuah kenekadan. Tidak ada seorang pun yang mendukungku."

Sudah dua kali pria ini menyampaikan hal yang sama. Seolah memohon tanpa kata untuk berbagi kekuatan. Kalau Yasser, Niar masih bisa memahami. Karena Yasser yang halus perasaannya, dan berkali-kali hampir patah arang karena tidak memiliki kepercayaan diri. Tetapi ini seorang Keenan Cakra!

"Apa yang Pak Keenan cemaskan?" tanya Niar.

"Kegagalan."

Keduanya sama-sama terdiam kembali.

"Tadi pagi saya bertemu Pak Jimmy di lobi."

Keenan memandang wajah Niar. "Lalu?"

Niar pun mengatakan apa yang ada di pikirannya. "Saya hanya mendengar berita dari gosip yang beredar bahwa Pak Jimmy dan Pak Robby lebih memilih menjual perusahaan ini apa adanya. Kepada penawar tertinggi. Daripada memperbaikinya."

"Memang itulah kenyataannya. Fakta dan tantangan terbesar yang harus aku hadapi. Jimmy didukung penuh oleh keluarga istrinya yang ingin segera mengakuisisi perusahaan ini."

"Apa arti perusahaan ini buat Pak Keenan?"

"Pertarungan."

"Kalau Pak Keenan menganggap ini adalah medan pertarungan, berarti Pak Keenan sudah siap dengan segala risikonya, kan?"

"Aku siap. Tetapi ada saat tertentu ketika aku merasa jatuh."

"Saat ini Pak Keenan merasa jatuh?"

Keenan tak menjawab. Melainkan ditatapnya mata Niar dengan tajam. Yang dibalas Niar dengan sama tajamnya. Seolah déjà vu. Meskipun dia menyingkir Yasser jauh-jauh dari kepalanya, tetapi kondisi ini pernah dia alami bertahun-tahun lalu.

Mungkin tampangku memang tampang babysitter spesialis pria-pria galau begini, cibir Niar.

"Kamu harus fokus. Kamu harus kuat dulu," lagi-lagi formalitas terlupakan oleh Niar. "Bagaimana mungkin kamu bisa membawa perusahaanmu meningkat lebih jauh kalau kamu belum menapakkan kakimu dengan benar? Bagaimana mungkin kamu menjadi nahkoda untuk melawan ombak kalau kamu sendiri masih dipenuhi kebimbangan dan kecemasan?"

Keenan terkejut oleh kata-kata Niar. "Kalau kamu memang ingin balas budi kepada kakekmu dan membuat rencana ini berhasil, kenapa harus takut? Menang dan kalah itu soal biasa. Yang penting kamu sudah berusaha dengan berani."

"Apa kamu pikir apa yang aku lakukan ini untuk balas budi pada kakekku?" Keenan menatap Niar tajam. "Kamu salah, Niar. Kakekku bukanlah orang penyayang yang layak untuk dibalas budinya. Aku berperang melawan ego si tua itu dan membuktikan bahwa aku tidak selemah apa yang dia tuduhkan selama ini!"

Note : double update beneran hehehehe...

Komen yang rame ya, aku baca komennya sambil ngantre di dokter gigi hihihi.

Continue Reading

You'll Also Like

54.1K 3K 36
Hidup Nesya Hazellia semula sangat sederhana dan terhindar dari segala hiruk piruk ibukota Nusantara. Hingga, pada saat malam tahun baru kejadian kel...
522K 64.2K 34
Gimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah ya...
99K 6.2K 42
Naira Sabiya. Seperti namanya yang berarti cahaya pagi hari, Naira adalah wanita yang selalu bersemangat dari pertama kali matahari terbit. Meskipun...
1.8M 96.7K 61
Adriana Azura adalah seorang gadis sederhana. Selain dari kecerdasan otaknya, Adriana tak mempunyai apapun untuk disombongkan. Ia terlahir dari kelua...