Tahun berlalu, dan Dea menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Setelah lulus SMA, ia memilih untuk tetap di rumah, membantu ayah dan ibunya dengan berbagai pekerjaan rumah dan usaha keluarga. Waktu yang ia habiskan lebih banyak di rumah, bekerja di ladang atau membantu ibunya berjualan di pasar, terasa seperti rutinitas yang nyaman. Meski begitu, ada suatu kekosongan yang kini mulai Ia sadari. Sesekali, di saat-saat tertentu, Dea merasa seolah ada bagian dalam dirinya yang belum ditemukan, seperti sebuah potensi yang belum tersalurkan.
Sore itu, saat Dea sedang duduk di ruang tamu, menunggu ayah dan ibunya pulang dari pasar, matanya tertuju pada sebuah surat kabar yang tergeletak di meja, saat Ia berada di pasar tadi pagi. Tanpa sengaja, ia membuka halaman depan dan melihat sebuah iklan tentang universitas terkemuka di kota pelajar yang sedang membuka pendaftaran. Seketika, hatinya tergetar.
Tertulis jelas di sana: Pendaftaran Universitas Negeri Yogyakarta untuk tahun ajaran 2013/2014. Ia membaca ulang iklan tersebut, matanya tak bisa lepas dari tulisan itu. Universitas yang selalu ia dengar dari cerita teman-temannya dulu. Sebuah kesempatan yang selama ini terasa jauh, kini seolah mendekat.
"Apa ini waktu yang tepat?" Dea bergumam pelan, merenungkan perasaannya. Ada keraguan, tentu saja. Tidak ada yang lebih Ia inginkan selain membahagiakan orang tuanya, tetapi sesuatu dalam hatinya berkata bahwa mungkin ini adalah langkah yang tepat untuk dirinya.
Dea terdiam sejenak, mencerna kembali segala keputusan yang telah ia ambil selama ini. Dia tidak menyesal dengan keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi setelah lulus SMA, karena dia merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk berhenti dan membantu orang tuanya saja.
"Aku ingin kuliah, apakah itu mungkin?" Dea bertanya pada dirinya sendiri. Ia teringat kembali pada teman-temannya yang dulu sudah memiliki impian masing-masing, yang memilih jalan mereka sendiri.
Malam itu, setelah makan malam bersama, Dea menyelinap ke kamar tidurnya dengan hati yang penuh pertanyaan. Tanpa memberitahukan orang tuanya lebih lanjut, ia membuka laptop dan mulai mencari tahu lebih dalam tentang universitas yang ada di kota pelajar. Dia tahu, ini bukan keputusan yang mudah, tapi dia merasa sudah saatnya untuk mengambil langkah berani.
Dea terus mencari informasi mengenai pendaftaran dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ia merasa gugup, tetapi ada semangat yang menggebu-gebu di dalam dirinya. Keinginan untuk melangkah lebih jauh mulai mengalahkan keraguan yang semula menghantuinya. Beberapa kali ia berhenti, menghela napas dalam-dalam, mencoba meyakinkan dirinya. "Aku pasti bisa," gumamnya.
Dengan hati yang penuh pertanyaan, Dea memutuskan untuk mengunjungi universitas itu.
Rabu 10 Juli 2013, Dea mengajak Tri yang saat itu memang masih senggang. Ia dan Tri sama-sama membantu orang tua dan tidak melanjutkan pendidikan.
Saat Dea mengajak ke kota pelajar. Ia langsung menyetujuinya.
Hari itu, Dea memberi alasan kepada orang tuanya bahwa ia ingin pergi menonton film bersama Tri. Mereka tentu tidak curiga, karena itu terdengar seperti rencana yang wajar. "Iya, Ibu, Ayah. Aku dan Tri mau nonton film di kota. Pasti nggak lama kok," Dea menjelaskan sambil mencoba meyakinkan mereka dengan senyum yang tulus.
