抖阴社区

Part 25: Sebuah Kost

27 23 0
                                    

Setahun berlalu, dan rutinitas perjalanan pulang-pergi yang melelahkan mulai mempengaruhi kondisi Dea. Setiap berangkat kuliah, Ia harus menempuh jarak yang lumayan jauh dengan waktu dua jam untuk perjalanan pulang ke rumah, dan dua jam lagi untuk kembali ke kampus. Total empat jam setiap kali ia pulang-pergi. Belum lagi ditambah dengan tugas kuliah yang kadang menumpuk dan Ia mengerjakannya sampai laut.

Pada hari itu, setelah kembali dari kampus, Dea merasa tubuhnya sangat lelah. Kaki dan punggungnya terasa kaku, dan pikirannya penuh dengan beban. “Aku gak tahan lagi,” pikirnya. Rasanya, perjalanan panjang itu semakin lama semakin menguras energinya. Ada kalanya ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang sama, bolak-balik antara rumah dan kampus, tanpa waktu untuk benar-benar beristirahat.

Beberapa hari kemudian, Dea mulai mempertimbangkan untuk memcari kost. Ia tahu bahwa itu bukan keputusan yang mudah, karena artinya Ia akan akan meninggalkan kedua orang tuanya. Namun, tubuhnya yang lelah dan rutinitas yang semakin berat memaksanya untuk melakukan ini.

“Sepertinya aku harus coba tinggal di kost,” gumam Dea pada diri sendiri.

Setelah memutuskan, Dea mulai mencari tempat kost dengan harga yang terjangkau serta strategis alias tak jauh dari area kampus, dan akhirnya menemukan sebuah kost kecil dengan harga murah di sebuah gang yang tidak terlalu jauh dari kampus. Kos itu sederhana, namun cukup nyaman untuknya. Hanya ada dua kamar tidur kecil, sebuah meja belajar, dan jendela yang menghadap ke taman kecil di luar. Tempat yang sederhana, namun bisa memberinya ketenangan.

Di hari pertama, Dea menyiapkan barang-barangnya, membawa sebagian pakaian dan perlengkapan dari rumah. Ia berencana untuk kembali ke rumah saat libur panjang nanti, tapi untuk sementara, ia akan mencoba untuk tinggal di kost. Teman sekamarnya, Distri, adalah seorang mahasiswi yang ramah, yang sudah lama tinggal di sana. Distri adalah tipe orang yang bisa langsung akrab dengan siapa saja, dan Dea merasa cukup nyaman tinggal bersamanya.

Gadis dengan rambut setengah bahu yang agak mengembang, berwajah kecil, kulit sawo matang dengan tinggi 155cm. Dia masuk ke kelompok bahasa.

Saat pertama kali tiba, Distri menyambutnya dengan senyuman hangat. "Akhirnya lo datang juga! Selamat datang di kost kita yang sederhana ini. Tapi, jangan khawatir, kita pasti nyaman kok di sini!" ujar Distri sambil menunjuk ke tempat tidur dan meja belajar yang sudah disiapkan di pojok ruangan.

Dea hanya tersenyum tipis, merasa lega bisa memiliki ruang untuk diri sendiri. “Terima kasih, Distri. Aku harap kita bisa saling menyesuaikan diri di sini.”

Distri tertawa kecil. "Gak perlu khawatir, kita bakal jadi teman sekamar yang baik. Kalau ada apa-apa, bilang aja. Kost ini cuma ada tempat tidur, sama ruang tamu yang um... sempit. Tapi, ya cukup lah untuk kita, yang penting kita bisa nyaman. Gimana, nyaman gak tempatnya?"

Dea mengangguk pelan. “Nyaman kok. Sederhana, tapi cukup buat aku. Terima kasih, Dis.”

"Nah, itu kamar lo. Kalo kamar gue di sebelah sini. Di sini, lo masaknya di kamar lo sendiri. Begitu pula sama gue, yang barengan cuma kamar mandi sama ruang tamu doang," jelasnya panjang lebar.

