BOUND TO MR.SOFTIE

Suasana menjadi hiruk-pikuk sebaik saja tirai berwarna merah hati dilabuhkan. Sorakan bergema. Kilauan kamera memancar. Bau bunga orkid putih memenuhi udara, namun tiada wangian yang lebih menusuk ke dada Celestino berbanding haruman yang terbit dari tubuh Aubrey yang sedang bermandi peluh.Walaupun keringat membanjiri  tetapi dia masih mampu tersenyum dalam busana perak berkilau rekaan eksklusif.

“Take that thing off. Now,”

Ujar Celestino, menunjuk ke arah kasut tumit tinggi yang tersarung di kaki Aubrey.Dia tidak menyalahkan Aubrey.Pasti pasukan penata rias yang menyediakan kasut tumit tinggi itu untuk dipakai Aubrey.Langsung mereka tidak fikirkan keselamatan Aubrey.

Gaya Celestino seperti selalu, mencuri perhatian  — dengan kaca mata hitam walaupun sudah hampir tengah malam, blazer yang terlalu berkilau untuk kegunaan biasa, dan selendang sutera yang terjuntai entah dari mana — membuatkan beberapa artis Hungary di belakang pentas menoleh dua kali. Tetapi dia tidak peduli.

Aubrey menjulingkan mata.Pengurus peribadinya itu kembali menunjukkan sikap posesifnya.

“You’re being dramatic. I made it through the whole performance without tripping. That’s a win.”

Celestino mengangkat sebelah kening.Isterinya itu kadang kala memang memberi dia sakit hati.

“It’s a miracle. And I don’t believe in miracles. Take. Them. Off.”

Dengan muka mencuka, Aubrey duduk di atas peti alat muzik, membuka perlahan kasut tumit tinggi itu. Kakinya kemerahan dan sedikit bengkak.Ada keluhan dibibirnya.

Celestino mengeluarkan sepasang kotak baldu hitam dari beg sandangnya.

“Now, let me save those precious ankles before you sue me for artistic cruelty.”

Aubrey menyambut kasut itu. Mulutnya ternganga perlahan.

Butiran kristal Swarovski yang halus, berkilau dalam bentuk seperti sayap burung camar di sisi tumit. Potongan yang unik — elegan tapi praktikal. Tumit hanya setinggi 1 inci, namun penuh karakter.

“These are... stunning. I’ve never seen this design before. Who made them?”

Katanya perlahan, jari menyentuh butiran kristal yang bersinar seperti embun pagi.

Celestino tunduk sedikit, membetulkan rambutnya yang sememangnya sudah sempurna.

“I did,of course.

Katanya sambil mencekak pinggang. Dadanya penuh bangga.

Aubrey tersenyum kecil, tetapi matanya menyimpan tanda tanya.

“Why are you always so nice to me, Celestino? I mean… no manager does this for their client. You treat me like—like I matter more than the job.”

Celestino memandangnya lama. Senyumannya kendur sedikit, berubah menjadi redup dan perlahan.

“Because you’re my boss. And to me, the boss is the most important person in my life. I take care of you like… like you’re my heartbeat.”

Aubrey membisu. Degupan jantungnya terasa tidak selari buat beberapa saat. Dalam dunia yang dipenuhi kepalsuan dan manusia bermuka dua, Celestino menjadi misteri yang tak terjawab. Lelaki yang terlalu teliti, terlalu prihatin, terlalu memahami dan ianya mengingatkan pada seseorang.

Sebelum sempat dia membalas, tirai belakang pentas dibuka tiba-tiba. Para wartawan menyerbu masuk bersama jurukamera yang tidak henti-henti menekan shutter. Mereka mencari Monsieur André Beaufort, pemain piano Perancis terkenal yang turut membuat persembahan malam itu.

“Aubrey! Andre! Stand together, please!” jerit seorang wartawan wanita dalam loghat Perancis yang kental.

Semuanya berlaku terlalu pantas.