"Iya, hati-hati ya. Jangan terlalu malam," jawab ibunya, tanpa banyak bertanya. Dea mengangguk dan berpamitan.
Tri, yang sudah menunggu di luar rumah, menyambut Dea dengan senyum lebar. "Kamu siap?" tanyanya sambil menaiki sepeda motornya.
Saat sampai di sana, sangat ramai sekali.
Sesekali Dea terpana melihat keramaian di kota ini. "Kita daftar dulu kan, Tri?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Tri.
"Iya, kita ke bagian administrasi dulu!" sahut Tri seraya menggandeng lengan Dea, untuk berjalan masuk.
Mereka berdua lalu melakukan administrasi dan menerima lembar formulir yang perlu di isi. Mereka membawanya ke salah satu bangku dan melihat jadwal tes tulis yang akan diakan pada tanggal 21 Juli, sedangkan tes keterampilan pada tanggal 22 - 23 Juli, yang tertempel di mading.
Dea memperhatikan lembar yang tertempel itu dengan seksama. "Kalau tes keterampilan tanggal segitu, kita ke sini tanggal 23 aja gimana, Tri? Biar ada selang waktu gitu, biar enggak keliatan bolak baliknya."
"Boleh deh, soalnya aku juga sama kayak kamu. Kalau belum ada hasilnya, mending sekalian enggak ngomong ke orang tua," ucap Tri yang ikut membaca dengan teliti.
Dea mengangguk setuju. "Iya udah kalau gitu."
"Di sini, tulisannya tanggal 30 ya pengumuman-nya," gumam Tri lirih. Sesekali manik matanya mengamati orang-orang yang berlalu-lalang.
"Kamu mau milih apa?" tanya Dea yang mendapati Tri melamun.
Tri kemudian membaca rincian biaya yang tertera.
---
Biaya Pendidikan S1 & D3
1. Kelompok Sosial / Ekonomi / Bahasa : Rp 2.600.000,00 / sem
2. Kelompok MIPA /Olahraga / Seni : Rp 3.000.000,00 / sem
3. Kelompok Teknik : Rp 3.500.000,00 / semBiaya pendidikan tersebut sudah termasuk untuk PKL/PI, KKN, PPL, yudisium, dan wisuda.
---
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Ia memutuskan untuk mengambil bidang ini. "Kita ambil yang kelompok ekonomi aja, yuk?"
Dea mengerutkan alisnya. "Boleh, ayo isi!" ucapnya dengan semangat.
Dea dengan cepat mengisi formulir, menyerahkan dokumen yang diperlukan, dan membayar biaya pendaftaran. Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, petugas di sana memberinya tanda bukti bahwa ia telah terdaftar sebagai calon mahasiswi. Dea tersenyum, meskipun masih ada rasa cemas yang menyelimuti hatinya.
Saat ia keluar dan kembali ke motor Tri yang terlihat butut, ia merasa seolah-olah beban berat yang selama ini dipikulnya sedikit terangkat. Tri melihatnya dengan penuh perhatian. "Sekarang bagaimana perasaan-mu?" tanya Tri.
Dea mengangguk, matanya berbinar sedikit. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku merasa sudah melangkah ke arah yang benar."
Tri tersenyum lebar, seakan mengerti perasaan sahabatnya. "Aku bangga sama kamu, De. Kamu berani ambil langkah ini."
Matari sudah bergerak lumayan jauh, mereka kembali pulang dengan perasaan yang berbeda. Dea pun tahu, apapun yang terjadi, ia sudah membuat keputusan yang benar untuk dirinya sendiri.
---
Bersambung ke Part 24
---

KAMU SEDANG MEMBACA
DEARA (END)
Teen FictionBELUM REVISI Langit malam di sapu angin beku, Jejak langkahku tertatih pilu, Namun, dalam hatiku bertalu, Luka mengiringi ragu. Namun, takdir berbisik lirih, Meski perih jangan pernah letih, Terpaksa berubah arah, Langkahku tak akan pernah goyah. ...