Dea mengangguk, dan masuk ke kamarnya. Melihat seksama, cat putih yang lumayan agak pudar. Tapi, cukup nyaman digunakan.

"Kayaknya aku bakalan betah di sini," katanya sembari tersenyum tipis.

---

Hari-hari pada awal-awal di kost terasa berbeda, apalagi tidak ada kedua orang tuanya. Dea merasa lebih banyak waktu untuk belajar, istirahat, dan bahkan lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. Sesekali, Distri mengajak Dea untuk berbicara dan mengajaknya keluar.

Namun, kadang juga. Gadis itu asik dengan dunianya sendiri, dengan teman-temannya.

"Gue dulu juga kayak lo kok, gue juga pernah merasa cemas untuk tinggal jauh dari orang tua," cerita Distri suatu malam saat mereka sedang duduk di depan kost, menikmati udara malam bersama. "Tapi, gue belajar mau nunjukin kalo gue bisa mandiri dan bungkam mereka."

Dea terdiam sejenak, merenung. "Kamu berarti udah lama banget ya di sini?"

Distri menatapnya dengan penuh pengertian. "Iya, lumayan. Setahunan lah, sejak pendaftaran malahan."

Dea tersenyum tipis, merasa sedikit lebih tenang. "Aku akan berusaha berusaha buat menyesuaikan diri di sini."

---

Hari-hari di kost bersama Distri terasa semakin menyenangkan. Meskipun tempatnya sederhana, suasana di kamar kos itu penuh dengan tawa dan cerita.

Distri, dengan sikap ramahnya, selalu tahu bagaimana cara membuat Dea merasa nyaman dan tak pernah merasa sendirian. Tak terasa. Waktu berjalan dengan cepat.

"Aku baru aja bayar uang sewa kost kita, kamu di sini udah hampir dua tahun. Aku jarang lihat kamu pulang kecuali waktu hari raya aja," tanya Dea penasaran.

"Soalnya rumahku jauh," sahut Distri santai.

Setiap pagi, setelah bangun tidur, Dea dan Distri sering duduk bersama di meja kecil, menikmati secangkir kopi atau teh. Ada kebiasaan baru yang mereka mulai lakukan: berbicara tentang segala hal, dari hal-hal kecil yang terjadi di kampus juga para pria populer dan menjadi idaman di kampus.

"Pagi, Dea! Mau kopi atau teh?" tanya Distri dengan senyum cerah, tangannya memegang teko yang masih berasap.

Dea mengangguk sambil tersenyum, menerima secangkir teh hangat dari Distri. "Teh, terima kasih, Dis. Rasanya enak sekali setiap pagi bisa ngopi atau nge-teh bareng kamu."

Distri tertawa. "Itu karena kita selalu memilih teh atau kopi yang sama. Rahasianya cuma ada di dalam kebersamaan kita, De. Kalau udah gitu, rasanya lebih nikmat."

---

"De..." teriak Distri sembari mengetuk pintu kamar Dea. "Dea!!!" teriaknya sekali lagi, sebelum akhirnya menghembuskan napasnya secara kasar. Karena akhirnya Dea membuka pintu kamarnya.

Dea membuka pintu kamarnya dengan wajah bingung, khas dari bangun tidurnya. "Kenapa?" tanyanya dengan mata memincing melihat penampilan Distri yang setiap hari semakin terlihat feminim dan modis. Ala-ala perempuan kuliahan yang populer di kampus.

"Nanti gue pulang telat kayaknya, kunci cadangan udah gue bawa. Kamu kunci ya, gue mau keluar sama temen-temen gue," ucapnya dengan mengeluarkan asap dari mulutnya. Jarinya mengapit sebatang rokok.

Dea menyatukan alisnya bingung. "Kemana?"

Distri memutar bola matanya malas, menghembuskan napasnya sekali lagi. "Biasa," ucapnya sembari mengangkat bahunya tak acuh.

Dea menggaruk kepalanya tak gatal. "Oh, iya," katanya tersenyum canggung.

---

Bersambung ke Part 26

---

DEARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang