Suara lonceng berbunyi, menandakan waktu pelajaran dimulai. Dea melangkah cepat masuk kelas, matanya berbinar melihat teman-teman yang sudah menunggu. Tri sudah duduk di bangkunya, seperti biasa, siap menemani hari-hari seru Dea.
"Tri!" Dea melambai sambil berjalan cepat ke arah bangkunya.
Tri tersenyum. "Tumben kamu agak terlambat? Biasanya kamu kan berangkat pagi banget sampek kadang-kadang aku ditinggal."
"Oh itu, aku harus bantuin bapakku dulu tadu," jawab Dea sambil duduk. "Maaf ya kalau aku kadang berangkat duluan?"
Tri mengernyitkan dahi. "Emang bantuin apa?"
Dea menyandarkan kedua tangan di meja. "Biasalah buat ke sawah, kamu tau kan?"
Tri mengangguk. "Udah mulai musim nanam padil, ya?"
Dea mengangguk lesu. "Makanya itu! Apalagi nanti harus bantuin bapak sama ibukku ke sawah."
Tri langsung terbahak. "Cuma bantuin gitu aja udah pasang muka melas aja kamu!"
Dea melirik ke kelas, teman-teman lain mulai berdatangan. Pelajaran dimulai, dan Bu Risma masuk ke kelas dengan buku di tangan.
"Halo, apa kabar hari ini anak-anak?" tanya Bu Risma sambil memandang Dea.
"Baik, Bu!" sahut murid-murid itu serempak.
"Baiklah. Mapel kita pagi ini tentang pecahan, ya!" ucap Buk Risma sembari menuliskan materi dan rumus-rumusnya di papan tulis menggunakan kapur.
Setelah beberapa jam belajar. Jam istirahat pun tiba. Dea berdiri dari bangkunya dan langsung berlari keluar kelas.
"Dea, tungguin!" teriak Tri sambil mengejar.
Di kantin, Dea duduk dengan teman-temannya, mereka tengah berdiskusi untuk memilih makanan yang akan di makan hari ini.
"Kita mau makan hari ini? Mie lidi kayak kemarin?" tanya Leony kepada dua sahabatnya.
Dea menggeleng. "Kemarin aku ada liat yang beli soto, gimana kalau kita beli itu aja?"
Tri mengangguk. "Boleh juga, hari ini giliran Leony ya yang pesen."
Leony mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. "Kalau gitu aku pesen dulu, ya!"
---
Masuk ke minggu ke empat, kelas 5 tampak lebih tenang dari biasanya. Dea dan Tri duduk di bangku depan, menunggu pelajaran dimulai.
Pintu kelas terbuka dan seorang pria memasuki ruangan dengan mengenakan kemeja batik. Wajahnya mirip seperti orang Tionghoa, rambutnya hitam rapi, dan kulitnya putih pucat.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa pria itu, tersenyum ramah. "Nama saya Pak Fiki. Saya guru baru di sini."
Dea menoleh ke Tri dengan pandangan penasaran. "Wah, guru baru. Kayaknya seru nih."
Pak Fiki meletakkan buku di meja dan menatap sekeliling kelas. "Hari ini kita akan mulai dengan pelajaran matematika. Semua bisa lihat papan tulis?"

KAMU SEDANG MEMBACA
DEARA (END)
Teen FictionBELUM REVISI Langit malam di sapu angin beku, Jejak langkahku tertatih pilu, Namun, dalam hatiku bertalu, Luka mengiringi ragu. Namun, takdir berbisik lirih, Meski perih jangan pernah letih, Terpaksa berubah arah, Langkahku tak akan pernah goyah. ...