Happy reading ✨
—
_
–
Semenjak Rara membantu Azela menjaga Raka, kondisi perekonomian keluarganya sudah mulai membaik. Ia tidak perlu lagi melihat ibunya yang bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan.
Namun, kabar buruknya ibunya kerap kali sakit-sakitan. Dan sering batuk darah. Melihat ibunya yang menderita seperti itu membuat Rara tak tega. Ia berniat mencari uang lebih banyak. Apapun dan bagaimana caranya asalkan ibunya bisa sehat seperti sedia kala.
Tiba-tiba terlintas di pikiran Rara tentang tawaran yang diberikan seseorang padanya. Gadis itu masih ragu untuk mengambilnya. Namun, melihat kondisi Hira membuat Rara meyakinkan tekadnya untuk mengambil tawaran itu meski akan ada seseorang yang dirugikan atas keputusan yang ia buat.
"Maafin gue," gumamnya. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Mungkin, suatu saat nanti ia akan menyesali perbuatannya yang mengambil keputusan dengan gegabah.
"Kak, ini dibagi atau dikali dulu?" tanya Rehan yang sedang belajar pelajaran matematika.
"Tadi 'kan udah kakak jelasin. Kalau ada pertambahan atau pengurangan dan perkalian atau pembagian dahulukan perkalian atau pembagian. Dan semisalnya ada pembagian dan perkalian dahulukan yang ada di kiri sama juga kayak pertambahan dan pengurangan dahulukan yang ada di kiri," jelas Rara panjang lebar. Rehan mengerjapkan matanya beberapa kali. Penjelasan dari Rara agak sulit ia pahami.
"Masih kurang paham?" Rehan mengangguk. Rara mendesah pelan, bagaimana caranya menjelaskan lebih rinci dan mudah dipahami pada Rehan.
"Nih, kakak kasih contoh, (12:4)×6. Biar mudah kita kasih kurung di angka dua belas sama angka empat. Nah, yang dalam kurung ini harus kita kerjain dulu habis itu baru dikali enam. Coba kamu kerjain, kakak mau lihat."
"Berarti harus kita bagi dua belas sama empat terus dikali enam hasilnya delapan belas. Bener nggak kak?" Rehan menyerahkan bukunya pada Rara.
"Nah, ini baru betul." Rara menyerahkan kembali bukunya pada Rehan. "Kamu bisa 'kan ngerjain soal yang berikutnya sendiri. Kakak mau lihat Ibu dulu."
Rehan terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya mengangguk.
Rara berdiri dan berjalan menuju kamar Hira. Gadis itu membuka knop pintu dengan perlahan agar sang Ibu tidak terbangun. Kaki jenjangnya mulai melangkah mendekat pada Hira.
Dengan tangan bergetar Rara membelai rambut Hira dengan lembut. Tanpa sadar air matanya menetes melihat tubuh rapuh ibunya.
"Rara?" Gadis itu tersentak melihat Hira yang membuka matanya. Dengan cepat ia menyeka air matanya dengan kasar.
"Rara ganggu Ibu, ya?" Hira hanya membalas dengan senyuman. Wanita itu memaksakan dirinya untuk duduk.
"Ibu tiduran aja, jangan banyak gerak."
Hira tak mengindahkan ucapan Rara dan memaksakan dirinya untuk tetap duduk. Berkali-kali ia terbatuk-batuk dan memegang dadanya, merasakan sesak yang amat sakit. Setelah meredakan batuknya, Hira menatap Rara lekat.
"Jaga diri kamu baik-baik, ya."
"Ibu ngomongin apa, sih?" Suara Rara tercekat diiringi dengan air mata yang mulai membasahi pipi.
"Kalau Ibu udah nggak ada, tolong jagain Re, ajari dia cara sopan santun, menghargai orang lain. Jangan biarin Re jadi anak nakal." Hira memandang Rara sendu. Ia sudah menduga hidupnya tak akan lama lagi.
