Déjà vu.Hyunjin seperti pernah melihat hal ini. Otaknya mencoba berpikir keras hingga terasa sakit. Dia menemukan suatu titik dimana dia kembali kepada bayang-bayang mengerikan yang sempat membuatnya begitu ketakutan.
Mimpinya. Hyunjin benar-benar ingat, bahkan tak ada satu bagian pun yang bisa ia hilangkan dari keping memorinya. Bagaimana ketika sang adik terbaring tenang dengan wajah damai dan darah yang menggenang di sekitarnya buat Hyunjin begitu ketakutan.
Apa yang ia lihat saat ini adalah bentuk lain dari mimpi buruk itu. Namun kali ini nyata, sangat nyata sampai-sampai dia harus menggigit bibirnya untuk menyakinkan diri.
Lutut bergetar, pupil mata membesar, jantung pun berdetak dengan sangat cepat. Ia ingin berteriak mengatakan apapun. Namun hanya uap kosong yang mampu ia keluarkan.
Dan di detik ke-10 dia berdiri disana, Hyunjin tersadar. Ia berlari secepat yang ia bisa untuk merengkuh tubuh rapuh adiknya kedalam pelukan hangat. Hyunjin menangis.
"J-jeongin." Bibirnya bergetar. Ibu jari dengan takut-takut mengusap pipi pucat Jeongin.
Ia tak pernah menyangka adiknya akan senekat ini. Semuanya terlihat aneh sejak awal. Jeongin tidak mengatakan apapun, dia bahkan enggan mengucapkan sepatah kata untuk Hyunjin. Dan bodohnya ia, kenapa harus menunda untuk masuk ke dalam sana? Kenapa dia harus menunggu lebih lama baru berpikir untuk mendobrak pintu kamar sang adik?
Kata kenapa terus berputar di otaknya saat ini. Kalut bercampur rasa takut menyatu membuat peningnya bertambah. Masih dengan tangan yang bergetar Hyunjin mengambil handphonennya. Satu-satunya yang terlintas di otaknya sekarang hanyalah dokter Rachel.
Beruntung tidak butuh waktu lama Dokter Rachel datang bersama sebuah mobil ambulance. Kegaduhan yang terjadi mengundang Minhyun untuk keluar dari kamarnya. Dan betapa terkejutnya pria paruh baya itu ketika melihat anak termudanya tak berdaya dalam gendongan Hyunjin. Ia ingin bertanya, namun Hyunjin lebih dulu berteriak 'JANGAN MENDEKAT!' dengan sangat keras. Itu membuat Minhyun terdiam dan hanya bisa mematung.
Ketika Hyunjin sudah masuk ke dalam mobil bersama dokter Rachel barulah Minhyun dapat menyimpulkan segala bentuk kemungkinan yang baru saja terjadi. Pria bermarga Hwang itu terduduk di sofa dengan pandangan kosong menatap lantai.
Apa Jeongin mencoba melukai dirinya sendiri?
Tidak ada hal lain yang dapat ia pikirkan. Sejauh ini hanya itu yang menjadi satu-satunya alasan kenapa Jeongin bisa berakhir seperti ini. Perlahan rasa menyesal timbul dalam hati.
Sungguh, dia hanya ingin yang terbaik untuk Jeongin, tapi anak itu tak ingin mengikuti aturannya dan berujung dengan Minhyun yang marah. Ia akui ia memang buruk dalam mengontrol emosi, bahkan ia cenderung ringan tangan jika sudah lupa diri. Itu pula yang menjadi salah satu alasan Ibunda Jeongin meminta cerai.
Tapi Minhyun tidak pernah mengaharapkan hal sejauh ini, sama sekali tidak. Ia sangat menyayangi Jeongin. Dia takut bahwa sang anak mungkin saja akan menghadapi hujatan banyak orang di masa depan. Minhyun ingin melindunginya, tapi kenyataan menampar dan menyadarkannya bahwa cara yang ia gunakan salah.
Minhyun seharusnya tau bahwa apa yang ia lakukan berakhir menjadi pupuk yang menyuburkan rasa traumatis Jeongin menjadi semakin besar.
Minhyun butuh ketenangan. Ia harus mendinginkan pikirannya agar ia mampu mengambil keputusan yang terbaik setelah ini. Ketika semuanya mulai bisa dikendalikan, barulah ia akan menyusul ke rumah sakit untuk melihat Jeongin.
Jujur, dalam hati kecilnya ada rasa takut yang menghantui. Minhyun penasaran dengan hal yang terjadi pada Jeongin. Tapi bertanya pada Hyunjin pun percuma, pasti anak itu masih sangat marah padanya. Mungkin dia bisa bertanya kepada dokter Rachel nantinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
QUERENCIA ? HyunJeong
Fanfiction? Querencia: a place where one feels at home. ? ? Hyunjin Dom ? Jeongin Sub ? Mature Content (including self harm, depression, blood, etc.) ? Not recommended for underage ? REPUBLISH + REVISI Note: "Book ini pernah di publish sebelumnya oleh akunku...