Beberapa hari setelah tes telah berlalu. Kini, Dea dan Tri harus menunggu pengumuman kelulusan di tanggal 30, yang jatuh di hari ini. Pagi-pagi sekali, Ia ikut ke pasar untuk mendapatkan surat kabar yang berisi daftar calon mahasiswa yang us di tahun ini. Walaupun Ia sudah mendapatkan e-mail, namun tetap saja. Ia menunggu surat kabar itu. Agar bisa ditunjukkan kepada orang tuanya.
Dea membawa surat kabar itu ke meja makan saat sarapan. Ayah dan ibunya sedang sibuk mengunyah makanan, dan ia pun mulai berbicara.
"Pak, Bu... aku ingin melanjutkan pendidikan," katanya dengan suara yang tenang, namun tegas.
Mendengar itu, kedua orang tuanya terdiam, mata mereka saling bertemu. Ayahnya meletakkan sendoknya, sementara ibunya menatap Dea dengan sedikit terkejut, seperti tak percaya.
"Apa maksud kamu, Dea?" tanya ibu, dengan raut wajah cemas. "Bukankah kamu sudah cukup membantu kami di rumah?"
"Aku tahu, Bu. Aku nggak mau meninggalkan kalian, tapi aku merasa... ada sesuatu yang lebih yang harus aku capai. Ada peluang yang datang, dan aku nggak mau melewatkannya," jawab Dea, mencoba meyakinkan orang tuanya.
Ayahnya menarik napas dalam-dalam. "Kami tidak melarang, Dea. Tapi, kamu tahu bagaimana situasi kami. Lagi pula, kami hanya takut kejadian lalu terulang kembali, Nak. Kalau kamu memilih kuliah, itu berarti ada banyak hal yang harus dipertimbangkan."
Dea mengangguk, memahami kekhawatiran orang tuanya. "Aku sudah pikirkan itu, Pak. Aku akan berusaha keras, dan aku tidak akan mengabaikan tanggung jawab di rumah. Tapi, aku rasa ini kesempatan yang nggak datang dua kali."
Ibunya terdiam, kemudian berkata pelan, "Kami selalu mendukung keputusanmu, De. Kalau itu yang kamu inginkan, maka lanjutkan. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, keluarga ini tetap yang utama."
Dengan kata-kata itu, Dea merasa sedikit lega. Masuk ke dunia baru ini mungkin akan lebih menantang. Tetapi, jika ada kesempatan untuk tumbuh, mengapa tidak? Seperti pepatah yang pernah ia dengar, "Jika tidak mencoba, bagaimana bisa tahu?"
---
Di pagi hari yang cerah, Dea berpamitan dengan ayah dan ibunya. Dengan tas punggung yang sederhana dan semangat yang tinggi, ia melangkah keluar dari rumah menuju universitas tempatnya melanjutkan pendidikan. Tri, sahabat yang selalu mendukungnya, sudah menunggunya di depan rumah.
"Semangat, De. Aku tahu kamu pasti bisa," kata Tri, sambil memberikan senyuman penuh harapan. Tri, gadis itu tak lulus tes. Sehingga, hari ini Dea berangkat sendiri menggunakan sepeda motor yang agak tua milik ayahnya.
Dea tersenyum tipis. "Um... terima kasih buat kamu juga. Tanpa kamu, aku nggak bisa sejauh ini."
Dengan motor yang melaju pelan, Dea meninggalkan rumah dan menuju universitas di kota pelajar itu yang jaraknya dua jam dari kabupaten tempat tinggalnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia siap menghadapinya. Karena, di ujung jalan yang panjang ini, ada impian yang menunggu untuk diwujudkan.
---
Setahun sudah berlalu sejak Dea memulai perjalanan barunya di universitas ini. Jarak dua jam yang dulu terasa sangat jauh kini telah menjadi rutinitas yang biasa. Apalagi, dalam setahun ini pulang-pergi.
Meskipun lelah, Ia melakukan itu agar tak terlalu menghabiskan banyak biaya. Namun, kehidupan di kampus mulai membawa warna baru dalam hidupnya.
Dea kini telah memiliki teman baru yang sangat akrab dan dekat dengannya. Mereka adalah Neneng, Selia, Bela, Fida, dan Fisya. Mereka kini membentuk sebuah geng, tanpa paksaan, dan mereka menemukan kenyamanan satu sama lain dalam setiap obrolan dan kebersamaan.
"De, lo pulang arah jalan baru, kan?" tanya Neneng - seorang gadis berhijab agak tomboy dengan kulit sawo matang khas miliknya.
Dea hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "Gue pulang arah sana, Neng. Kenapa?" sahut Dea sembari mengemasi buku-bukunya.
Selia, yang duduk di samping Dea, menambahkan, "Kalian mau langsung pulang, nih?" tanyanya dengan wajah tertekuk.
Fida dan Fisya, yang sedang bercanda dengan Bela di seberang meja, ikut menyahut. "Emang kenapa kalo mereka mau pulang duluan, Sel?" tanya Fida memiringkan kepalanya kepada Selia.
Selia - gadis dengan rambut sepinggang itu menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu terkekeh. "Niatku mau nongkrong dulu di Cak Jamal, sih!"
"Uwis jam segini, nanti takutnya sampai rumah magrib, Sel!" sahut Neneng sinis.
Fisya tertawa geli melihatnya. "Besok aja lho, besok kan cuma setengah hari. Bisalah kita ke sana, Sel," ucapnya di sela-sela tawanya.
"Iyo itu, besok atau lusa aja! Ndak sampek rumah bengi iki kalau sekarang!" sahut Dea yang mulai menyesuaikan gaya bicara anak-anak dari kota pelajar ini.
Dea merasakan kenyamanan yang luar biasa dari teman-teman barunya ini. Mereka memang berbeda-beda, dengan latar belakang dan kepribadian masing-masing, tetapi justru perbedaan itu yang membuat persahabatan mereka semakin kuat. Selia yang ceria, Neneng yang pintar, Bela yang penuh perhatian, Fida yang pendiam, dan Fisya yang selalu tahu bagaimana membuat suasana hati teman-temannya menjadi lebih baik.
"Eh, De, gimana sama matkul tadi? Gak ada masalah kan?" tanya Bela, wajahnya penuh perhatian.
Dea sedikit terdiam, tetapi kemudian ia menjawab dengan tenang, "Lumayan mudeng sih aku, apalagi tadi sempat tanya sama Neneng."
Mereka semua tersenyum mendengarnya. Selia menepuk bahu Dea dengan lembut. "Besok-besok kayak aku aja, baca komik," katanya dengan gaya slengean-nya.
Hari-hari berlalu dengan banyak cerita dan tawa. Dea yang dulunya pendiam dan sering merasa cemas kini merasa lebih tenang. Bersama teman-teman barunya, dia belajar untuk membuka diri, berbicara lebih banyak, dan menikmati momen-momen sederhana yang kadang terlupakan di tengah-tengah kesibukan kuliah.
---
Bersambung ke Part 25
---

KAMU SEDANG MEMBACA
DEARA (END)
Teen FictionBELUM REVISI Langit malam di sapu angin beku, Jejak langkahku tertatih pilu, Namun, dalam hatiku bertalu, Luka mengiringi ragu. Namun, takdir berbisik lirih, Meski perih jangan pernah letih, Terpaksa berubah arah, Langkahku tak akan pernah goyah. ...