Setelah berhasil, Aurel mulai menjamah setiap sudut ruangan. Kamar yang memiliki luas hampir delapan puluh meter itu dipenuhi dengan interior mewah. Senyum puas Aurel tercetak saat ia berhasil mendapatkan berkas yang ia mau. Sesuai dugaannya, semua ini memang berkaitan dengan Deus Mortis.
Deus Mortis adalah sebuah komplotan mafia yang cukup tersohor. Mereka terkenal sebagai mafia kejam dan memiliki banyak sekali bisnis ilegal. Theodore adalah salah satu bagian dari mereka. Tidak hanya penjual belian manusia, bisnis ilegal seperti narkoba dan jejeran obat-obatan terlarang lainya, penjual belian senjata secara ilegal, dan masih banyak lagi.
Komplotan ini kerap kali bertentangan dengan Diamond Black Queen, meski Deus Mortis sempat mengajukan kerja sama akan tetapi ditolak mentah-mentah oleh Madeleine. Diamond Black Queen hanya akan menjadi perkumpulan para pembunuh bayaran dunia, tidak dengan bisnis ilegal apalagi sekacau Deus Mortis.
“Salvador Maximilian?” gumam Aurel cukup tercengang fakta yang baru saja ia dapatkan.
“So my guess was right, huh? Chico and uncle Vince ... cukup mengejutkan meski aku sudah menduganya,” kekeh Aurel.
Aurel mengambil beberapa barang yang ia perlukan. Tidak hanya menjamah seluruh kamar milik Olethea, ia juga ke kamar Beatrice dan Beitris. Ada satu kamar yang membuatnya cukup penasaran. Di sana tertulis jika pemilik kamar itu adalah “Young Mr. Maximilian”. Untung saja kamar itu dapat diakses dengan kartu, jadi Aurel bisa dengan mudah masuk.
Luas kamar itu hanya setengah dari jumlah luas kamar Olethea. Barang-barang di sana tidak cukup banyak, sepertinya kamar itu jarang sekali dihuni. Sebuah pigura kecil yang terletak di atas nakas samping tempat tidur membuat Aurel tertarik. Di sana ada sebuah foto sepasang anak kecil tengah merangkul satu sama lain.
Aurel ingat, itu adalah foto dirinya dan Chico sekitar dua puluh tahun lalu. Foto itu diambil sebelum tragedi penculikannya yang kebetulan mereka memang tengah berlibur bersama.
“So you're Olethea's grandson? Tidak heran, ambisimu sama seperti nenekmu,” gumam Aurel lirih.
Aurel terkejut saat mendapati banyak sekali foto dirinya di kamar Chico. Di sebuah pigura bahkan tertulis “mijn eerste liefde, aurealia”. Tidak ingin terkecoh dengan barang-barang milik pria tersebut, Aurel segera mencari sesuatu yang bisa membantunya. Setelah mendapatkan semua yang dia inginkan, gadis itu segera keluar dari mansion tersebut.
· · • • • ✤ • • • · ·
Di sebuah ruangan dengan lampu temaram, seorang gadis tengah sibuk berkutat dengan monitor di hadapannya. Ia tersenyum puas saat berhasil mendapatkan titik koordinat yang selama setahun ini telah ia cari.
Aurel segera mengirimkan titik koordinat itu ke Kalandra guna ditelusuri dan mengirim beberapa orang terpilih untuk memeriksanya. Sebuah panggilan video masuk membuat Aurel kelimpungan sendiri. Kesibukannya hari ini membuatnya lupa pada Alfaro, laki-laki itu pasti tengah cemas dan mencarinya.
Aurel bergegas pergi ke kamar dan mengganti pakaiannya, baru setelah itu ia menerima panggilan video dari Alfaro. Tampak laki-laki itu masih menggunakan seragam sekolah, saat ini pukul empat pagi di Washington itu artinya di Indonesia telah pukul enam sore.
“Apakah kamu belum tidur? You look exhausted,” ujar Alfaro dari seberang sana.
Aurel tersenyum tipis. “I'm just a bit tired, but it's gone when I see you.”
Aurel bisa melihat jelas wajah Alfaro yang tampak memerah, ciri khas dari laki-laki itu saat malu dan salah tingkah. Aurel terkekeh geli membuat muka Alfaro semakin memerah karena kesal merasa diledek oleh Aurel.
“Don't tempt me!”
“Apakah kamu baru pulang sekolah?”
Alfaro mengangguk singkat. “Aku baru saja selesai melakukan pelengseran jabatan. Mulai hari ini aku bukan lagi ketua OSIS CHIS.”
“How was your day?”
“I’m dying of boredom, I can’t stop thinking about you. I wish you were here, it’s not same whitout yo here. Aku tidak mempunyai tenaga saat ini karena tidak ada kamu,” rengek Alfaro.
Aurel terkekeh pelan mendengarnya. “Jangan lupa untuk istirahat dan jangan sampai telat makan,” pesan Aurel.
“Pesan itu lebih cocok untukmu,” sindir Alfaro.
Aurel kembali terkekeh ringan. “Everything's fine, right? Tidak ada yang mencoba menyakitimu?” tanya Aurel cukup khawatir.
“Don't sweat it, aku sudah tidak selemah itu.”
“I believe in you.”
“Kapan kau pulang?”
“Aku baru tiga hari di sini, Al.”
“Tapi rasanya seperti tiga abad, aku tidak kuat jika lama-lama jauh dari kamu,” rengek Alfaro.
“Belajarlah yang giat dan segera menyusulku ke sini.”
Alfaro menatap Aurel sinis, tapi akhirnya ia kembali merajuk lagi. Rasanya Aurel ingin memeluk laki-laki itu, tapi masih banyak yang harus dia lakukan di sini.
“Aku titip Albert ya, Al?”
“Aku pasti akan menjaganya. Setelah urusanmu selesai, segeralah pulang dan ayo kembali berlibur bertiga,” seru Alfaro antusias.
Aurel tersenyum tipis. “Iya, semoga.”
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.