"Jangan ngomong aneh-aneh, Bu. Ibu pasti sembuh. Ibu nggak boleh nyerah sama kesehatan Ibu." Air mata sudah membasahi wajah Rara.
"Ra, jangan berhenti berbuat baik," pesan Hira yang sudah melenceng kemana-mana. Sungguh, Rara amat tidak menyukai ucapan Hira yang seakan mengatakan bahwa Hira akan pergi meninggalkannya untuk selamanya.
🍂🍂🍂
Raka memeluk boneka beruangnya sambil menatap Azela dengan tatapan marah. Sedari tadi gadis itu tak mengacuhkan dirinya dan terus menatap buku bersampul biru langit yang sangat membosankan itu. Isinya hanya angka yang membuat kepala pusing melihatnya.
"Kamu lebih suka liat angka daripada liat aku," gerutunya.
Azela melirik Raka tajam seakan menyuruh lelaki itu untuk diam. Kemudian kembali beralih melihat bukunya.
"Udah bosen gue liat muka lo yang itu-itu aja nggak ada progresnya," balas Azela tanpa melihat Raka.
Raka mendengkus kesal. Ia berdiri dan berjalan sambil menghentakkan kakinya dengan kasar. Sepertinya laki-laki kurang waras itu ngambek.
Setelah menutup pintu yang menghubungkan taman belakang dengan dapur laki-laki itu memegang kepalanya yang terasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
Brakk..
Azela terkejut mendengar suara seperti orang jatuh. Gadis itu bergegas memeriksa apa yang terjadi. Matanya membeliak melihat Raka yang dipapah oleh Adelio. Ia meneguk salivanya kasar.
Adelio menatap Azela dengan tajam. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Azela sudah tahu apa yang Adelio sampaikan.
"Mati gue," batinnya.
"Den Raka kenapa dipapah gitu?" tanya Bi Laras yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Raka pingsan, Bi. Ini semua gara-gara aku yang nggak becus jagain dia," ungkap Azela, merasa bersalah.
Bi Laras tersenyum dan mengusap punggung Azela dengan lembut. "Ini semua bukan salah kamu,"ujar Bi Laras mencoba menenangkan Azela.
"Jelas-jelas itu salah aku, Bi. Aku biarin Raka-"
"Akhir-akhir ini Den Raka sering pingsan." Dahi Azela tertekuk dalam.
"M-maksudnya?" Bi Laras hanya tersenyum tanpa mau menjawabnya.
"Bi, bisa tinggalkan kami berdua sebentar?" Suara Darren mengagetkan Azela.
Bi Laras mengangguk dan segera pergi dari sana. Azela terus mengamati punggung Bi Laras hingga hilang dari pandangannya.
"Follow me!"
.
Azela menatap kagum ruangan yang kini ia datangi. Banyak sekali buku yang berjejer rapi di rak. Bagi Azela tempat ini adalah surga duniawi. Tidak ada yang lebih indah dari pada melihat banyaknya buku tersusun rapi.
"Jangan ulangi lagi kesalahan yang sudah kamu lakukan hari ini," ujar Darren pelan hampir terdengar seperti berbisik namun penuh penekanan.
"Maaf, atas kelalaian saya dalam mengurus Raka, Om." Azela menundukkan badannya. Apapun konsekuensi yang ia dapat akan ia terima dengan lapang dada.
"Kamu tahu alasan kenapa saya mencarikan Raka asisten pribadi untuknya?" Azela mengangkat wajahnya menatap Darren yang terlihat serius.
"Mungkin karena pikiran Raka yang masih seperti anak-anak?" jawab Azela dengan polosnya.
Darren menghela napasnya dan membenarkan letak kacamatanya. "Kamu boleh melanjutkan pekerjaanmu." Azela menganga tak percaya. Ia pikir akan ada hal penting yang ingin Darren sampaikan. Benar-benar membuang waktu.
"Sepertinya dia tidak tahu apa-apa. Syukurlah...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir dan lukanya(End)
Teen FictionKita ditakdirkan untuk bertemu bukan untuk bersatu...